September 28, 2009

GADO-GADO SANG JURNALIS

Suatu ketika saya diminta berbicara teknik produksi feature oleh sebuah lembaga pendidikan di Gorontalo. Lantas seorang peserta bertanya tentang perasaan saya menjadi jurnalis televisi. Pertanyaan yang teramat sederhana. Dan, wartawan pemula sekali pun akan mudah menjawabnya. Bahkan lengkap dengan segala remeh-temehnya. Saya menduga, pertanyaan itu pun sekedar uji nyali sang peserta agar terbiasa menjadi berani di berbagai forum pertemuan. Karena mereka memang calon-calon jurnalis.

Saat itu, saya pun mencoba menjawabnya seringan mungkin. Dalam artian, saya hanya memaparkan apa-apa yang bisa mereka lihat secara jelas. Misal, kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh ternama, kesempatan berpergian ke berbagai daerah dengan segala fasilitasnya, dan tentu saja kesempatan menghimpun pelajaran tentang hidup. Dua jawaban terdepan adalah kenyataan yang nyaris didapatkan oleh kalangan wartawan dari media massa mana pun. Bahkan, siapa pun bisa menyepakatinya tanpa berpikir panjang. Jawaban terakhir? Ups, apa tidak mengada-ada? Atau, sekadar menghiperbolakan persoalan?

Saya sempat berpikir panjang tentang makna “pelajaran hidup” dari pernyataan yang pernah saya ungkapkan itu. Saya sangat yakin jawaban itu tidak salah. Karena, toh saya melontarkan jawaban itu berdasarkan apa-apa yang terekam otak kiri-kanan saya selama bertahun-tahun. Sebaliknya, apakah mahasiswa yang mendengarkan jawaban itu akan memahami dan memaknainya seperti yang saya maksudkan? Belum tentu. Biar bagaimana pun, pengetahuan dan pengalaman mereka masih teramat sedikit untuk memahami pelajaran tentang hidup. Terutama, memaknai pesan-pesan yang didapat dari kehidupan itu sendiri.

Berbekal dari konflik batin itu, saya jadi bersemangat untuk menuliskan cerita tentang profesi jurnalis televisi dan pelajaran hidup yang terekam di dalamnya. Niatan awalnya, karena ingin membuktikan kebenaran atas keyakinan saya itu. Sehingga, konflik batin itu bisa tersalurkan secara positif. []

CATATAN KECIL


Membuat film dokumenter atau news feature sama dengan membangun sebuah bangunan indah. Ia bukan hanya membutuhkan "tukang-tukang" yang cerdas dan berpengalaman, tapi juga perlu dukungan pemilik bangunan, mandor, serta bahan baku yang memadai. Sulit jadinya, memang. Tapi, itulah konsekuensi berkesenian.

Bagian tersulit adalah ketika premis dibangun bersama pemilik dan mandor bangunan -- yang tidak cerdas dan berpengalaman. Hasilnya, bukan hanya membuat proses kerja jadi tidak bermakna. Tapi, hasilnya pun senantiasa tidak membahagiakan sang pemilik bangunan dan mandor. Maka, sia-sialah, buah yang harus dipetik.

Bagian tersulit lain adalah ketika "tukang" atau "kenek" juga bertanya; pemilik bangunan dan mandor tahu nggak sih kita kerja? Dosa rasanya, membangunkan keyakinan pada harapan yang belum pasti. Padahal, sebagai “tukang” handal, kita mesti mengabaikan pujian atau harapan-harapan yang pasti. Namun, menikmati proses itu sendiri jauh lebih berarti.

Di luar pemilik bangunan dan mandor, rancangan premis yang ngawur, kesungguhan hati yang sia-sia, keyakinan yang terabaikan, kami cuma memiliki satu modal; berwasiatlah tentang kesabaran dan kebenaran. Akhirnya, hasil bangunan pun berat jadinya. Tapi, inilah buah dari kesungguhan, keyakinan, dan keterperihan hati.

Terima kasih buat para "tukang" dan "kenek" yang masih ingin dibuai wasiat tentang kesabaran dan kebenaran. Gusti Allah akan senantiasa menyinggahi fawaid kita. Subhanallah...