Januari 18, 2012

postkomodifikasi media & CULTURAL STUDIES


Industri media televisi senantiasa berdiri pongah dengan hiperrealitas dan peniruan-peniruan yang dibuatnya di layar kaca. Di balik itu, determinisme ekonomi dan hegemoni mendorong makin membuncahnya keberingasan EKONOMI POLITIK MEDIA. Dan pembongkaran-pembongkaran atas "ideologi" itu semua dimulai dengan menyelidiki teks berita televisi.

POSTKOMODIFIKASI MEDIA & CULTURAL STUDIES mengantarkan pembaca pada keindahan pembongkaran ala cultural studies, yang dimulai dengan pembacaan teks televisi secara critical lingustic analysis dan semiotic analysis. Seperti biasa, penulis buku ini menyajikannya dalam gaya bahasa tutur yang ringan dan bersahaja. Nantikan!

memberi terang di SETIAP KARYA

“Berita bukan hanya kumpulan fakta. Kampus mengajarkan, berita juga merupakan produk media massa paling “centil” untuk memberikan “terang” bagi masyarakat luas. Jurnalis atau wartawan memiliki keperkasaan dan kepedulian yang memberikan “terang” tersebut kepada banyak orang.” (Halim, Syaiful. 2009. Gado-Gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-ecek. Jakarta: Gramata Publishing)

Itulah kutipan dari salah satu buku karya Syaiful Halim. Beliau lahir di Jakarta pada tanggal 11 Desember 1967. Sejauh ini, ia telah menulis empat buku: Gado-gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-ecek, Memotret Khatulistiwa: Panduan Praktis Produksi Dokumenter Televisi, Tayangan Video Mirip Artis: Pertaruhan Objektivitas dan Kearifan Media, serta Media dan Komunikasi Politik. Di tengah kesibukan sebagai praktisi televisi dan menulis, berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan mengajar sebagai dosen juga menjadi peran yang tengah dinikmatinya.

Menempuh pendidikan sejak SD hingga perguruan tinggi di Jakarta. Pendidikan terakhir di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) jurusan Ilmu Jurnalistik dan Pascasarjana Universitas Mercu Buana Fakultas Ilmu Komunikasi Program Studi Media and Politic Communication. Sejak kuliah, aktif menulis ke berbagai media massa. Semasa kuliah, sempat bekerja di sebuah tabloid wanita sebagai reporter. Setelah selesai kuliah, justru menjadi copywriter di sebuah perusahaan farmasi multinasional. Akhirnya, mengarah ke industri komodifikasi. Bermula dari staf quality control, program director, lalu menjadi jurnalis televisi. Dengan kapasitas itulah ia berkesempatan untuk menginjakkan kaki hampir di seluruh pelosok nusantara.

Syaiful Halim juga mengajar Teknik Reportase di Institut Manajemen Telkom setiap akhir minggu. Inilah kesempatan saya untuk mewawancarai beliau, yaitu pada Sabtu (3/12). Sebelumnya, saya pun bergabung dengan teman-teman mahasiswa lM Telkom mengikuti perkuliahan tata kamera bersama beliau dan Yuli Sasmito, cameraman senior Liputan 6 SCTV. Wawancara pun saya lakukan di sela istirahat perkuliahan. Berikut wawancaranya.


Dari buku Gado-gado Sang Jurnalis, ada hal unik tentang latar belakang profesi Bapak. Bagaimanakah kisahnya?
Hampir sebagian besar karir dan pekerjaan saya terinspirasi oleh film. Saya terlalu tergila-gila pada film. Di buku Gado-gado Sang Jurnalis itu, saya menceritakan latar belakang profesi saya dari masa kecil yang dipicu oleh film Mike Andros di TVRI, petualangan wartawan investigasi. Pada awalnya saya ingin menjadi insinyur dan arsitek, tapi karena ada problem kemampuan dan sebagainya, saya tidak mungkin memilih itu. Alternatif kedua, saya menilai bahwa jurnalistik itu lebih menantang. Kenangan masa kecil saya kembali dan cita-cita saya cuma satu, mau tidak mau saya harus masuk ke Sekolah Tinggi Publisistik. Motivasi saya menjadi wartawan lebih kuat dibandingkan yang lain.

Apa yang memotivasi Bapak juga aktif mengajar di perguruan tinggi?

Mengajar merupakan salah satu fase kehidupan yang menarik. Tahap memberi sesuatu kepada orang lain berupa pencapaian-pencapaian yang tidak saya temui dalam jurnalistik. Media saat ini telah mengalami erosi, idealisme media telah lari karena menjadi bagian dari industri. Saat industri media semakin kuat, jurnalistik kita semakin rapuh. Saat ini dunia pertelevisian tidak lagi baik untuk masyarakat, maka saya memilih untuk kembali ke kampus. Saya memulai perubahan dengan memberikan ‘sesuatu’ kepada mahasiswa hingga nanti saatnya mereka menjadi jurnalis dari ‘bibit’ yang bagus.
 
Di blog Bapak, saya melihat beberapa karya film dokumenter. Apa yang membuat Bapak tertarik dengan film?
Film menjadi suatu media penyampai gagasan. Dulu saya terpesona dengan keindahan jurnalisme dan hampir menjadikan jurnalistik sebagai ‘agama’ saya. Namun, saat ide-ide saya tersumbat, saya butuh suatu medium baru berupa film yang memberikan kesempatan luas untuk mengemas semua gagasan yang tersumbat itu. Mulai saat itu saya pun menganggap film sebagai ‘agama’ baru saya.

Apa saja yang Bapak lakukan selama bergabung dengan Matahati Production?
Matahati Production merupakan sekumpulan jurnalis televisi dengan minat yang sama terhadap film dokumenter. Dari komunitas ini, kami berupaya merangkul sineas muda menjadi film maker untuk memproduksi film dokumenter yang independen, sesuai dengan yang kami mau tanpa ada tuntutan industri, rating, dan kebutuhan komersial lainnya, serta tidak terikat dengan ide pesanan tertentu. Film dokumenter juga menjadi alat perjuangan agar gagasan kami tersalurkan dan teraktualisasikan secara sempurna.

Mengapa Bapak beralih ke buku?
Selalu ada medium-medium yang membuat seluruh gagasan dan pemikiran kita tidak hanya berkumpul di otak atau di laci-laci file kita, tapi bisa disalurkan ke orang lain. Buku juga membantu peran kita sebagai jurnalis, seperti filosofi buku saya yaitu “memberi terang” kepada masyarakat.

Dari empat buku yang sudah Bapak tulis, apa harapan terbesar Bapak?
“Membuat terang”, membuat orang-orang mengerti apa jurnalistik itu sebenarnya dan apa saja kebusukan industrialisasi media. Seperti pada buku Tayangan Video Mirip Artis: Pertaruhan Objektifitas dan Kearifan Media, membuka sesuatu yang telah rusak dari pertelevisian yaitu cara pemberitaan yang tidak berwawasan. Problem ini tidak bisa dibiarkan dan harus diatasi, minimal mulai dari kelas-kelas yang saya ajar. Dengan membaca buku saya, hal ini harus menjadi pemikiran untuk mahasiswa dan memacu sikap kritisnya terhadap dunia jurnalistik.

Bagaimana sikap Bapak dalam menghadapi degradasi minat baca di kalangan anak  muda?
Sejak saya mengawali produksi buku, saya juga mempertimbangkan aspek marketingnya, agar daya serapnya luar biasa di kalangan anak muda. Sebelum menulis, saya membaca buku Kambing Jantan karya Raditya Dika untuk memahami cara pendekatan ke pembaca. Ilmu yang rumit, teoritis, filosofis, dan muatan yang kuat dari jurnalistik bisa menjadi ringan di tangan pembaca. Maka jadilah Gado-Gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-Ecek. Gaya bahasa dan penyampaian seperti itu diupayakan untuk menjangkau pembaca sebanyak-banyaknya. 

Di tingkat kampus terjadi pertentangan di kalangan akademisi yang menganggap buku ini terlalu populer dan ringan, tapi tidak semua orang menangkap esensinya. Setelah menelusuri lagi buku-buku dari pakar komunikasi modern, mereka juga bermain dengan gaya bahasa yang seperti ini. Terobosan ini perlu waktu dan saya mulai juga dari kelas-kelas yang saya ajar. Hal terpenting adalah bagaimana mahasiswa memahami buku saya.

Dari seluruh pekerjaan yang Bapak tekuni, satu pekerjaan mana yang akan Bapak pilih? Alasannya?
Dunia yang terus menggoda saya adalah dunia film yang senantiasa memberikan gairah kehidupan. Dunia pendidikan pun sama menantangnya. Apa pun karya yang saya buat harus saya sampaikan. Sangat sulit apabila harus membuat film dengan bergerilya dari satu kota ke kota lain dan dari festival ke festival lain. Cara yang efektif adalah saya harus mengajar, mendistribusikan karya saya agar menjadi ‘virus’ yang nantinya akan berdampak dan memberi gejolak pada mahasiswa dalam memahami industri media. Suatu saat mereka akan memilih, minimal kita memberitahukan mana yang baik dan mana yang buruk.

Selama proses kreatif, hal apa yang paling berkesan bagi Bapak?
Semuanya berkesan karena jurnalistik mengantarkan saya ke banyak persoalan negara ini. Saya menjadi saksi bagaimana warga Timor-Timur diusir dari negaranya. Saya menjadi satu-satunya jurnalis dari Jakarta yang berhasil menembus semua sumber dan lokasi, sedangkan semua wartawan asing terkurung di hotel. Saya juga menjadi saksi pergerakan militer dan bencana tsunami di Aceh, serta krisis Poso. Semua itu membuat saya paham tentang masalah-masalah negara ini. Proses berkebudayaan, memahami film, dan mengajar pun memberikan kenikmatan buat saya. Saya sangat bangga apabila ada mahasiswa yang memperoleh nilai bagus, berarti saya berhasil dalam setiap fase kreatif saya.

Setelah memahami masalah negara,  apa harapan terbesar Bapak untuk Indonesia saat ini?
Politik negara kita telah kehilangan jati diri. Sistem politik negara kita kiblatnya ke Amerika. Semuanya serba Amerika termasuk televisi, jadi kita dijajah di era neo-kolonialisme. Ini membuat saya berpikir, apabila negara ingin tenteram, kita harus kembali menjadi Indonesia yang santun, ramah, tidak bergantung dengan teknologi, produk-produk modern dan kapitalis. Jika keadaan seperti saat ini terus berlanjut, maka negara dan televisi kita akan terus memproduksi ‘sampah’ dan anak cucu kita nantinya juga akan terus mengkonsumsi ‘sampah’. Hal ini patutnya menjadi keprihatinan seluruh masyarakat. Produk film Indonesia pun ikut kacau, bioskop ramai dengan film horor dan seks. Buku-buku yang laku adalah buku-buku ringan tanpa materi dan teori bermanfaat. Bukan hanya pemerintah, tapi ini juga menjadi tugas besar untuk kita semua.

Dari fenomena media saat ini, perkembangan tren jurnalistik televisi seperti apa yang terjadi menurut Bapak?
Pertelevisian kita saat ini menganut kapitalisme yang disisipi oleh ideologi dan berorientasi pada khalayak. Kenyataannya, setiap pemberitaan selalu bertujuan pada rating. Di dunia jurnalistik, ketika lembaga pers yang wartawannya memikirkan rating, sesungguhnya mereka bukan lagi wartawan. Mereka telah mengkerdilkan peran jurnalisme, maka mereka tak lebih dari awak-awak media. Apalagi hal ini terjadi di lembaga industri nonjurnalisme seperti musik, film, dan sinetron, akan lebih parah, karena mereka tidak punya pijakan atau acuan profesi seperti kode etik. Bagian programming dan marketing otomatis idealismenya dipegang oleh orang-orang yang sangat kuat mengamankan kebijakan media seperti itu. Hasilnya adalah produk-produk hiperrealitas.

Bagaimana dengan tayangan televisi yang ratingnya sukses (item commercial break/iklan lebih banyak dibanding item berita), apa relevansinya dengan sistem politik saat ini?
Begitu diberi kebebasan reformasi yang terus bergulir, televisi diharapkan menjadi media yang ‘sehat’, ternyata terjadi ‘perselingkuhan’ antara legislatif, pemerintah dan pengusaha media. Segitiga ini menghasilkan kerjasama yang sinergis dalam membentuk ‘ideologi iklan’. Pengamat media dan akademisi yang mengkritisi tidak akan mempan karena tiga pilar ini sudah sangat kokoh. Dengan sistem politik yang kacau, media pun ikut kacau dan menghasilkan produk yang kacau. Masyarakat lebih percaya informasi dari facebook dan twitter daripada televisi. Apabila masyarakat menonton televisi secara gratis, sesungguhnya itu tidaklah gratis karena masyarakat otomatis mengonsumsi iklan dan menjadi bagian dari aset pemasaran. Itulah yang membahayakan.

Apa saja kontribusi Bapak untuk Indonesia dalam mengatasi masalah ini?
Kembali ke profesi saya, menciptakan film dan buku. Saya akan terus menulis buku dan blog sebagai bentuk kampanye saya dalam menayangkan realitas dan literasi media. Jika ada momen yang tepat, saya akan menayangkan film dokumenter yang layak untuk televisi kita. Hal paling efektif yang saya lakukan adalah kembali ke kampus, menghidupkan pemahaman tentang broadcasting. Saat berada di kelas yang bertebaran teknologi dan kreatifitas, saya selalu mengingatkan bahaya industri media kepada mahasiswa. Itulah langkah nyata saya dan akan terus saya lakukan.

Siapakah motivator terbesar dalam hidup Bapak sehingga menjadi sesukses ini?
Semuanya mengalir dan saya percaya petunjuk dari Tuhan. Menjadi wartawan, sineas, dan pengajar, alhamdulillah tercapai, walaupun harus bersaing dengan sistem. Dorongan terkuat saya dari hati, tekad saya untuk terus melakukan sesuatu tanpa memikirkan apa yang akan saya dapatkan. Di fase usia saya saat ini, saya harus memberikan sesuatu yang tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tapi juga untuk banyak orang dan negara.

Siapa inspirasi Bapak untuk terus berkarya?
Saya mengagumi Stephen Spielberg dalam dunia film, Jalaluddin Rakhmat sebagai penulis, Teguh Karya, Seno Adi Darma, dan Arswendo yang termasuk favorit saya karena kecepatannya mengalirkan ide-ide pintar. Terkadang saya juga harus nyontek apa yang ditulis Raditya Dika. Saya hampir menggabungkan semua sosok menjadi inspirasi saya. Saya mengambil hal positif dari siapa pun, bahkan mahasiswa saya.

Apa dampak terbesar dari profesi Bapak terhadap keluarga?
Keluarga selalu saya libatkan dalam kegiatan saya. Anak sulung saya sudah punya blog dan juga sering menulis buku harian. Terkadang ada complain dari istri dan anak-anak saat saya menjalankan tugas jurnalistik di lokasi yang jauh. Namun, mereka selalu men-support saya dan bangga dengan profesi dan karya saya. Mereka adalah inspirasi terbesar saya. Hanya Tuhan yang tahu apakah putra saya akan melanjutkan kiprah saya nantinya, tapi saya selalu tekankan untuk terbiasa menulis.

Seberapa besar pengaruh kehidupan keberagamaan bagi hidup Bapak?
Profesi jurnalis memang sulit membuat orang menjadi saleh dan takwa karena durasi pekerjaan yang luar biasa. Itulah yang harus dipilih apakah akan menjadi jurnalis yang lupa agama atau mendalami agama dengan mengenyampingkan jurnalisme. Konsekuensinya, semakin mendalami agama, ideologi jurnalisme kita pun semakin kuat. Kita tidak akan sembarangan membuat berita, kita tidak akan kooperatif dengan intimidasi pengusaha media dan orientasi massa.

Apa saja hobi Bapak?
Saya suka olahraga, travelling, dan fotografi. Saya juga hobi menulis.

Apa saja bahasa yang Bapak dikuasai?
Penguasaan bahasa Inggris saya biasa saja. Banyak cara dalam memahami dan menyampaikan bahasa, menggunakan bahasa dengan fleksibel saja. Mungkin juga karena kesibukan, tidak sempat mempelajari bahasa asing lebih dalam.

Penghargaan apa saja yang pernah Bapak raih?
Dalam dunia jurnalistik, tidak ada ajang penghargaan. Dalam perfilman, saya pernah mendapatkan beasiswa dari PJTV-Internews berupa dana dan perlengkapan produksi film dokumenter. Saya juga mengikuti workshop dan bertemu dengan filmmaker asing.

Di slug 21 buku Gado-gado Sang Jurnalis, ada pernyataan bahwa jurnalis tidak mengenal kata ‘selesai’. Mengapa Bapak berkata demikian?
Jurnalis itu profesi seumur hidup, seperti kutipan dari Rosian Anwar. Di manapun kita harus bersikap seperti jurnalis tanpa terikat medium. Kita harus selalu membaca, memperhatikan media, dan mengamati perkembangan, lebih luas dari kapasitas peliputan di lapangan. Tetaplah menjalankan fungsi pengawasan dengan cara yang efektif melalui buku. Selamanya harus berjiwa jurnalis, berkata benar dan membuat ‘terang’.

Apa pesan-pesan dari Bapak untuk mahasiswa, khususnya jurusan Jurnalistik?
Pahami kondisi sosial dan politik secara mendalam, pertajam skill baik dalam hal bahasa maupun teknis, terutama ketajaman naluri jurnalistik. Selalu miliki passion dan kreativitas. Junjunglah etika komunikasi dan kode etik jurnalistik. Itulah yang membedakan kita dengan wartawan-wartawan modern yang mengangkat citizen journalism yang tidak jelas ‘payungnya’.

Terakhir, mengapa Bapak selalu menuliskan nama lengkap Bapak dengan cara yang unik, yaitu “syaiful HALIM?
Seiring saya mendalami agama, ternyata HALIM adalah salah satu nama Tuhan yang artinya Maha Penyantun. Seharusnya nama saya Abdul Halim, artinya abdi atau hamba Tuhan. Itu menjadi salah satu cara saya berdakwah melalui nama Tuhan yang membawa berkah dan kebaikan akhlak. Memang sepele, tapi itu sangat penting artinya.[Pewawancara: Evelynd, Mahasiswi Semester Tiga Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran]

Sumber: Bandung Citizen Magazine