September 27, 2007

ZIARAH WALI DI PALEMBANG



Kota Palembang, saat mendekati bulan Ramadhan di awal September 2007. Ribuan warga kota ini dan para
habaib dari berbagai kota, berkumpul menjadi satu dan membentuk barisan panjang. Mereka menyebutnya sebagai ziarah kubro, yakni kegiatan mendatangi makam para wali atau auliya di kota ini secara massal. Tujuannya, adalah untuk menaburkan doa-doa, sambil mengenang perjuangan dan kemuliaan para fisabilillah, atau orang-orang yang berjuang untuk Yang Mahatinggi.


Fenomena berziarah ke makam para wali atau keluarga dekat, kerap dianggap sebagai warisan pra-Islam. Karena itu, fenomena itu bisa ditemui di negara Islam mana pun. Termasuk, tempat asal-muasal agama Islam dikembangkan, yakni kawasan Timur Tengah, dengan Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wassalam, sebagai tokoh sentralnya. Setelah sang Rasul wafat, para keturunannya yang disebut ahlul ba’it, memegang peranan penting dalam penyebaran agama Islam. Sisi lain, mereka juga kerap dianggap sebagai pewaris spiritual Rasulallah, dan berhak mencantumkan gelar-gelar syarif atau sayyid sebagai simbol bangsawan spiritual.


Garis keturunan secara lahiriah ini, kerap diangap sebagi jembatan langsung untuk menjangkau sang Nabi terakhir. Bahkan, mereka pun dianggap sebagai wali, sang pelindung, yang mencintai dan dicintai oleh Dzat Yang Mahasempurna. Karena itu, makam para wali, atau secara jamak disebut auliya, dianggap memiliki barokah untuk mendapatkan syafaat dari Rasulallah. Sehingga, ziarah ke makam para wali pun menjadi tradisi tahunan sejak tahun 70-an.


Hampir setiap mendekati Ramadhan, kota ini menjadi pusat perhatian umat Islam dari mana pun. Lebih khusus lagi, para habaib, atau orang-orang yang memiliki garis keturunan dari Rasulallah. Karena, komunitas habaib itulah yang merasa paling berkepentingan untuk mengunjungi makam-makam para wali, yang ternyata merupakan para leluhurnya sendiri.


Kota Palembang di masa silam adalah kejayaan Kerajaan Sriwijaya di masa pra-Islam, dan kebesaran Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-13. Kesultanan Palembang Darussalam berkembang, setelah kehancuran Kerajaan Sriwijaya dan kekosongan kekuasaan selama sekitar dua abad. Pimpinan Islam yang pertama kali berkuasa di Palembang adalah Sultan Mughni. Saat itu, Palembang juga masih bagian dari Kerajaan Majapahit.


Kesultanan Palembang Darussalam makin semarak, setelah Sultan Mahmud Badaruddin I berkuasa. Genderang syiar Islam terus terdengar, dan tatanan budaya yang bersendikan Islam di kota ini pun, kian kokoh. Nama besar sang Sultan, ternyata masih berkaitan dengan wali songo dan sultan-sultan di Kesultanan Demak Bintoro.


Begitu kuatnya hubungan darah keluarga Kesultanan Palembang Darussalam dengan wali songo hingga Rasulallah salallahu ‘alaihi wassalam, maka mereka pun dekat dengan kaum pedagang atau ulama dari jazirah Arab. Sebagian besar dari para ulama itu berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan, tempat salah seorang keturunan sang Rasul bermukim. Mereka dikenal sebagai komunitas Keluarga Allawiyin, yakni keturunan ke-12 dari Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wassalam. Dan, sebagian besar warga keturunan arab yang bermukim di kota Palembang, umumnya berasal dari Keluarga Allawiyin.


Eratnya hubungan antara keluarga Kesultanan Palembang Darussalam dan para habib dari Hadramaut, adalah diangkatnya para habib itu sebagai guru di lingkungan istana. Penghormatan keluarga kesultanan terhadap keturunan ahlul bait itu, juga ditunjukkan dengan kehadiran makamnya yang dekat dengan makam sang Sultan. Kesatuan antara makam guru dan murid.


Pada akhirnya, para habib itu memang menjadi imam kubur, ulama yang seakan mendampingi muridnya yang sultan, sejak hidup hingga ke liang lahat. Imam kubur di dekat makam Sultan Mahmud Badaruddin I adalah Al Habib Abdullah bin Idrus Alaidrus. Namun, selain sang imam kubur, nama Sultan Mahmud Badaruddin I pun memiliki kemuliaan tersendiri di mata para penziarah. Karena, selain masih keturunan ahlul bait, sang Sultan merupakan ulama dan pemimpin yang arif bijaksana. Bahkan, para sejarahwan menjulukinya sebagai tokoh pembangunan Palembang modern.


Ikatan lahir dan batin antara Hadramaut dan Palembang, adalah buah sejarah panjang yang digelar para habib, ulama, atau wali, asal Hadramaut di kota Palembang, berabad-abad yang silam. Kehadiran para auliya membuat warna Islam di kota Palembang kian semarak, dan memperkuat perjuangan para wali songo dan ulama-ulama lain, untuk mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan kedamaian.


Semakin siang, suasana ziarah kubro kian semarak. Iring-iringan para penziarah terus bergerak. Kali ini, tujuan mereka mengarah ke areal Pemakaman Kambang Koci, tempat dimakamnya puluhan wali dan keluarga Kesultanan Palembang Darussalam.


Meski areal pemakamannya lebih sederhana, namun para penziarah merasa yakin, di tempat inilah jasad para ulama besar asal Hadramaut dimakamkan. Para habaib masih menyimpan nama-nama besar dan kemuliaan yang ditorehkan oleh para wali ini. Sejarah mencatat, para ulama yang kini namanya tengah diagungkan ini berjuang dan bergerak ke seluruh pelosok Sumatera Selatan, untuk menyiarkan Islam.


Dan, perjuangan dan kemuliaan mereka itulah, yang kini terus disimpan oleh keturunannya yang bermukim di kota Palembang dan kota-kota lain. Sehingga, mereka pun seakan menjadikan palembang seperti Hadramaut, kota penuh sejarah, makam para waliyullah, dan juga tempat kelahiran para leluhurnya.


Sehingga, mereka merasa wajib untuk terus berdatangan setiap menjelang bulan Ramadhan, meski sekedar menemui makam dan mendoakan arwah auliya. Yakni, orang-orang terpilih, yang mampu melindungi islam dan umatnya, serta senantiasa mencintai dan dicintai oleh Yang Maha Memiliki Cinta.


Palembang sebagai Hadramaut Kedua, bukan hanya tempat peristirahatan terakhir para wali dan keturunan ahlul bait. Tapi, juga tempat berseminya nuansa cinta, kaum muslim terhadap Rasul pilihannya dan para pejuang-pejuang Islam.


TIM PRODUKSI:
"Negeri Para Wali"; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Dwi Nindyas Putra (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono (Periset); Diproduksi di Palembang, Sumsel, pada 31 Agustus s/d 5 September 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV pada 15 September 2007.

Agustus 28, 2007

PERAHU SANDEQ dan SUKU MANDAR




Bagian Pertama

Desa Tangnga-Tangnga, Kawasan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, sekitar 140 kilometer dari kota Mamuju, Sulawesi Barat. Suasana bahari begitu terasa di tempat ini. Garis cakrawala, ombak laut, anak-anak nelayan, dan perahu-perahu tradisional yang berhamparan di sepanjang pantai.

Desa tangnga-tangnga, seperti juga desa-desa di pesisir Sulawesi Barat, merupakan lokasi bermukim warga suku Mandar, satu dari suku-suku laut di Pulau Sulawesi. Nama suku Mandar senantiasa disejajarkan dengan suku Bugis, suku Makassar, atau suku Bajo. Perbedaan suku Mandar dibandingkan suku-suku laut lain, mereka dikenal sebagai possasiq, atau pelaut-pelaut yang tangguh. Mereka terampil mengemudikan perahu-perahu tradisionalnya, semacam perahu sandeq, untuk mengumpulkan telur-telur ikan di kawasan laut dalam. Mereka memang mencari nafkah di laut lepas. Karena itu, lautan luas dan perahu sandeq benar-benar menjadi bagian kehidupannya.

Ba’du juga bagian dari suku Mandar di desa Tangnga-Tangnga, Kawasan Tinambung. Ia juga merupakan nelayan, yang biasa mengumpulkan ikan di rumpon, atau mengumpulkan telur-telur ikan terbang di perairan Teluk Mandar. Namun, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini ia dan keluarga Saini lainnya, sibuk menyiapkan katir, atau mereka menyebutnya palatto. Yakni, bambu panjang yang berada di kiri-kanan perahu sandeq dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan. Karena itu, bambu yang besar dan panjang pun disiapkan secara khusus, agar bisa menperkokoh, pemperindah, dan membuat perahu sandeq mereka bisa melaju cepat. Mereka memang tengah bersiap-siap mengikuti sebuah lomba perahu sandeq, yang selama sepuluh tahun ini digelar setiap mendekati hari kemerdekaan.

Perahu sandeq adalah salah satu perahu tradisonal khas suku Mandar, dengan layar lebar, cadik, dan katir panjangnya. Bagi suku Mandar, perahu sandeq bukan sekedar kendaraan untuk mencari nafkah dan meningkatkan status sosial bagi pemiliknya. Tapi, ia juga merupakan gambaran kehidupan suku Mandar.

Sandeq artinya runcing, karena haluannya berbentuk pipih dan runcing. Selain itu, layarnya berbentuk segi tiga (massandeq). Bagian utama sebuah perahu sandeq adalah lambung, kemudi, layar, cadik, pemegang katir, dan katir. Perahu sandeq dibuat dengan mengacu pada struktur manusia, yang memiliki tulang rangka dan anggota-anggota tubuh lainnya. Pusat kehidupan sandeq adalah pada possi atau pusar di bagian bawah tengah lambung sandeq.

Awak perahu sandeq (passandeq) dan perahu sandeq ibarat joki dan kudanya. Mereka merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Perahu sandeq yang kokoh, cantik, dan bisa melaju cepat (lopi sandeq nan malolo), harus dikendalikan oleh passandeq-passandeq yang tangguh. Mereka adalah punggawa dan sawi. Punggawa merupakan kapten dan juru mudi. Sedangkan sawi merupakan awak kapal, yang bertugas menjadi pengatur arah layar dan menjaga keseimbangan perahu sandeq. Mereka juga merupakan satu kesatuan, yang bahu-membahu melajukan perahu sandeqnya.

Ba’du termasuk sawi dalam tim sandeq “Bintang Sejarah”, yang akan mewakili desa Tangnga-Tangnga pada lomba perahu sandeq nanti. Lomba itu memang identik dengan gengsi desa, bahkan keluarga. Sehingga, hampir setiap warga suku Mandar tidak pernah melewatkan momen seperti itu. Sedangkan Mahmud merupakan punggawa, atau kapten, di perahu sandeq “Bintang Sejarah” itu. Ia dikenal sebagai nelayan yang terampil dan memiliki jam terbang tinggi.

Seorang punggawa memang dituntut memiliki keterampilan kelautan (paqissangang aposasiang), pengetahuan tentang berlayar (paqissangang sumobal), pengetahuan keperahuan (paqissangang paqlopiang), dan pengetahuan tentang kegaiban (paqissangang). Karena itu, ia menjadi tokoh karismatik di atas sperahu sandeq. komando-komando sang punggawa menjadi peraturan mutlak bagi para sawi. Sehingga, pengaturan posisi tiap sawi dan strategi di atas sandeq pun, sudah dirancang sejak di darat oleh sang punggawa.

Dua hari menjelang lomba perahu sandeq dimulai, keluarga Saini yang akan melajukan perahu sandeq “Bintang Sejarah”, mengumpulkan seluruh awaknya. Sebagai pemilik perahu sandeq, Saini disebut punggawa pottana. Sedangkan punggawa di atas perahu disebut punggawa posasiq. Mereka menggelar Upacara Kumawi yang lazim dilakukan sebelum para passandeq turun ke laut, entah untuk mencari ikan atau membawa barang ke pulau lain. Namun kali ini, upacara dimaksudkan untuk memohon keselamatan selama mengikuti lomba.

Mereka bukan hanya sekedar mengikuti lomba dan mempertaruhkan gengsi keluarga atau desa. Tapi, mereka akan mengarungi laut-laut dalam, dengan gelombang yang besar, sepanjang Mamuju hingga Makassar. Artinya, mereka akan melintasi selat makassar dan teluk mandar sepanjang lebih dari 400 kilometer. Karena itu, kekuatan fisik dan keterampilan melaut pun dirasa belum cukup, bila tidak dilengkapi dengan kekuatan dari Yang Maha Perkasa. Warga suku Mandar merupakan penganut Islam yang taat. Tapi, mereka juga memelihara kemampuan-kemampuan gaib atau supranatural warisan dari leluhurnya.

Upacara adat untuk memohon keselamatan para passandeq, bukan hanya dilakukan di dalam rumah. Mereka juga memboyong pisang, telur, dan berbagai simbol-simbol penyerahan diri lain, ke perahu sandeq yang bakal menjadi kendaraannya. Kali ini, punggawa posasiq sendiri yang menjadi pemimpin upacara. Ia mengawasi setiap jengkal perahu sandeq sambil mengalunkan mantera-mantera di dalam hati. Ia juga menengok sumber kehidupan perahu sandeq (possi) di bagian dalam perahu sandeq.

Seluruh awak perahu sandeq mengikuti seluruh upacara dengan khidmat. Mereka percaya, ritual yang dipimpin oleh punggawa Mahmud merupakan cara untuk memagari perahu sandeq mereka, dari tangan-tangan jahat. Karena bukan rahasia lagi, kehidupan suku Mandar memang kaya dengan hal-hal yang berbau magis. Sehingga, lomba perahu sandeq pun sering dibumbui pertarungan magis di antara para peserta.

Hari yang dinanti segera tiba. kini, saatnya para passandeq “Bintang Sejarah” bersiap-siap mengarungi Teluk Mandar, untuk mencapai garis start di Pantai Manakarra di Mamuju, Silawesi Barat. Artinya, sehari sebelum lomba dimulai, mereka juga harus mengarungi laut-laut dalam antara Desa Tangnga-Tangnga di Polewali hingga Mamuju, sepanjang sekitar 140 kilometer.

Dan, bagi passandeq “Bintang Sejarah”, hal itu tidak menjadi masalah. Mereka tidak mengenal rasa takut dan lelah, ketika mereka berhadapan dengan laut. Karena, mereka merasa, kinilah saatnya memperlihatkan keperkasaannya sebagai posasiq. Ratusan warga Tangnga-Tangnga bergegas ke pinggir pantai, untuk melepaskan perahu sandeq “Bintang Sejarah” dan para passandeqnya, dalam suasana bangga.

Teluk Mandar termasuk wilayah laut dalam di sepanjang sebelah kanan Pulau Sulawesi. Di dalamnya juga terdapat palung sedalam lebih dari dua kilometer. Karena itu, suku Mandar menciptakan perahu sandeq, sebagai kendaraan mencari nafkah dan transportasi ke pulau-pulau. Haluan yang pipih dan runcing, layar lebar, serta cadik dan katir nan kokoh, dianggap bisa bermain di antara gelombang-gelombang besar sambil membelah gulungan ombak-ombaknya.

Perahu sandeq merupakan kreasi yang diwariskan oleh suku-suku Austronesia, yang berdatangan dari arah Madagaskar ke pulau-pulau di nusantara pada abad ke-15 sebelum masehi. Sejarah mencatat, mereka memiliki sistem navigasi yang mantap, dengan bersandar pada petunjuk alam dan kepercayaan akan kegaiban. Pada masyarakat suku Mandar dikenal istilah ussul dan pantangan (pamali). Ussul merupakan pengharapan keberhasilan lewat penggunaan simbol-simbol, sedangkan pamali merupakan larangan yang harus diikuti.

Dengan bekal kemampuan navigasi yang diwariskan secara turun-temurun, dan kepatuhan akan ketentuan yang juga diturunkan secara tutur, mereka lahir menjadi posasiq atau pelaut yang tangguh. sedangkan perahu sandeq hanyalah kendaraan tradisonal, yang memiliki kekokohan dan kecepatannya nan mengagumkan. lebih daripada itu, suku mandar merasa yakin, mereka memiliki roh kehidupan yang berasal dari sebuah perahu sandeq. Semangat Sandeq. Yakni, semangat untuk mengarungi kehidupan yang keras, dan memenangkannya secara jujur. Inilah rona kehidupan warga suku mandar di pesisir sulawesi barat. [Screening: Program POTRET SCTV 01 September 2007]


Bagian Kedua

Satu hari menjelang pelaksanaan lomba perahu sandeq, para passandeq “Bintang Sejarah” harus mengarungi Teluk Mandar dan Selat Makassar sejauh sekitar 140 kilometer. Tujuannya adalah Pantai Manakarra, mamuju, yang akan menjadi garis pertama seluruh etape.

Lomba perahu sandeq kali ini, atau sandeq race 2007, diikuti oleh 53 peserta dari berbagai desa di pesisir Sulawesi Barat. Seperti juga tim perahu sandeq “Bintang Sejarah”, mereka bukan hanya datang dengan perahu sandeq dan para passandeqnya. tapi juga, memboyong sebuah perahu pengiring, yang disebut kappal. Kapal pengiring itulah yang membantu dan mengawasi perahu sandeq, yang tengah bertarung di laut.

Pantai Manakarra menjadi garis pertama seluruh etape sepanjang sekitar 400 kilometer. Lima puluh tiga peserta bersiap-siap di garis start, dan menunggu aba-aba untuk melajukan perahu sandeqnya. Etape pertama adalah Mamuju menuju Malunda. Para passandeq mengenalnya sebagai perairan yang miskin angin. Sehingga, mereka harus menyiapkan dayung sebagai cara melajukan perahunya.

Ketika bendera tanda awal lomba dikibarkan, mereka pun berhamburan ke tengah laut. Termasuk juga, perahu sandeq “Bintang Sejarah”. Firasat para passandeq memang betul. Perairan mamuju hingga Malunda hanya memiliki gelombang besar. Namun angin besar yang ditunggu, ternyata belum juga datang. Perahu sandeq yang tidak memiliki mesin dan sangat bergantung pada angin, betul-betul harus menggantungkan lajunya kepada kekekaran tangan-tangan para passandeqnya. Jika angin tidak juga berpihak kepada mereka, maka perjalanan yang sekitar 60 kilometer harus dilalui, dengan cara mendayung.

Punggawa Mahmud, Ba’du, dan para passandeq “Bintang Sejarah” lainnya, masih terus berjuang. Hari pertama lomba, ternyata harus dilalui dengan kerja keras. Sulit dibayangkan, bagaimana letihnya mendayung di tengah gelombang besar, selama berjam-jam. Hanya para pelaut atau nelayan tangguh, yang bisa melewati ruang cobaan ini. Kenyataannya, mereka memang terus bertarung, tanpa mengenal lelah dan putus asa. Yang mereka miliki hanyalah harapan dan keyakinan bahwa perahu sandeq yang dikendalikannya bisa mencapai Pantai Malunda.

Ujian kehidupan memang terhampar luas di tengah samudera. Di tengah gulungan gelombang, manusia hanyalah makhluk kecil di tangan Yang Maha Mandiri. Catatan perjalanan selama dua etape, dari Mamuju hingga Majene, menorehkan rasa letih nan terkira bagi para passandeq.

Selama dua hari kemarin, mereka praktis harus lebih banyak mendayung, untuk melajukan perahu sandeqnya. Artinya, selama dua hari kemarin sepanjang hampir seratus kilometer, mereka benar-benar harus menguras tenaga dan pikiran untuk mencapai garis pantai. Kini, mereka bersiap memasuki etape neraka, Majene-Polewali. Disebut neraka, karena di tengah gulungan gelombang yang besar, di tempat itu pun angin akan benar-benar menguji ketangguhan para punggawa dan sawi di atas perahu sandeq.

Lomba perahu sandeq yang selama sepuluh tahun ini digelar di perairan Keluk Mandar dan Selat Makassar, tidak bisa dipisahkan dari nama Horst J. Liebner, pakar kelautan asal Jerman. Karena, berkat kesungguhan dan perjuangan kerasnya, perahu sandeq tidak lagi menjadi kayu bakar. Tapi, warisan leluhur dan identitas suku Mandar itu, kini mulai diperhitungkan kembali kehadirannya. Pada akhirnya, nama Horst J. Liebner identik dengan lomba perahu sandeq, lomba perahu tradisional yang dikenal terkeras di dunia. Seiring dengan itu, para punggawa dan sawi pun kembali memperlihatkan keperkasaan dan ketangguhannya di atas perahu sandeq.

Untuk mengikuti lomba perahu sandeq ini, punggawa Mahmud, Ba’du, juga para passandeq lainnya, ikhlas meninggalkan pekerjaannya. Panitia memang menyediakan sedikit uang untuk persiapan perahu sandeq dan keluarga yang ditinggalkan. Tapi, jumlahnya relatif kecil dan tidak sebanding dengan pendapatan bernelayan. Hanya karena kecintaan pada perahu sandeq dan semangat sandeq, yang membuat mereka lebih memilih bertarung dan berkumpul bersama para passandeq lainnya. Karena, harus diakui, lomba perahu sandeq merupakan ajang tempat berkumpulnya para posasiq atau pelaut handal suku Mandar dari berbagai pesisir.

Kerasnya etape Majene-Polewali memang sudah bukan rahasia lagi. Di tempat ini, biasanya satu per satu peserta bertumbangan. Entah karena tiang layar atau katir yang patah. Ujian terberat memang bermunculan di tempat ini. Dan nasib naas itu, ternyata menimpa Ba’du dan kawan-kawan. Tiang layar perahu sandeq “Bintang Sejarah”, terbelah dua. hingga, mereka pun harus melupakan impian menjadi juara di etape neraka ini.

Jika pagi hingga sore bertarung, maka di malam hari mereka berkumpul sambil menikmati tontonan kesenian khas suku Mandar. Mereka seakan bukan sedang berkompetisi. namun, atmosfir reuni sesama warga suku Mandar lebih terasa.

Suku Mandar dikenal ramah, rendah hati, dan mudah bergaul. Karena sikap itu, mereka bisa diterima oleh suku mana pun. Bahkan, mereka pun sangat membuka diri, ketika ada seorang warga negara asing semacam Horst J. Liebner, yang berkeinginan membangkitkan semangat sandeq.

Lomba perahu sandeq bukan hanya sekedar adu kecepatan dan ketangkasan mengendalikan perahu sandeq. Namun, pendidikan kedisplinan dan tanggung jawab pun, diterapkan kepada para peserta. Sehingga, ketika panitia mencatat banyaknya pelanggaran yang dilakukan di garis start kemarin, maka hukumanlah jawabannya. Meskipun demikian, para peserta ikhlas saja menerima hukuman. Mereka tetap tersenyum dan tertawa gembira, ketika panitia meminta mereka berenang ke sebuah perahu pengiring.

Bila di Pantai Polewali, para peserta sandeq tengah mengikuti permainan segitiga, maka para passandeq “Bintang Sejarah”, masih berjuang memperbaiki tiang layar yang patah. Mereka harus membeli tiang baru dan memasangnya secepat mungkin. Sehingga, mereka bisa segera mendatangi Pantai Polewali dan mengikuti etape berikutnya.

Etape Mamuju hingga Polewali hanyalah sepertiga dari seluruh etape, yang berjarak sekitar 400 kilometer. Artinya, mereka membutuhkan waktu hingga sembilan hari untuk menyelesaikan seluruh etape dan permainan segitiganya. Gambaran kelelahan dan kebosanan sudah pasti dirasakan oleh para passandeq. Tapi, karena kecintaan akan dunia bahari, karena kebanggaan sebagai warga suku Mandar, dan karena semangat sandeq yang di dalam sanubarinya, membuat mereka harus melupakan rasa lelah dan bosan.

Para leluhur mereka adalah posasiq-posasiq yang tangguh. Maka, mereka pun memiliki ketangguhan itu. Dan, melalui perahu sandeqlah, mereka bisa meraih semangat sandeqnya dan kegigihannya sebagai passandeq. [Screening: Program POTRET SCTV 08 September 2007)


TIM PRODUKSI:

“Semangat Sandeq” dan “Passandeq”; Syaiful Halim (Penulis Naskah); Yuli Sasmito, M. Ikbal Fitriansyah & Syaiful Halim (Kamerawan); M. Ridwan Alimuddin & Asfriyanto (Kamerawan di Atas Sandeq); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono, Asfriyanto, dan M. Ridwan Alimuddin (Periset); Mimin dkk. dan Tamrin Soppeng (Pendukung Produksi); Ba’du dkk. – Tim Sandeq “Bintang Sejarah” (karakter). Diproduksi di Polman dan Mamuju, Sulbar, pada 12 – 23 Agustus 2007.

KOMUNITAS BISSU (PENDETA BUGIS KUNO)



O rué tangkanao bellomao
(Orang yang disentuhkan tangannya kepada Arajang)
Nanancung-nancung langiq
(Sejak saat itu tidak diketahui lagi jenis kelaminnya)
Sialaé pada baiseng
(Yang mana lelaki atau perempuan)
Makkatué pada walanaé
(Keduanya telah menyatu)

Muharom atau Hasna. Kini, ia memang memiliki dua nama, sebuah nama lelaki yang diberikan oleh orangtuanya, dan sebuah nama perempuan yang diberikan oleh Komunitas Bissu Dewata – Komunitas Pendeta Bugis Kuno di kawasan Segeri, Kabupaten Pangkejene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Muharrom menjadi bagian dari Komunitas Bissu Dewata sejak Maret 2003, setelah ia bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang memintanya menjadi bissu. Ia yakin, itu bukan mimpi biasa. Tapi, merupakan petunjuk dari Dewata, yang akan merubah perjalanan hidupnya.

Muharom memang terlahir sebagai lelaki, tetapi prilaku sehari-harinya cenderung perempuan. Bahkan, sejak kecil ia memelihara rambut panjang dan berpakaian wanita. Ia juga tidak pernah merasa malu atau kecil hati dengan julukan waria atau calabai.

Bagi masyarakat Bugis dikenal lima jenis kelamin, lelaki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan berpenampilan lelaki (calalai), lelaki berpenampilan perempuan (calabai), dan bissu. Umumnya, Bissu berasal dari kalangan calabai. Artinya, mereka merupakan waria, lelaki yang berpenampilan perempuan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan perempuan. Namun setelah setelah menjalani upacara maparebba, maka ia dimasukkan dalam gender lain, yakni bissu.

Fisiknya lelaki, namun ia tetap menjaga sifat-sifat keperempuanannya. Namun, ia dituntut menghilangkan simbol-simbol perempuan dalam penampilannya. Sebaliknya, ia kerap membawa badik sebagai simbol kelelakiannya. Karena kependetaan dan upaya menjaga kesaktiannya, ia tidak lagi memelihara nafsu terhadap lawan jenis (asketisme).

Kini, Muharom atau Hasna berusia 17. Warga di lingkungan rumahnya di kawasan Labbakang, Pangkejene dan Kepulauan, tidak pernah lagi mengolok-oloknya sebagai waria atau calabai. Tapi, ia adalah bissu lolo (bissu muda). Pada masyarakat Bugis, seorang bissu kerap berfungsi sebagai dukun (sanro), peramal (toboto), orang yang bisa berbicara dengan dewa (pasabo), juga pemimpin upacara adat (to rialuq). Namun, fungsi sebagai dukun (sanro) kerap lebih menonjol. Sehingga, warga sering berdatangan ke rumah seorang Bissu sekedar meminta doa atau berkah. Termasuk, mendatangi rumah Hasna, sang Bissu muda.

Dulu, Bissu bermukim di lingkungan istana dan memiliki tempat terhormat. Namun, perubahan zaman memberi pengaruh besar pada perjalanan kalangan pendeta kuno ini. Karena dianggap penganut animisme, kalangan Bissu pernah menjadi buruan kelompok DI/TII Kahar Muzakkar dan ormas kepemudaan di masa awal orde baru. Para Bissu dipaksa meninggalkan atribut kependetaannya, sekaligus dipaksa menjadi lelaki. Sehingga, pandangan masyarakat pun begitu buruk terhadap komunitas Bissu.

Dewa penyelamat komunitas Bissu adalah kondisi masyarakat Bugis sendiri, yang sebagian besar berada dalam payungan agama dan budaya (sinkretisme). Satu sisi, mereka menjalankan syariat islam dengan fanatik. Di sisi lain, mereka percaya akan kekuatan para leluhur melalui sanro atau Bissu. Maka, Bissu pun diam-diam tetap mendapat tempat di hati masyarakat Bugis.

Yang jadi masalah, perubahan zaman membuat status Bissu tidak lagi mendapat tempat terhormat dan memberikan keuntungan materi. Bissu tak lebih sebuah warisan budaya, yang menjadi pelengkap bagi kehidupan tradisional masyarakat Bugis. Sehingga, regenerasi di kalangan Bissu pun jadi tersendat, lantaran waria atau calabai umumnya enggan menjadi Bissu. Karena itu, Muharom atau Hasna pun seakan mutiara bagi Komunitas Bissu Dewata di kawasan Segeri.

Karena itu, Saidi, puang matowa atau pemimpin Komunitas Bissu Dewata di kawasan Segeri, begitu bersemangat untuk mendidik Hasna. Dalam berbagai kesempatan, Hasna diajarkan mengenal bahasa Dewa (basa bissu atau basa to ri langiq) dan juga bahasa La Galigo, yang biasa dipakai dalam setiap upacara adat. Bahasa Bissu (basa to ri langiq) adalah bahasa yang digunakan para Bissu untuk berdialog dengan dewa. Mereka sangat merahasiakan bahasa ini. Puang Saidi hanya bisa menggambarkan bahwa basa Bissu berisi puji-pujian terhadap Dewa dan permohonan untuk mendapatkan berkah.

Selain mempelajari berbagai masalah kependetaan dan adat, Hasna juga mendapat ilmu lain dari Puang Matowa, yakni menjadi indo botting (ibu dari mempelai dalam sebuah pesta pernikahan). Ia bertugas menangani tata rias pengantin, dekorasi pelaminan, hingga makanan para tamu. Bahkan, ia pun kerap memimpin ritual adat.

Selain itu, menangani pesta pernikahan memang merupakan satu-satu lahan nafkah bagi para Bissu. Mereka memang dikenal trampil merias pengantin, menata kostum kedua mempelai, juga menata tempat pelaminannya. Kemampuan supranuturalnya pun diyakini bisa membuat kedua mempelai bersinar, saat mereka berada di kursi pelaminannnya. Hasna mengaku, ia pun memiliki kemampuan seperti itu.

Menolong orang banyak dan berbuat kebajikan kepada siapa pun adalah sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam benak Muharom atau Hasna. Yang ia tahu, ia waria. Lalu, ia mendapat petunjuk untuk menjadi Bissu. Maka, ia pun menjadi pendeta Bugis Kuno itu. Pesta pernikahan adalah satu ruang di tengah masyarakat yang masih memberi tempat pada komunitas Bissu. Di tempat ini, mereka leluasa memperlihatkan identitas kependetaannya. Mereka memang mendapat tempat khusus untuk melakasanakan ritual khas Bugis Kuno.

Maka, proses pembelajaran untuk Hasna pun terus berlanjut. Sambil merias pengantin dan melakoni peran sebagai indo botting, ia juga belajar langsung dari Puang Matowa Saidi tentang ritual pelepasan sepasang pengantin seusai acara resepsi pernikahan.

Hampir empat tahun ini, Muharom atau Hasna menjadi bagian dari Komunitas Bissu Dewata. Ia jadi sering berkumpul dan menari bersama para bissu senior di kawasan Segeri, Puang Matowa Saidi, Masse, dan Eka, serta puluhan nama bissu lainnya. Bahkan, atraksi berbahaya semacam maggiri pun sudah semakin sering dilakukannya. Sebuah simbol kesaktian di kalangan Bissu, yang kebal terhadap senjata tajam.

Muharom atau Hasna adalah Bissu termuda di abad modern ini. Untuk menjaga kesakralan jejak budaya Bugis Kuno, ia lupakan keinginan memiliki identitas keperempuanannya. Termasuk, memiliki seorang pacar. Dulu, ia memang masih berpikir memiliki organ perempuan dan memakai pakaian perempuan. Sehingga, ia bisa dibilang cantik. Perlahan-lahan, pikiran itu digantikan oleh mantra-mantra berbahasa La Galigo.

Dulu, ia pernah mencintai seorang lelaki di desanya dan sempat mengatakan cinta. Sehingga, ia juga sempat merasa sempurna sebagai perempuan. Perlahan-lahan, keinginan itu digantikan oleh puji-pujian berbahasa to ri langiq, yang bisa mendekatkannya pada dewa. Kini, ia memang benar-benar seorang pendeta Bugis Kuno, yang masih mendapat tempat di masyarakatnya. Dan, ia juga bertekad, untuk terus berada di atas perahu yang dipilihnya. Karena, ialah sang Bissu muda.

TIM PRODUKSI:
"SANG BISSU MUDA"; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Yuli Sasmito (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono & Asfriyanto (Periset); Amrullah dan Tamrin Soppeng (Pendukung Produksi); Halilintar Latief (narasumber), Saidi (narasumber/karakter), Muharom/Hasna (karakter), Masse, Eka, Nadira, Hasbillah (Talent). Diproduksi di Pangkep, Sulsel, pada 28 Juli – 03 Agustus 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV – 11 Agustus 2007.

Juni 30, 2007

PULAU BUTON, BENTENG DAN TASAWUF


(Foto-foto: Thamrin Soppeng, Agus Suwoto, Syaiful Halim)

Bagian Pertama

Pulau Buton di sebelah tenggara Sulawesi. Di antara Teluk Bone, Selat Muna, dan Laut Banda. Dan, sekitar dua belas jam perjalanan laut dari kota Makassar. Rona budaya dan agama masih membaur erat, memayungi kehidupan masyarakat. Benteng Keraton Wolio masih menjadi simbol kejayaan Kesultanan Buton. Dan, jauh ke pelosok pulau, juga menghampar benteng-benteng tua, yang menjadi bukti keberadaan, Negeri Seribu Benteng.


Pelabuhan Murhum adalah gerbang utama kota Bau-Bau, untuk menjangkau kota-kota lain di Pulau Buton. Ratusan orang dari berbagai wilayah datang dan pergi dari tempat ini. Namun, sekitar seratus dua puluh ribu penduduk kota ini, tidak pernah terusik. Mereka tetap larut dengan rutinitas sehari-harinya. Pulau Buton menjadi menarik, tentu berkaitan dengan masa silam, ketika Kesultanan Buton menjadi pengendali kekuasaan dan kedaulatan wilayah ini. Dan, catatan nyata yang membuktikan kejayaan kesultanan itu, salah satunya adalah Benteng Keraton Wolio.


La Ode Hafilu adalah salah seorang keturunan salah seorang Sultan Buton. Ia kerap mendampingi para peneliti, yang berniat mendapatkan data tentang Benteng Keraton Wolio, atau jejak-jejak kejayaan Kesultanan Buton. Karena itu, ia pun mampu menuturkan keunikan Benteng Keraton Wolio dari sisi arsitektur dan makna yang dikandungnya. Persisnya, berkaitan dengan ajaran tasawuf yang dianut oleh Sultan-Sultan Buton. Benteng Keraton Wolio dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Buton ke-III, La Sangaji, pada abad ke-15. Dan, pembangunannya rampung pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-VI, La Buke, pada tahun 1634.


Bila dilihat dari atas, dengan bangunan sebelah selatan sebagai kepalanya, maka akan membentuk huruf dal, huruf ke delapan pada alfabet bahasa arab. Atau, huruf terakhir nama Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wassalam.
Pintu benteng, atau lawa, berjumlah 12, yang berarti jumlah lubang pada tubuh manusia. Atau, bisa juga bermakna 12 lokasi yang dipilih oleh Tuhan, untuk mendapatkan tanah pembentuk Nabi Adam ‘alaihi salam. Bastion, atau kubu pengawasan, berjumlah 16. Tapi, sumber lain menyebutnya berjumlah 17, yang berarti jumlah rakaat shalat dalam sehari. Angka-angka pilihan, yang berkaitan dengan nilai-nilai tasawuf, juga diperlihatkan Masjid Agung Keraton. Masjid ini memiliki 12 pintu, memiliki 17 anak tangga, dan dua anak tangga tambahan di depannya. Makna dua anak tangga adalah shalat sunnah.


Dulu, Benteng Keraton Wolio menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan syiar islam. Kegiatan syiar Islam terjadi, persisnya setelah bentuk pemerintahan di wilayah ini berubah dari kerajaan menjadi kesultanan, pada masa pemerintahan Raja Buton ke-VI, Lakilaponto, yang akhirnya berganti nama menjadi, Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.


Selain pusat pemerintahan, bagian benteng juga menjadi lokasi pemukiman. Hal ini memungkinkan, karena benteng memiliki lahan yang luas, yakni sekitar 400 ribu meter persegi, dan dikelilingi benteng sepanjang 2740 meter. Tinggi tembok benteng adalah dua hingga delapan meter, dan lebarnya satu hingga dua meter.
Catatan lengkap tentang Benteng Keraton Wolio dan jejak-jejak Kejayaan Kesultanan Buton, juga bisa didapat melalui manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan di rumah Mujazi Mulki. Ia juga merupakan salah satu keturunan Sultan Buton. Bahkan, para leluhurnya pun merupakan pencatat dan penyimpan manuskrip Kesultanan Buton. Seluruh manuskrip-manuskrip kuno ini ditulis dengan huruf arab gundul. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa arab, bahasa melayu, atau bahasa wolio.


Benteng Keraton Wolio juga masih menyimpan adat istiadat khas buton. Upacara akad-nikah diawali dengan iring-iringan mempelai laki-laki, saat hendak mendatangi rumah mempelai perempuan. Prosesi akad nikah, seperti juga dilakukan para leluhur mereka, dilaksanakan di dalam kamar mempelai perempuan. Dan, di dalamnya hanya terdapat orangtua kedua mempelai, penghulu, dan tetua adat. Seluruh prosesi dilakukan dalam bahasa wolio.


Benteng di pulau buton, ternyata bukan hanya Keraton Wolio. Namun, puluhan-puluhan benteng-benteng lain, juga menyanggah Benteng Keraton Wolio dan mengawal Pulau Buton.


Hazirun Kudus juga merupakan salah seorang keturunan Sultan Buton. Ia juga dikenal sebagai arkeolog lokal, yang memahami banyak tentang sebaran benteng-benteng di Pulau Buton dan jejak-jejak kejayaan Kesultanan Buton.

Di kota Bau-Bau sendiri, paling tidak terdapat tujuh benteng. Dan, puluhan lainnya tersebar di berbagai tempat, termasuk di pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Buton. Penjelasan ini membangun dugaan kuat tentang konsep “benteng dalam kota”, seperti di negeri Jerman atau Perancis. Perbedaan benteng di Pulau Buton dibandingkan kedua negeri itu, benteng-benteng di sini hanya merupakan tumpukan batu kali, yang disatukan pasir dan kapur. Saat itu, memang tidak ada semen. Sedangkan senjata andalannya adalah meriam buatan Portugis. Kekuatan lain adalah para prajurit kesultanan didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Sehingga, mereka pun merasa yakin, mampu menghadapi siapapun, yang berniat merampas kedaulatan Kesultanan Buton.


Benteng Sara Wolio, yang menjadi penyangga Benteng Keraton Wolio, bisa menjadi pembuktian awal Pulau Buton sebagai Negeri Seribu Benteng. Meski kerusakan mewarnai sebagian besar bangunan, namun tidak menutup ketegaran tembok-temboknya. Di bagian dalam, benteng tua ini hanya menyimpan rumput ilalang dan makam tua. Arsitektur bangunannya sendiri jauh lebih sederhana dibandingkan Benteng Keraton Wolio.


Dilihat dari atas, bentuknya adalah hampir persegi panjang, dengan empat bastion atau kubu pengawasan di tiap sudutnya. Menurut Rahmat Wong, arkeolog yang sering melakukan penelitian tentang benteng, hampir seluruh benteng di Pulau Buton berbentuk mirip Benteng Sara Wolio. Tidak tercapainya bentuk persegi panjang, karena bentuk benteng disesuaikan dengan kontur tanah di bawahnya. Sedangkan, bahan bangunan yang digunakan sama dengan benteng keraton wolio, yakni dari batu kali serta campuran pasir dan kapur.


Benteng Sara Wolio ternyata terdiri dari dua bangunan. Dan, keduanya memiliki pintu penghubung. Seperti juga Benteng Sara Wolio pertama, Benteng Sara Wolio kedua pun tidak lagi terawat. Cukup sulit untuk mendapati pintu, atau lawa, di benteng ini. Sedangkan di bagian dalam benteng, lagi-lagi hanya memperlihatkan rumput ilalang.


Hanya sekitar satu kilometer dari Benteng Keraton Wolio, kota Bau-Bau juga masih menyimpan ketegaran Benteng Baadia. Satu dari puluhan benteng di Negeri Seribu Benteng. Bentuknya mirip Benteng Sara Wolio. Nasibnya pun, persis seperti benteng-benteng penyangga Benteng Keraton Wolio, tidak terawat dan seakan dibiarkan hancur.
Padahal, seperti juga Benteng Keraton Wolio, benteng-benteng kecil ini pun, bagian dari Kejayaan Kesultanan Buton. Lebih jauh lagi, merupakan fakta sebuah peradaban luhur di masa silam, seperti yang biasa dipaparkan oleh para sesepuh dalam syair-syair kabanti. Yakni, sebuah kesultanan yang menjunjung tinggi ajaran tasawuf. Namun, mereka pun cerdas membangun tata kota, yang bisa terhindar dari ancaman negeri-negeri yang serakah. Inilah Negeri Seribu Benteng. [Screening: Program POTRET SCTV 30 Juni 2007]


Bagian Kedua

Yinda yindamo arata somanamo karo.

(korbankan harta demi keselamatan diri)

Yinda yindamo karo somanamo lipu.

(korbankan diri demi keselamatan negara)

Yinda yindamo lipu somanamo syara.

(korbankan negara demi keselamatan pemerintah)

Yinda yindamo syara somanamo agama.

(korbankan pemerintah demi keselamatan agama)

La Mutadi dan istrinya, masih menyenandungkan syair-syair kabanti di lingkungan rumahnya, di dekat kawasan Benteng Keraton Wolio, kota Bau-Bau, Pulau Buton. Syair kabanti adalah salah satu bentuk tradisi lisan di Pulau Buton, yang berisikan nasihat dan ajaran kehidupan. Makna lebih dalam dari syair-syair berbahasa wolio ini, umumnya adalah petikan ajaran tasawuf, yang diwariskan para leluhur warga Pulau Buton.

Pulau Buton di masa silam adalah kerajaan Hindu, dengan raja pertamanya bernama I Wa Kaa Kaa. Saat itu, Pulau Buton telah menjadi catatan penting dalam sejarah pelayaran nusantara. Terbukti, nama buton tertulis dalam kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca.

Sejarah menggulirkan cerita baru, ketika seorang ahli tasawuf asal Gujarat, Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al Fathani singgah di Pulau Buton. Ia bukan hanya berhasil mengislamkan Raja ke-VI Buton, Timbang Timbangan atau Lakilapotan atau Halu Oleo, dan segenap keluarganya. Namun, ia juga berhasil mengubah tatanan pemerintahan di pulau ini, dari kerajaan menjadi kesultanan. Bahkan, sang raja pun berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.

La Ode Muchir Raaziki adalah ahli tasawuf dan juga mantan Imamu Masjid Agung Benteng Keraton Wolio. Ia memahami sejarah dan perkembangan ajaran tasawuf dari para leluhurnya. Sebagai Imamu Masjid Agung Benteng Keraton Wolio, dulu ia seakan menjadi pengawal kehidupan jasmani dan rohani di lingkungan Benteng Keraton Wolio.

Pelaksanaan shalat jum’at adalah momen yang mempertemukan para syara agama, atau pengurus agama, di lingkungan Benteng Keraton Wolio dengan jamaah masjid, yang pastinya warga di lingkungan benteng sendiri. Dulu, masjid menjadi tempat bertemunya sultan dan perangkat adat dengan rakyat. Maka di bagian depan masjid terdapat dua ruang, satu untuk sultan dan satu lagu untuk sultan batin, atau lakina agama. Setelah Kesultanan Buton berakhir, masjid hanya memiliki lakina agama, imamu masjid, dan para pengurus lainnya.

Panggilan ketiga bedug telah terdengar. Maka, waktu shalat jum’at telah tiba. Di bale depan masjid, Imamu Masjid masih berzikir, untuk mendapatkan petunjuk dari Yang Mahahidup. Tata cara seperti ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang silam. Imamu masjid benar-benar mempersiapkan diri dan batinnya, sebelum ia berhadapan dengan jamaahnya.

Perkawinan agama dan budaya melahirkan adat-istiadat tersendiri, yakni adat-istiadat buton. Agama menjadi rohani yang mengisi kehidupan warga Pulau Buton, dan budaya menjadi jasmaninya. Upacara akad nikah adalah contoh nyata perkawinan agama dan budaya itu. Seluruh rangkaian upacara dilakuan dalam bahasa Wolio, bahasa yang merangkum sekitar 100 bahasa lokal. Namun, pembacaan doa dilakukan dalam suasana khusu, persis yang biasa dilakukan kalangan sufi, ketika mereka bermohon kepada Yang Mahaperkasa.

Buah terindah dari bibit ajaran tasawuf yang ditanamkan oleh Syekh Abdul Wahid dan Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul adalah Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh, yang dirancang oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin.

Kekayaan ajaran tasawuf juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan di rumah Muzaji Mulki di kawasan Benteng Keraton Wolio. Dalam manuskrip bertuliskan huruf arab gundul disampaikan berbagai ajaran tasawuf dari para sultan dalam bahasa arab, wolio, dan melayu. Bahasa melayu muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid memang lama bermukim di Johor, Malaysia. Dan, para penyebar Islam di Pulau Buton, umumnya berasal dari negeri jiran itu.

Meski demikian, harus diakui, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh adalah karya Kesultanan Buton yang paling fenomenal. Karena, Kesultanan Buton telah menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama. Sehingga, mereka bukan lagi berada dalam wilayah syariat, seperti yang kini ramai diterapkan di berbagai daerah. Namun, justru di derat yang lebih tinggi, yakni tarekat.

Saat pelaksanaan shalat jum’at semakin dekat. Setelah Imamu Masjid melaksanakan shalat tahiyatul masjid, ia pun langsung memasuki mihrab. Maka, shalat jum’at pun segera dimulai. Khutbah salah seorang syara agama merupakan momen pembekalan batin. Warga pulau buton percaya, doa dan harapan yang disampaikan sang khatib akan membuahkan keselamatan bagi para jamaah. Karena, setiap musibah yang dialami oleh warga di minggu depan, biasanya akan menjadi kesalahan sang khatib.

Pemahaman itu telah mereka yakini sejak di masa kesultanan berjaya. Karena itu, seorang sultan pun bukan lagi sekedar pemimpin pemerintahan, tapi seakan seorang wali yang diutus oleh Yang Maharaja. Dan, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun menjadi pedoman nyata bagi sultan dan rakyatnya. Dari peraturan tertinggi ini, mereka membangun kehidupan yang sangat demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan sultan pun bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia dipilih karena akhlaknya oleh anggota dewan, yang disebut patalimbona. Karena undang-undang dasar martabat tujuh dan kekuatan adatnya, seorang sultan bisa dilengserkan bila terbukti ia melakukan kesalahan.

Kejayaan kesultanan buton telah lama berakhir. Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun hanyalah catatan sejarah masa silam. Entah dengan falsafah hidup masyarakat, yang menjunjung tinggi masalah agama di atas pemerintah, negara, dan diri pribadi.

Yinda yindamo arata somanamo karo.

(korbankan harta demi keselamatan diri)

Yinda yindamo karo somanamo lipu.

(korbankan diri demi keselamatan negara)

Yinda yindamo lipu somanamo syara.

(korbankan negara demi keselamatan pemerintah)

Yinda yindamo syara somanamo agama.

(korbankan pemerintah demi keselamatan agama)

Semoga saja, tidak hanya menjadi manuskrip kuno di rak buku Muzaji Mulki. Karena, inilah Negeri Martabat Tujuh, negeri yang mengagungkan ajaran tasawuf dan para khalifatulnya. [Screening: Program POTRET SCTV 7 Juli 2007]


TIM PRODUKSI:
“Negeri Seribu Benteng"
dan "Negeri Martabat Tujuh”; Syaiful Halim (Penulis Naskah); Agus Suwoto (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Asfriyanto dan Suparyono (Periset); AL Mujazi Mulki, Hazirun Kudus, La Ode Hafilu, dan Rahmat Wong (Narasumber); Asfriyanto, Thamrin Soppeng, Hastuty, Siti Muzdalifa dan Fido (Pendukung Produksi). Diproduksi di Bau-bau pada 6–8 Februari 2007.

Juni 20, 2007

PETANI GARAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

(Foto: Istimewa)

Mardiah menarik gerobak berisi pasir laut, lalu menumpahkannya di atas sebidang tanah. Di belakangnya, Radiah mendatangi tumpukan pasir laut itu sambil membawa sebatang kayu, dengan ujung berbentuk garpu. Sesaat kemudian, ia menyebarkan pasir itu hingga merata dengan tanah. Di latar belakang, terdengar intro lagu “Asai Nanggroe” yang dinyanyikan penyanyi Aceh, Rafli dan Kelompok Musik Kande-nya. Maka, film dokumenter “Nyanyian di Padang Garam” pun dimulai.

Radiah dan Mardiah adalah kakak-beradik yang setiap hari bekerja di sebuah lancing (lahan dan gubuk pengolahan garam) di Desa Ceubrek, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka juga merupakan dua dari ratusan petani garam di Kabupaten Pidie dan kabupaten-kabupaten lain di Tanah Rencong. Dan, dua dari ratusan perempuan yang harus bekerja keras – seperti kaum lelaki – untuk memenuhi kebutuhan nafkahnya.

Rutinitas kakak-beradik itu menjadi menarik, karena bukan hanya karena mereka perempuan dan harus bekerja du areal keras. Namun, pengolahan garam itu sendiri begitu menarik, berbeda dengan tambak-tambak garam di pesisir Pantura atau Madura. Bahkan, dibandingan lancang garam lain di NAD.

Pertama, mereka harus menjemur pasir laut berwarna coklat di atas sepatak lahan. Dua hari kemudian, mereka menyirami pasir dengan air laut. Di sore harinya, pasir diangkut dan dimasukkan ke dalam kotak penyaring, yang disebut niri. Mereka juga mengairi niri dengan air laut, hingga rembesan airnya mengalir di bagian bawah dan mengalir ke sebuah sumur. Dari air sumur itu, mereka menuangkannya ke belanga dan dimasak selama sekitar enam jam. Setelah itu, mereka pun mendapatkan kristal-kristal garam, yang siap dijual ke para mogee atau agen.

Selain aktivitas Radiah dan Mardiah -- yang juga korban bencana tsunami – juga akan diperlihatkan aktivitas petani garam lainnya, seperti keluarga Hasyim, keluarga Mullisah di Desa Aluba dan petani-petani garam lain di Desa Tano Ano. Dua desa terakhir berada di Kabupaten Bireun.


TIM PRODUKSI:
“Nyanyian di Padang Garam”
; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Akhe Mona (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono (Periset); Adiansyah (Pendukung Produksi); Radiah, Mardiah, dan Hasyim (Talent). Diproduksi di Pidie & Bireun, NAD, pada 23–29 Mei 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV pada 2 Juni 2007.


NARASI ORISINAL:

# Asal Negara laksana rimba Tuhan

# Hutan lebat, tidak ada manusia

# Saat nenek moyang bersusah-payah

# Rimba ditebang dengan segala daya

(Lagu “Asai Nanggroe” by Rafly & Kelompok Musik Kande)


DESA CEUBREK [DIBACA: CIBRE:]/ SEKITAR SEPULUH KILOMETER DARI KOTA SIGLI/ KABUPATEN PIDIE/ NANGGROE ACEH DARUSSALAM// DI ANTARA TAMBAK-TAMBAK IKAN DAN LAHAN-LAHAN KOSONG/ MASIH TERLIHAT PULUHAN GUBUK SEDERHANA BERNAMA LANCANG// DI TEMPAT ITULAH/ WARGA DESA CIBRE: MENGAIS NAFKAH/ DENGAN CARA MENGOLAH PASIR LAUT MENJADI KRISTAL-KRISTAL GARAM//


RADIAH DAN MARDIAH ADALAH DUA DARI RATUSAN PETANI GARAM DI KAWASAN SIMPANG TIGA/ KABUPATEN PIDIE// SETIAP HARI/ MEREKA MELAKUKAN BERBAGAI KEGIATAN PENGOLAHAN GARAM DI TEMPAT INI// DULU/ LANCANG INI DIKELOLA OLEH AYAH DAN IBU MEREKA// SETELAH KEDUANYA MENINGGAL DUNIA/ MAKA RADIAH DAN MARDIAH PUN MENJADI PENGGANTINYA// SUNGGUH/ BUKAN PEKERJAAN YANG RINGAN// KARENA/ SELAYAKNYA PEKERJAAN INI DILAKUKAN OLEH KAUM LELAKI// NAMUN/ KARENA KEADAAN/ MEREKA PUN HARUS MEMILIH JALAN HIDUP SEBAGAI PETANI GARAM//


DI DEKAT LANCANG MILIK RADIAH DAN MARDIAH/ TERDAPAT LANCANG YANG DITEMPATI OLEH HASYIM// LELAKI INI ADALAH PAMAN RADIAH DAN MARDIAH// SEPERTI JUGA KEPONAKAN-KEPONAKANNYA/ SETIAP HARI HASYIM PUN BIASA DISIBUKKAN DENGAN PASIR LAUT/ TEMPAT PENYARINGAN PASIR/ ATAU NIRI/ SUMUR PENAMPUNGAN AIR MENGANDUNG GARAM/ ATAU MON/ JUGA BELANGA//


PILIHAN PEKERJAAN INI MERUPAKAN WARISAN DARI ORANGTUANYA// SEHINGGA/ IA TAK INGAT LAGI/ SUDAH BERAPA TAHUN MENEKUNI PEKERJAAN INI// YANG PASTI/ BERTANI GARAM MEMBUATNYA MAMPU MENGHIDUPI ISTRI DAN DELAPAN ANAK-ANAKNYA//


# Sawah dibuat untuk bercocok-tanam

# Kampung dibuat

# Rumah dibuat untuk berteduh

# Agar jangan tidur di atas pohon

# Negara dibuat sedemikian rupa

# Supaya bisa dinikmati sampai anak-cucu

(Sambungan Lagu “Asai Nanggroe by Rafly & Kelompok Musik Kande)


BERTANI GARAM MERUPAKAN SATU DARI BERAGAM PEKERJAAN WARGA DI PESISIR NANGGROE ACEH DARUSSALAM// BAHKAN/ DI BEBERAPA WILAYAH/ SEPERTI KABUPATEN PIDIE DAN KABUPATEN BIREUN/ SEBAGIAN BESAR WARGA PESISIRNYA MENEKUNI PEKERJAAN INI// PADAHAL/ TIDAK MUDAH MENJADI PETANI GARAM DI TANAH RENCONG// SULITNYA MENJADI PETANI GARAM DI TEMPAT INI DIBANDINGKAN PETANI GARAM DI PESISIR PANTURA ATAU PULAU MADURA/ KARENA KADAR GARAM YANG TERBILANG RENDAH// SEHINGGA/ MEREKA HARUS BEKERJA LEBIH KERAS/ UNTUK MENDAPATKAN HASIL MELIMPAH//


TEKNIK BERTANI GARAM DI DESA CIBRE:/ DIAWALI DENGAN MENJEMUR PASIR LAUT DI SEBUAH LAHAN TERBUKA// MEREKA JUGA MENYIRAMKAN AIR LAUT KE HAMPARAN PASIR INI/ SEBAGAI CARA MENINGKATKAN KADAR GARAM// SELANG DUA HARI/ PASIR-PASIR INI PUN DIKUMPULKAN KEMBALI/ DAN DISIMPAN DI DALAM GUDANG// ATAU/ BIASANYA MEREKA LANGSUNG MEMASUKKANNYA KE SEBUAH KOTAK SARINGAN/ YANG DISEBUT NIRI//


PROSES PENGOLAHAN INI BELUM BERAKHIR// KARENA/ INI BARULAH SEPARUH JALAN// UNTUK MENDAPATKAN AIR BERKADAR-GARAM TINGGI/ TUMPUKAN PASIR DI DALAM NIRI PUN DISIRAM AIR LAUT// TETESAN AIR LAUT INI PUN MENETES/ DAN DISALURKAN KE SEBUAH SUMUR/ YANG DISEBUT MON// SETELAH TERKUMPUL BANYAK/ AIR BERKADAR GARAM INI PUN DIMASUKKAN KE DALAM BELANGA UNTUK DIMASAK// PALING TIDAK MEREKA MEMBUTUHKAN WAKTU SEKITAR ENAM JAM/ UNTUK MENDAPATKAN KRISTAL-KRISTAL GARAM//


TIDAK MUDAH MENJADI PETANI GARAM DI KAWASAN SIMPANG TIGA/ KABUPATEN PIDIE// SELAIN KERJA KERAS/ MEREKA PUN SERING DIHADAPKAN PADA ANCAMAN CUACA/ YANG SESEKALI BISA MENGGANGGU PROSES PENJEMURAN PASIR LAUT// SELAIN ITU/ HARGA KAYU YANG TIDAK MURAH MEMBUAT PRODUKSI GARAM MEREKA PUN/ KERAP IKUT TERHAMBAT// UNTUK ENAM KALI MEMASAK YANG PER ENAM JAM/ PALING TIDAK MEREKA MEMBUTUHKAN ONGKOS KAYU SEBESAR 150 RIBU RUPIAH// ANGKA INI SAMA DENGAN PENDAPATAN MEREKA/ SETELAH TIGA HARI MENGOLAH SEKITAR 160 KILOGRAM GARAM//


SITUASI INI/ SAAT INI MENJADI KENDALA/ KARENA MEREKA BARU SAJA BANGKIT DARI KETERPURUKAN AKIBAT BENCANA TSUNAMI// DUA TAHUN YANG LALU/ KAWASAN INI PUN DIGILAS TSUNAMI HINGGA MERATAKAN LANCANG DAN RUMAH TINGGAL MEREKA// SETELAH BERBAGAI PIHAK MEMBENAHI LOKASI PEMUKIMAN DAN LAHAN-LAHAN PENGOLAHAN GARAM/ PERLAHAN-LAHAN/ MEREKA PUN MULAI BERANI MELANJUTKAN USAHANYA// TERMASUK/ RADIAH DAN MARDIAH//


# Ada bunga seulanga

# Yang tengah berkembang di tangkainya

# Harum baunya, hai teman, di dalam taman

# Kita siram selalu, agar bunga terlihat indah

# Kita siram selalu, agar bunga terlihat indah

(Opening Lagu “Seulanga” By Rafly & Kelompok Musik Kande)


GELIAT USAHA DI LAHAN-LAHAN DAN LANCANG PENGOLAHAN GARAM PASCA BENCANA TSUNAMI/ JUGA TERLIHAT DI WILAYAH BIRUEN// PERSISNYA/ DI DESA ALUBA/ KECAMATAN JANGKA// PARA PETANI GARAM/ YANG UMUMNYA KAUM PEREMPUAN/ KEMBALI MENYIBUKKAN DIRI DENGAN KAYU-KAYU BAKAR DAN BELANGANYA//


PETANI GARAM DI TEMPAT INI/ JUGA MEMILIKI TEKNIK PENGOLAHAN GARAM TERSENDIRI// DI SINI/ MEREKA TIDAK MENGANGKUT PASIR DAN MENJEMURNYA HINGGA DUA HARI// NAMUN/ MEREKA LANGSUNG MENGOLAH AIR LAUT/ YANG SUDAH DITUANG KE DALAM BELANGA// UNTUK MEMPERCEPAT PROSES KRISTALISASI GARAM/ MEREKA MEMASUKKAN BIBIT GARAM KE DALAM BELANGA// DENGAN MODAL DUA PULUH LIMA KILOGRAM BIBIT GARAM/ MEREKA AKAN MEMPEROLEH SEKITAR 50 KILOGRAM GARAM SIAP JUAL//


MASALAH PERMODALAN AKIBAT HARGA KAYU YANG MAHAL DAN HARGA JUAL YANG RENDAH/ JUGA TERJADI PADA PETANI GARAM DI DESA TANO ANO/ KECAMATAN JANGKA/ KABUPATEN BIREUN// UNTUK MENYIASATI MASALAH INI/ MEREKA MEMILIKI TEKNIK BERTANI GARAM TERSENDIRI// YAKNI/ SELAIN MEMASAK AIR BERKADAR GARAM/ MEREKA JUGA KERAP MENJEMUR DI SEBUAH PETAK-PETAK//


PEKERJAAN INI DIMULAI DENGAN MENGUMPULKAN PASIR YANG TELAH DIJEMUR/ DI ATAS NIRI BERBENTUK LUBANG DI ATAS TANAH// SETELAH PASIR TERKUMPUL/ MEREKA MENYIRAMNYA DENGAN AIR LAUT// REMBESAN AIR YANG TERKUMPUL INILAH YANG AKAN DIJEMUR// NAMUN/ UNTUK MENINGKATKAN HASIL/ PROSES KRISTALISASI DENGAN MEMASAK AIR BERKADAR GARAM YANG DICAMPUR BIBIT GARAM/ JUGA MEREKA LAKUKAN// HASILNYA/ SETIAP PETANI GARAM/ PALING TIDAK BISA MENDAPATKAN SEKITAR 200 KILOGRAM GARAM SETIAP HARINYA//


SESULIT APAPUN MASALAH YANG DIHADAPI OLEH PETANI GARAM/ MEREKA TETAP MENJALANI PERAN YANG DIGENGGAMNYA// KARENA ITU/ KECERIAAN PUN TETAP TERPANCAR DARI WAJAHNYA/ KETIKA MEREKA MENJALANI BENTUK KEHIDUPAN LAIN DI MASYARAKATNYA// DI SAAT PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD HARI KE-100/ YANG BIASA DIGELAR DI DESA INI/ RADIAH DAN MARDIAH PUN IKUT BERSUKA-CITA DI DALAMNYA// MEREKA LUPA BAHWA MEREKA YATIM-PIATU// DAN MEREKA JUGA MELUPAKAN KEPENATAN/ YANG BIASA DIALAMI DI PADANG GARAM//


KETIGA PAGI KEMBALI DATANG/ KETIGA SEPEDA MOTOR MILIK MOGEE ATAU AGEN BERDATANGAN/ KEHIDUPAN DI DALAM LANCANG PUN DIMULAI KEMBALI//

KERJA KERAS SELAMA TIGA HARI ADALAH 120 KILOGRAM GARAM/ DENGAN HARGA JUAL 1.800 RUPIAH PER KILOGRAM// JUMLAH PENGHASILAN INI TIDAK SELALU TETAP// KERAP/ MEREKA JUGA HARUS MENJUAL GARAMNYA DENGAN HARGA 1.500 RUPIAH PER KILOGRAM// DAN/ BILA HUJAN TERUS MENGGUYUR KAWASAN INI/ MAKA MASA MENDAPATKAN REJEKI PUN HARUS MUNDUR BEBERAPA HARI//


NAMUN/ ENTAH HASYIM/ ENTAH RADIAH ATAU MARDIAH/ ENTAH PETANI GARAM LAIN/ TIDAK TERLALU MENGGUBRIS SOAL HASIL YANG TIDAK MENENTU ITU// KARENA/ MEREKA ADALAH ORANG-ORANG YANG TERBIASA MENGALUNKAN RASA SYUKUR/ ATAS SEGALA YANG DIDAPATNYA DARI YANG MEMBERI REJEKI// SELAIN ITU/ MEREKA ADALAH BUNGA SEULANGA/ YANG TIDAK PERNAH INGIN LAYU DI TANGKAINYA//


# Wahai bunga, indah sekali

# Seperti bidadari nan cantik sekali

# Datang lelaki yang menggoda

# Menggoda siang dan malam


# Sayang, sungguh sayang

# Kalau sudah sampai waktunya

# Bunga akan layu dan jatuh ke tanah

# Sayang, sungguh sayang nasib seulanga

(Reffrein Lagu “Seulanga” By Rafly & Kelompok Musik Kande)

PERBURUAN ORANGUTAN DI KEBUN KELAPA SAWIT


(Foto-foto: Teguh Prihantoro dan Syaiful Halim)

Cerita nyata Pulau Kalimantan adalah satwa liar, hutan, dan air. Dan waktu telah membuktikan, wajah suci ketiganya membuat manusia yang ada di dekatnya, bisa mendapatkan kenikmatan hidup. Namun, cerita indah itu segera berakhir, ketika manusia yang bekeinginan menjadi sang maha mengatur, melahap hutan dan air, tanpa mengindahkan nasib satwa liar dan manusia lain.


Air bening masih ada di Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sehingga, anak-anak masih bisa bermain di atasnya, dengan penuh keceriaan. Jauh menembus ke dalam, jauh di antara pohon-pohon di tengah hutan pulau kajja, pitun, mega, dan sekawanan orangutan, juga masih bisa bermain, dengan penuh keriangan. Mereka juga begitu menikmati kehidupan alami nan jauh dari hingar-bingar kehidupan manusia.


Pitun, Mega, Sella, dan banyak nama-nama manusia, memang disematkan pada kawanan orangutan ini. Karena, mereka merupakan orangutan (pongo pygmaeus) yang pernah direintroduksi dan masih mendapat perhatian
para teknisi, dari pusat reintroduksi orangutan, Borneo Orangutan Survival. Sehingga, mereka pun mencoba dimanusiakan dengan memiliki nama, sambil diajarkan sebuah keberanian, untuk menjalani kehidupan keras di habitatnya.


Nasib baik Pitun dan kawan-kawan, memang tidak dialami oleh saudara-saudaranya di kawasan lain. Persisnya, ketika pohon-pohon bertumbangan. Meswin-mesin gergaji, dengan rakus, menebangi setiap tumbuhan yang ada di dekatnya. Tahap berikunya, ganti mesin-mesin buldozer atau ekskapator, ikut meratakan kawasan hutan menjadi satu dengan tanah. Pohon-pohon tumbang, hutan-hutan pun hilang.


Lalu, manusia-manusia sakti yang berkeinginan menjadi sang maha mengatur pun, menyulap bekas lahan-lahan hutan menjadi kebun-kebun kelapa sawit. Maka, lahan kehidupan orangutan dan satwa liar lainnya pun, sirna. Inilah, awal tragedi kehidupan di kawasan Danau Sembuluh di Kabupaten sampit, Kalimantan Tengah.


Kegundahan atas bergantinya wajah Danau Sembuluh, dari kawasan hutan hijau menjadi kebun-kebun sawit, memang bukan hanya milik orangutan dan satwa liar. Tapi juga dirasakan oleh warga di Desa Sembuluh, yang bersentuhan langsung dengan kebun-kebun sawit. Karena, dengan alasan sengaja atau terpaksa, mereka telah kehilangan ladang-ladangnya. Bahkan, beberapa di antaranya ikhlas menjadi buruh kebun kelapa sawit, untuk sekedar menyambung kebutuhan hidup. Pokok persoalannya adalah mereka menjadi buruh di bekas lahan miliknya sendiri.


Selain persoalan hilangnya ladang-ladang milik warga, yang berganti menjadi kebun-kebun sawit milik para pengusaha, diam-diam ancaman pencemaran pun mulai dirasakan oleh warga. Air danau yang dulu diyakini bersih dan layak untuk dikonsumsi, kini mulai diragukan. Berdirinya pabrik-pabrik pengolahan minyak kelapa sawit, yang limbahnya digelontorkan ke danau, membuat air danau tak lagi bersih dan sehat. Para nelayan merasakan sekali perubahan itu.


Dulu, sebagian besar warga desa sembuluh memang bekerja sebagai nelayan. Dan, ikan-ikan yang didapat dikirimkan ke berbagai pasar di kabupaten sampit. Kini, ikan-ikan yang didapat banyak yang telah dijangkiti penyakit. Contoh paling segar adalah dikemukan para warga, yang memelihara ikan di atas keramba. Karena, belum lagi satu minggu, hampir setiap hari ditemukan puluhan bibit ikan yang mati.


Dalam kurun tiga tahun ini, kebun-kebun kelapa sawit pun, menghampar luas di danau sembuluh dan berbagai lokasi lainnya di kalimantan tengah. Saat ini, sekitar 4,3 juta hektar hutan telah berganti rupa menjadi kebun-kebun kelapa sawit milik sekitar 240 perusahaan, yang seperetiganya berasal dari negeri jiran. Dengan total nilai investasi yang mencapai 11,7 trilyun rupiah, para pengusaha itu berharap mengeruk laba sebesar-besarnya. Target, mereka bisa meraih satu juta ton minyak sawit, dan meraih keuntungan hingga 3,6 trilyun rupiah setiap tahunnya.


Warga Desa Sembuluh, mungkin bisa diam atau pasrah atas nasib yang didapatnya. Namun, bagaimana dengan orangutan?. Mereka kehilangan rumah dan tempat mencari makan. Mereka terlunta-lunta, tanpa bisa berpikir, bagaimana lagi cara mempertahankan hidupnya? Pada akhirnya, orangutan pun mencari makan di kebun-kebun sawit, dan melahap daun dan tunas yang baru ditanam.


Ini ancaman serius bagi bagi kelangsungan usaha. Sehingga, para buruh yang berada di lapangan pun, harus mati-matian menjaga nilai investasi dan target keuntungannya. Dan, mereka tidak akan membiarkan siapa pun menjamah kelapa sawit yang telah ditanam. Maka, para buruh pun beramai-ramai memburu orangutan. Mereka seakan telah sepakat, untuk membantai setiap orangutan, yang mencoba mencari makan di kebun-kebun kelapa sawit. Mereka tidak peduli soal makna pelestarian satwa langka atau persoalan-persoalan ekologi lainnya. Yang jelas, orangutan mengganggu usaha para majikannya. Dengan demikian, masa pembantaian terhadap orangutan pun tiba.


Para buruh umumnya gemar melukai tangan dan menghantam kepala orangutan. Ratusan orangutan tewas atau cacad, dan ratusan anak-anaknya menjadi yatim piatu. Meskipun begitu, jangan berpikir tentang upaya penghentian perburuan, atau penghukuman terhadap pelaku-pelaku kriminal lingkungan itu. Karena, usaha perkebunan kelapa sawit di negeri ini, seakan mendapat restu, untuk berbuat apa pun. Termasuk, membantai makhluk hidup, yang beberapa karakternya mirip manusia ini.


Secara biologis, DNA orangutan atau pongo pygmaeus sekitar 90 persen sama dengan manusia. Artinya, makhluk hidup ini memiliki banyak kemiripan karakter dengan makhluk tersempurna di muka bumi. Karena itu, proses reintroduksi atau rehabilitasi terhadap anak-anak orangutan, khususnya anak-anak yatim-piatu korban pembantaian di kebun kelapa sawit, membutuhkan ketelatenan sendiri.


Setiap pagi, para babysitter menggiring anak-anak orangutan ke hutan lindung, yang disebut sekolah, sebagai cara mengajarkan keberanian hidup di alam bebas. Para babysitter mengawasi dan menjaga anak-anak orangutan benar-benar dengan hati. Mereka tidak diperkenankan memukul. Sebaliknya, belaian halus senantiasa harus diberikan, ketika mereka mendorong balita orangutan ini, untuk bergerak di habitatnya.


Meskipun demikian, cerita tentang genocide orangutan ini, tidak dengan sendirinya berakhir. Karena, muara permasalahannya sendiri hingga kini belum terjawab. Kisah orangutan yang kelaparan, masuk ke kebun kelapa sawit, lalu diburu dan dibantai. Dan, kerap diselamatkan tim rescue dan dirawat di pusat reintroduksi orangutan, hanyalah solusi kecil dan jutaan masalah.


Di luar itu, juga masih ada cerita tentang warga Desa Sembuluh yang tidak lagi memiliki ladang, danau yang tidak lagi memberikan ikan segar dan air bersih, serta berbagai konflik sosial lainnya. Ini juga biaya sosial dari sebuah usaha bernama, perkebunan kelapa sawit. Ironisnya, masalah utamanya sendiri, yakni, membanjirnya izin memberangus hutan dan membangun kebun kelapa sawit, belum terjawab. Seakan, tidak satu pun kekuatan yang bisa membendung laju penghancuran lahan hijau di kalimantan ini.


Kalimantan adalah satwa liar, hutan, dan air. Ketiganya merupakan satu kesatuan, yang membuat manusia bisa merasakan surga dari Yang Mahamengatur. Orangutan bukan sekedar satwa liar dan langka, yang ikut mengatur kehidupan manusia. Sebaliknya, dengan akal-budinya, manusia justru bisa mengatur kehidupan orangutan. Sehingga terciptalah gambaran sebuah hubungan harmonis antara manusia dan makhluk hidup lain.


TIM PRODUKSI:
“Orangutan di Kebun Kelapa Sawit”; Syaiful Halim (Produser Pelaksana/Sutradara/Penulis Naskah/Kamerawan/Periset); Teguh Prihantoro (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono (Periset); Hardy Baktiantoro & Wahyuni (Pendukung Produksi/Talent). Diproduksi di Sampit dan Palangkaraya, Kalteng, pada 3 – 10 Mei 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV pada 19 Mei 2007.