November 14, 2009

gado-gado SANG JURNALIS

Buku ini laksana rundown sebuah program berita menjadi segmen per segmen. Segmen pertama menguraikan sepenggal perjalanan hidup yang berkaitan dengan profesi jurnalis televisi. Dari sekedar gila menonton televisi hingga menjadi mahasiswa. Selain mencoba membangun inspirasi dan kebanggaan akan profesi kewartawanan, segmen itu pun menguraikan sejumlah pengetahuan Dasar-Dasar Jurnalistik, Filosofi dan Sejarah Profesi Kewartawanan, Manajemen Media Massa, dan Penulisan Berita.

Segmen dua dan tiga makin fokus pada persiapan menekuni profesi jurnalis televisi dan aspek-aspek di dalam lingkungan televisi. Dari menguraikan pengetahuan tentang persiapan peliputan untuk jurnalistik televisi hingga mengenal profesi-profesi khusus di lingkungan Divisi Pemberitaan. Dalam segmen tiga, buku ini akan mengajak Anda memasuki kavling-kavling penggarapan berita televisi menurut bidang masalahnya. Jika dibuat komposisi, sekitar 70% uraian mengungkap praktik serta sisanya berisikan teori dan hal-hal remen-temeh lainnya.

Segmen terakhir, buku ini akan memaparkan sisi jurnalis televisi yang back to the jungle alias balik kanan ke kantor. Segmen ini mengupas teori ideal dan praktik pekerjaan sebagai produser, plus perkembangan tren jurnalistik televisi terbaru. Selain “booming” program infotainment yang mengalahkan pamor program berita, perkembangan manajemen media massa termutakhir, hingga masa depan yang harus dibangun sang jurnalis televisi saat bintangnya meredup.

Jadi, terasa kan cita rasa “gado-gado”nya?

Bisa jadi gaya penulisan buku ini dianggap ecek-ecek, karena ditulis oleh seorang yang menganggap dirinya sebagai jurnalis televisi yang ecek-ecek, meski sejatinya buku ini menyuguhkan "sesuatu" yang sulit dipandang ecek-ecek. Karena dari serangkaian cerita gado-gado yang dibuat penulisnya, Anda akan dibawa untuk menentukan bagian-bagian yang penting dalam jurnalistik dari sekian lama petualangan penulisnya sebagai jurnalis.

Atau justru Anda menjadi salah satu yang berani menyatakan bahwa buku ini ecek-ecek? BACA DULU![GGsj: rWEE]

November 05, 2009

Di Atas Bintang Sejarah, Nasib Jadi Terserah


Dor! Bunyi pistol menggema. Seiring dengan letusan tersebut, sorak-sorai penonton di bibir pantai kota Majene berbaur dengan teriakan semangat para passandeq yang berlompatan ke atas perahu masing-masing. Teriakan-teriakan itu ditingkahi pula dengan bunyi berderak palattok sandeq dan bunyi derik layar yang ditarik naik.

Perahu sandeq Bintang Sejarah yang saya naiki, menyeruak ke depan, membuka jalan di antara padatnya perahu lawan. Detik pertama lomba, palattok atau katir cadiknya telah menghantam patah pallatok sandeq lain yang berusaha menghalangi derap majunya. Dapat diduga, sandeq lawan itu pun terhenti dan oleng. Namun sandeq Bintang Sejarah juga tidak luput dari ancaman serupa. Berulang kali, saya harus menundukkan kepala sebab palattok lawan yang berujung runcing, hampir saja merobek tiang layar dan nyaris melukai saya dan sawi lain yang ada di atasnya. Untung saja Muin, yang bertindak sebagai punggawa alias juru mudi, berhasil menghindarkan perahu kami dari segala ancaman.

Cukup lama berkutat dengan ketat, menghindari kesemrawutan seperti itu, namun perlahan tapi pasti, setelah bermanuver kiri kanan, perahu sandeq kami akhirnya berada di posisi terdepan. Walapun demikian, muka saya masih terasa memutih dan dingin dengan dada yang berdegup kencang. Berkali-kali cipratan air laut yang hangat membasahkuyupkan saya, namun saya seakan masih bermimpi perahu kami berhasil melewati kemelut pada start lomba. Saat ini, perahu kami melaju memimpin perlombaan.

ekan saya yang produser di salah satu TV swasta, Saiful Halim, tinggal sendirian di pantai. Dua kameramen lainnya telah pulang ke Jakarta akibat kena penyakit cacar. Di tangan Saiful tergenggam kamera PD 170 untuk mendokumentasikan sandeq Bintang Sejarah. Ia tampak tegang. Seiring dengan bunyi letusan pistol, ia menekan tombol record di kamera tersebut. Konsentrasinya sedikit buyar, sandek Bintang Sejarah terhalang laju perahu sandek lawan yang ujung cadiknya hampir menghantam seluruh awak Bintang Sejarah.

Sekitar 15 menit Saiful terus merekam momen tersebut, sampai kemudian ia bergegas naik ke atas kapal. Kapal itu merupakan kapal logistik milik sandek Bintang Sejarah yang dinahkodai oleh Miming. Dari atas kapal motor itu, nahkoda berusaha untuk mendekati Bintang Sejarah yang jauh di depan. Namun sandeq terlalu jauh, dan ombak besar menghadang kapal untuk maju. Miming tidak berani mengambil resiko. Saiful hanya bisa kecewa, karena dari atas kapal yang oleng, merekam gambar sandeq yang terlalu jauh dari rekaman lensa adalah hal yang sia-sia saja. Lagi pula saat itu, ia mulai terserang rasa mual.

Itulah sandeq. Perahu tradisional khas suku Mandar. Sandeq sepertinya memang dirancang untuk menaklukkan gelombang besar. Tofografi pantai serta kawasan di mana komunitas nelayan Mandar bermukim merupakan kawasan pantai yang langsung berhadapan dengan luat dalam. Kondisi ini membedakannya dengan kawasan dimana komunitas nelayan lainnya di Sulawesi. Para ahli percaya, hampir pada setiap bentuk kebudayaan di dunia, pengaruh lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab berbedanya varian artefak dan corak kebudayaannya. Kondisi laut yang berombak besar, membutukan jenis perahu yang mampu bermanuver dengan cepat.

Ridwan Alimuddin yang lama meneliti sandeq mengungkapkan bahwa berkembangnya evolusi perahu layar menjadi sandeq di awal tahun 1930-an, merupakan adaptasi para pelaut Mandar ketika berinteraksi dengan para pelaut-pelaut Eropa, terutama pada adatasi layar sehingga berbentuk segitiga. Namun tidak cukup dengan itu, bukti bahwa orang Mandar adalah pelaut dan bukan pelaut pedagang seperti suku lainnya di Sulawesi adalah pencapaiannya dalam menciptakan perahu sandeq – sebuah perahu yang awalnya untuk mencari hasil perairan laut dalam.

Namun, terlepas dari beberapa artefak di situs-situs arkeologi potensial di tanah Mandar yang lebih berorientasi agraris, saat ini sandeq adalah satu-satunya pembuktian bahwa orang Mandar memang pelaut ulung. Tidak diketahui secara pasti kapan mereka meninggalkan tradisi agrarisnya menuju tradisi maritim yang kental. Karena itu, ajang Sandeq Race bagi para keluarga nelayan di tanah Mandar adalah bagian dari prestise keluarga. Hal itu dimungkinkan karena saat ini tidak semua warga nelayan memiliki dan mampu mengendalikan sandeq. Karena itu keikutsertaan dalam ajang lomba bagi warga nelayan adalah bagian dari gengsi dan status sosial kelurga. Dan bagi kami, adalah satu kehormatan bisa mengendarai perahu layar tradisional tercepat di dunia itu.

Sandeq Bintang Sejarah yang saya naiki, dalam rating yang dicatat panitia merupakan sandeq dengan rating 4, yang berarti dari ukuran prestasi merupakan favorit juara. Sandek itu milik Saini, seorang nelayan yang bermukim di kawasan teluk Mandar, di desa Tangnga-Tangnga, Tinambung, Sulawesi Barat. Seperti nelayan Mandar lainnya, sandeq miliknya hanya dipergunakan pada saat lomba. Itu terhitung sejak ia memiliki sebuah kapal bermesin motor untuk aktivitas melautnya.

Berbeda dengan sandeq lain dalam perlombaan kali ini, Bintang Sejarah masih mempertahankan bentuk sandeq khas nelayan. Sandeq lain, umumnya lebih panjang dan rendah sehingga bisa memiliki layar lebih lebar yang dapat menampung lebih banyak angin ketika melaju. Sebaliknya, Bintang Sejarah memiliki ukuran terpendek, namun rating dan prestasinya menunjukkan sandeq ini tidak kalah dengan sandeq lain. Hal itu terkait dengan kemampuan para awak atau sawi serta punggawanya yang memang berkutat dengan kehidupan sandeq sebelum kapal bermesin motor marak di tanah Mandar.

Namun di ajang lomba tahun ini, kejayaan Bintang Sejarah seakan memudar. Pada etape pertama (Mamuju) yang menempuh jarak 60 km dari pantai Manakarra menuju Malunda, sandeq ini berada di posisi ke-12. Sedangkan etape Malunda - Majene berada di peringkat 8. Kekalahan tersebut lebih disebabkan minimnya angin di kedua etape dan kelelahan fisik sebab di etape yang ditempuh selama dua hari itu, ke-53 perahu yang berlomba harus mendayung. Alhasil, sandeq yang berbadan rendah lebih memiliki kecepatan dibandingkan dengan perahu sandeq yang saya tumpangi.

Keberuntungan tidak juga berpihak. Karena itu, di dua etape sebelumnya, perlombaan terasa monoton, tidak ada aksi akrobatik dari para passandeq dan perahunya dalam meniti gelombang. Hambar saja rasanya melalui kedua etape ini. Karena itu, etape Majene - Polewali yang dikenal memiliki angin kencang merupakan tempat favorit bagi para passandeq dan tempat mendokumentasikan lomba yang paling menarik.

Namun tidak semua punggawa sandeq mengizinkan orang lain ikut pada etape ini. Selain dapat mengacaukan konsentrasi akibat terjatuh di laut, mereka juga mengkhawatirkan peralatan dokumentasi yang dibawa akan rusak. “Kalau mau naik, panitia tidak bisa fasilitasi, tanya ke punggawanya langsung,” ujar Iwan. Walaupun mendapat izin, paling tidak orang yang mau ikut sandeq harus berlatih dahulu. Sesi latihan biasanya dilakukan jauh hari sebelum lomba. Beruntung pada sesi latihan, saya berhasil lolos, dan diperbolehkan naik di atas sandeq pada etape Majene - Polewali. Itu pun dengan pinggang dan pergelangan kaki yang terikat rapat supaya tidak terjatuh.

Adrenalin saya sudah terpacu beberapa menit sebelum bunyi letusan pistol mengawali etape Majene - Polewali. Kaki saya kesemutan akibat tali yang begitu kuat mengikat. Berulang kali Kama Muin, dan para sawi lainnya mengingatkan saya untuk berhati-hati. Namun gerakan sandeq yang melakukan gerakan timbang – gerakan akrobatik berdiri di tepi cadik untuk menyeimbangkan laju perahu agar tidak terbalik – lebih menarik untuk saya. Kamera saya terus merekam adegan tersebut. Konsentrasi pun terpecah antara mempertahankan arah kamera dengan keseimbangan tubuh yang terganggu akibat cipratan ombak.

Belum sadar sepenuhnya, tiba-tiba bayangan putih melesat tepat sejengkal dari kepala. Astaga, ujung cadik perahu sandek lawan hampir memecahkan kepala saya dan merobek layar perahu. Keseimbangan jadi terganggu, kamera pun basah terkena ombak. Blank! Punah sudah harapan saya. Kamera yang tidak terbalut lapisan anti-air itu tiba-tiba padam.

Namun satu hal yang menakjubkan, perahu kami memimpin etape ini. Meninggalkan jauh sandeq lainnya di belakang. Para sawi itu seperti gila, berloncatan ke sana kemari meniti cadik yang tipis dengan hanya bergatung pada seutas tali. Inilah adegan mattimbang lima. Adengan yang paling dinanti oleh para pencinta sandeq. Sesekali tubuh mereka di atas cadik berada sekitar 2 meter dari permukaan laut sebelum terhempas kembali ke dalam gulungan ombak. Hidup dan keselamatan mereka sepenuhnya hanya bergantung pada seutas tali itu, dan bertumpu pada kekuatan cengkraman kaki mereka yang kuat pada cadik yang licin. Pemandangan ini begitu mengerikan sekaligus eksotis. Sayang kamera saya telah rusak belaka.

Kami semua diliputi rasa bangga, begitu perahu melaju meninggalkan peserta yang lain. Untuk mencari angin yang lebih kencang, punggawa membelokkan haluan semakin ke tengah lautan. Daratan tampak kian mengecil. Beberapa sandeq di belakang kami rupanya mengambil langkah serupa. Dari jauh, perahu panita dan kapal pengiring kami kelihatan mengecil. Sepertinya mereka kesulitan mengiringi, sehingga lama-kelamaan mereka pun tidak kelihatan lagi.

Selama satu jam perjalanan, sandeq kami masih memimpin. Ujung cadik melayang di atas air. Para sawi sudah melakukan formasi timbang enam, yakni formasi langka yang jarang dilakukan oleh passandeq. Di tengah ketakjuban itu, tiba-tiba terdengar bunyi berderak. Saya tidak sempat berpikir. Para sawi terpental ke laut, sandeq oleng, dan separuh badan saya sudah berada di dalam laut. Ketika menengadah, tampaklah tiang layar yang terbelah dua. Saya pasrah saja, badan terikat dan tiang layar yang patah jatuh dari atas. Beruntung tidak mengenai badan atau mematahkan cadik yang menyeimbangkan perahu.

Sekali lagi saya menyaksikan, para sawi yang terlempar ke laut itu dengan mudah kembali berenang menuju sandeq. Luar biasa! Dengan mengandalkan bekas tiang layar yang ada, punggawa dan para sawi membuat tiang layar baru. Namun arus selat Makassar yang kuat membawa kami terombang-ambing di lautan luas, bukan menuju ke arah Polewali tapi malah mengarah ke perairan Mamuju.

Selepas asar, ketika matahari mulai condong ke barat dan pantai mulai terlihat, satu kapal nelayan melintas. Saya yang sejak tadi sibuk mengingat Tuhan akhirnya bergembira. Ada harapan untuk merapat ke pantai. Sandeq kami pun ditarik ke pantai. Persisnya di pantai kampung Rangas, 8 km dari kota Majene. Belakangan kami tahu, ternyata bukan sandeq kami saja yang mengalami kerusakan. Sedikitnya di pantai Rangas itu ada 6 sandeq yang rusak dan batal mengikuti etape Majene - Polewali. Meminjam hand phone seorang penduduk, saya mengabarkan kejadian itu ke Iwan. Tidak lama menunggu, panggilan darurat ini pun bersambut.

Sebelumnya, Iwan hanya bisa tercekat. Sebab, dari jauh ia menyaksikan perahu sandeq Bintang Sejarah yang melaju tiba-tiba berhenti di tengah laut. Namun ia tidak bisa berbuat banyak, kapal motor panitia yang ditumpanginya tidak berani menempuh resiko untuk lebih ke tengah laut. Namun ia sepenuhnya percaya, para awak Bintang Sejarah bukan peserta lomba biasa. Mereka adalah nelayan tangguh yang bertanggung jawab dan terbiasa dengan ancaman seperti itu. Sehingga walapun sedikit berat, ia terpaksa melanjutkan perjalanan menyusuri tepi pantai Majene menuju Polewali.

Sementara di perahu logistik, Saiful sedikit cemas. Sejak tadi kamera PD sudah menggelatak di sampingnya. Dari kejauhan ia tidak melihat lagi tangan saya mengacungkan camera coder. Ketika perahu sandeq terhenti tiba-tiba di lautan, ia bertambah khawatir. Karena itu Miming berusaha mendekati Bintang Sejarah, ia khawatir walaupun para sawi dan punggawa telah berjanji untuk menjaga “orang lain yang terikat” agar tidak terjatuh. Namun sandeq yang terhenti di tengah laut secara tiba-tiba itu membuat dirinya cemas. Ombak terlalu besar untuk dilalui apalagi salah satu mesin kapal mati. Saiful dan Miming hanya bisa pasrah. Sementara itu, kapal panitia sudah tidak terlihat lagi.

Pukul 4 sore, hand phone Iwan berbunyi, satu SMS dengan kode CM masuk. Itulah panggilan darurat dari saya. Ia segera menghubungi kembali nomor tersebut. Mendadak wajahnya berseri. Iwan bilang, “Ya tunggu saja di Rangas, panitia akan menjemput di situ. Berapa sandeq yang merapat di situ?” Ia kedengaran sedikit bersemangat. Mungkin ia semakin yakin, orang Mandar memang orang laut. Entahlah.[ASFRIYANTO]


Suku Talang Mamak, Hidup Miskin di Tengah Alam nan Kaya


Kamilah mamak (paman) dari semua suku sejak dari hulu Kuantan sampai hulu Gangsal,” ujar Pak Katak dengan dialek Melayu yang kental. Selain sebagai kemantan atau dukun utama suku Talang Mamak, ia juga merupakan Batin atau kepala suku di pedalaman kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Provinsi Riau.

Kuantan dan Gangsal sendiri adalah dua sungai purba yang masih mengalir sampai sekarang di Riau. Peran penting sungai ini pada masa lalu ditunjukkan dengan banyaknya reruntuhan situs masa Hindu-Budha seperti candi dan petilasan-petilasan purba yang tersebar di sisi kiri dan kanan tebing sungai. Cerita tutur masyarakat Talang Mamak dan suku-suku penghuni kawasan pedalaman Jambi dan Riau percaya bahwa dua sungai ini merupakan titik tolak peradaban mereka yang paling purba.

Namun saat ini kawasan kehidupan suku Talang Mamak telah jauh meningalkan dua sungai tersebut. Akibat perkembangan zaman, perlahan mereka terdesak jauh dan lebih ke pedalaman lagi menuju jantung pulau Sumatera yang saat inipun mulai tergusur oleh para pemegang izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan perkebunan kelapa sawit. Praktis di tengah pergulatan itu, sisa-sisa suku Talang Mamak saat ini hanya ditemukan di sekitar kawasan Taman Nasioanal Bukit Tiga Puluh saja. Hanya sedikit yang mau bermukim kembali di bibir sungai Gangsal, muasal kehidupan nenek moyang mereka.

Mengunjungi Pak Katak di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh merupakan perjalanan yang melelahkan. Izin harus diperoleh dari pengelola kawasan Taman Nasional di kota Rengat, ibukota kabupaten Inderagiri Hulu. Tanpa izin dari mereka, mustahil bisa memasuki kawasan ini dengan aman. Hal itu disebabkan, masih banyaknya binatang buas semisal harimau Sumatera yang lapar dan ancaman dari para pembalak liar yang akan sangat mungkin ditemui ketika memasuki kawasan itu.

Beredar cerita di kalangan para pendaki, para pembalak di kawasan tersebut tidak segan-segan membunuh orang asing yang memasuki kawasan hutan apalagi jika diketahui membawa kamera. Konon mereka, para pembalak itu juga mempersenjatai diri dengan senjata api. Karena itu, permohonan izin dari kantor taman nasional Bukti Tiga Puluh sekaligus juga berarti meminta pengawalan bersenjata untuk memasuki kawasan tersebut.

Dengan jagawana bersenjata, saya beserta rombongan dari mahasiswa jurusan sosiologi Universitas Riau memasuki kawasan tersebut dengan menggunakan mobil bergardan ganda.

Melewati jalanan bekas HPH dan perkebunan sawit merupakan pengalaman yang baru bagi saya. Walaupun dengan resiko, badan terasa nyeri terhempas kiri kanan ke lantai mobil pick up yang 100 persen besi itu, tapi saya senang, sebab kali ini saya terhindar dari berjalan kaki. Namun bayangan saya salah, bekas jalan HPH ternyata kerap mengundang longsor sehingga perjalanan dengan mobil, tidak lebih cepat jika dibandingkan dengan berjalan kaki.

Apalagi terkadang rombongan harus bersedia turun dari mobil, sekadar untuk mendorong ban mobil yang terjebak ke dalam lumpur atau untuk meringankan beban mobil ketika menyeberangi sungai kering ketika harus lewat titian kayu.

Mahasiswa sosiologi itu bercerita, pembalakan sangat marak terjadi di kawasan Bukit Tiga Puluh ketika reformasi bergulir. Dengan alasan kebebasan, perkebunan sawit milik putri mantan orang nomor satu di Indonesia dikapling-kapling, dan hutan pun dibabat. Semua itu dengan alasan reformasi yang disalahtafsirkan oleh masyarakat. Sehingga, bayangan akan lokasi suku Talang Mamak di hutan yang rimbun menjadi sirna dalam sekejap.

Namun dari bisik-bisik mahasiswa sosiologi di atas mobil, upaya pengawalan dari pihak jagawana pada dasarnya untuk mengawasi kami untuk tidak mengambil gambar di sembarang lokasi dan memastikan bahwa kami memang berfokus untuk menuju kawasan suku Talang Mamak saja. Karena itu saya menjadi paham, berulang kali beberapa dari petugas itu kerap mendelik atau mendengus ketika kamera mengarah ke tumpukan kayu dipinggir jalan yang kelihatan masih baru itu.

Setelah bersusah payah seharian, perjalanan kami terhenti. Tebangan kayu melintang di jalanan. Dari bekasnya, sepertinya pepohonan itu sengaja ditebang untuk menghalangi perjalanan dan itu merupakan tebangan yang baru berlangsung sekitar seminggu yang lalu. Panjang tebangan yang melintang jalan itu sekitar tiga kilometer.

Karena itu, berjalan kaki adalah alternatif satu-satunya untuk melanjutkan perjalanan menuju kampung Datai, kampung suku Talang Mamak yang masih berjarak sekitar 30 km. Dapat di tebak, setelah meninggalkan seorang jagawana yang tidak bersenjata, para jagawana lainnya kembali ke Rengat.

Bekas-bekas pembalakan menyisakan akibat yang luar biasa, walaupun pada peta rupa bumi yang saya pegang menunjukkan banyaknya sungai dikawasan ini, namun puluhan sungai-sungai dalam kawasan taman nasional saat ini telah mengering mengering. Ilalang telah menggantikan rimbunnya pepohonan, sehingga sinar matahari di kawasan yang persis tepat di jalur garis khatulsitiwa itu semakin terik saja.

Walhasil, walaupun jaraknya relatif tidak terlalu jauh, dan medannya relatif rata dibandingkan dengan kawasan Sulawesi, sisa perjalanan itu sungguh sangat berat untuk dilewati. Karena itu, dengan terpaksa, beberapa ransel atau bawaan lainnya ditinggalkan di tengah hutan, dengan harapan sesampainya esok di kampung Datai, sebagian orang Talang Mamak bersedia menjemputnya.

Malam, kami akhirnya sampai di kampung Datai. Letih dengan perjalanan seharian menyebabkan pertemuan dengan Pak Katak jadi terasa hambar. Walau demikian, saya masih menyempatkan diri menerima suguhan sirih dengan pinang muda yang di tawarkannya. Rumah Pak Katak yang kami tempati malam ini, merupakan bekas gereja yang dibangun oleh misionaris yang pernah berusaha menyebarkan injil ke dalam kawasan ini lima tahun yang lalu.

Karena itu, saya menjadi paham, di tengah hutan dengan akses yang jauh dari keramaian kota, rumah Pak Katak beratap seng, demikian juga dengan beberapa rumah lainnya. “Dia masok ke sini bao agamo, tapi awak di sini dak mau, kalau dah baagamo bukan lagi Talang Mamak tapi Melayu,” ujarnya. “Kalau ba agamo dak boleh tinggal, harus pegi dari kampong,” lanjutnya.

Walapun demikian, banyak juga orang Talang Mamak yang memeluk agama Kristen, tetapi tidak menjalankan ibadah seperti penganut agama Kristiani lainnya. Sebagian dari orang Talang Mamak, juga telah menganut agama Islam. Dengan agama yang satu ini, setidaknya hubungan sejarahnya lebih intim, sebab Kesultanan Rengat masa silam dan sampai sekarang masih merupakan tempat patron mereka dalam ritus.

Jadi, walapun sistem kesultanan sudah di hapuskan dalam negara kesatuan RI, mereka masih kerap membawa sesajian ke pinggir sungai Kuantan atau Inderagiri itu, dimana bekas lokasi istana Sultan Rengat masa lalu masih dingat oleh mereka. Bahkan Pak Katak sendiri, cukup awam dengan nama Nabi Muhammad, walapun dengan nama yang satu ini, bagi dirinya sudah dibalut dengan sinkritisme ritus dan mitos.

Tapi setidaknya, pengaruh ajaran Islam pernah cukup kuat di kawasan ini. Walaupun tidak semua warga memiliki KTP, namun jangan sesekali Anda meminta mereka untuk memperlihatkannya, sebab anda akan kaget dengan ulah pamong kita! Jangan kaget, entah diperoleh dari mana, yang jelas di KTP milik seorang warga yang bernama Cak Wing, tertulis : beragama Hindu!

Jauh dari hiruk pikik kota, orang Talak Mamak tetap saja belum tersentuh pembangunan. Bangunan sekolah berdinding bambu, telah rubuh 10 tahun yang lalu. Upaya pendidikan bagi anak-anak warga suku Talang Mamak justru diberikan oleh para pendatang semisal oleh Misionaris, LSM atau oleh mahasiswa yang berkunjung ke kawasan ini.

Awalnya, kegiatan pengajaran ini dipicu karena seringnya warga suku Talang Mamak ditipu ketika menjual karet atau getah jernang di pasar. Sejak saat itu, Pak Katak kerap meminta setiap LSM, Misionaris atau mahasiswa yang datang berkunjung ke Datai untuk mengajar masyarakat sekedar mengenali uang atau berhitung agar tidak ditipu ketika menjual hasil kebun mereka.

Jauh dari akses kota juga menyebabkan pemerintah dan dinas kesehatan terlambat untuk mengetahui, bahwa setahun yang lalu, wabah cacar telah membunuh lebih dari separuh anak-anak di kawasan ini, salah satunya adalah anak Pak Katak. Memang untuk menuju kampung Datai memiliki dua jalur alternatif, selain jalan darat tadi ada jalur sungai, yakni dengan menghulu sungai Gangsal. Melalui jalur sungai, menuju kampung Datai dari desa terdekat berjarak dua hari menghulu dengan rakit. Karena itu, dapat dimaklumi, petugas pemerintah mana yang berani mengambil resiko mempertaruhkan gaji untuk menghulu sungai Gangsal yang deras itu.

Terlebih lagi, hujan di hulu sepuluh tahun terakhir ini sulit diprediksi. Sebab hutan telah gundul. Karena itu, jika hujan sedikit saja di hulu, maka banjir besar di muara. Itu resikonya!

***
Ketika keesokan harinya, setelah mengitari kampung Datai bersama Pak Katak, suasana sepi begitu terasa. Para lelaki dan perempuan sedang sibuk mencari jernang, komoditi hutan yang berharga mahal, mirip dengan gaharu. Ada aura kemiskinan dari jejeran rumah di kampung itu pasca menipisnya hutan di sekitar kawasan adat Talang Mamak.

Mungkin ada benarnya juga, dalam satu kumpulan makalah konferensi masyarakat adat yang di adakan oleh salah satu LSM,yang bukunya ada ditangan saya, tertulis : Seringkali ketika suaka margasatwa atau taman nasional dibangun, pemerintah lebih memperhatikan satwa dan floranya dibandingkan dengan manusia yang menghuninya. Dan itu benar! Mereka, suku Talang Mamak di taman nasional itu bernasib serupa, padahal mereka bermukim di salah satu propinsi paling kaya di Indonesia.

Sementara itu, di tengah kebun kosong, para mahasiswa sosiologi Universitas Riau sedang mengadakan kelas darurat membaca dan berhitung bagi anak-anak suku Talang Mamak.

Saya dan Pak Katak kemudian ikut pula bergabung. Kelas darurat itu begitu interaktif, komunikasi dengan dialek Melayu antara mahasiswa itu dengan anak-anak Talang Mamak dan para orang tuanya begitu mengasyikkan.

Namun di tengah kegembiraan itu, tiba-tiba saya menjadi terbahak keras, di ujung pertanyaan yang dilontarkan oleh para mahasiswa itu ”Siapo yang tau namo presiden Indonesia sekarang?” warga suku Talang Mamak itu hanya melongo. Ya, melongo! Tak ada jawaban![ASFRIYANTO]