Februari 22, 2008

DI ATAS BINTANG SEJARAH, NASIB JADI TERSERAH

Dor! Bunyi pistol menggema. Seiring dengan letusan tersebut, sorak-sorai penonton di bibir pantai kota Majene berbaur dengan teriakan semangat para passandeq yang berlompatan ke atas perahu masing-masing. Teriakan-teriakan itu ditingkahi pula dengan bunyi berderak palattok sandeq dan bunyi derik layar yang ditarik naik.


Perahu sandeq Bintang Sejarah yang saya naiki, menyeruak ke depan, membuka jalan di antara padatnya perahu lawan. Detik pertama lomba, palattok atau katir cadiknya telah menghantam patah pallatok sandeq lain yang berusaha menghalangi derap majunya. Dapat diduga, sandeq lawan itu pun terhenti dan oleng. Namun sandeq Bintang Sejarah juga tidak luput dari ancaman serupa. Berulang kali, saya harus menundukkan kepala sebab palattok lawan yang berujung runcing, hampir saja merobek tiang layar dan nyaris melukai saya dan sawi lain yang ada di atasnya. Untung saja Muin, yang bertindak sebagai punggawa alias juru mudi, berhasil menghindarkan perahu kami dari segala ancaman.

Cukup lama berkutat dengan ketat, menghindari kesemrawutan seperti itu, namun perlahan tapi pasti, setelah bermanuver kiri kanan, perahu sandeq kami akhirnya berada di posisi terdepan. Walapun demikian, muka saya masih terasa memutih dan dingin dengan dada yang berdegup kencang. Berkali-kali cipratan air laut yang hangat membasahkuyupkan saya, namun saya seakan masih bermimpi perahu kami berhasil melewati kemelut pada start lomba. Saat ini, perahu kami melaju memimpin perlombaan
.

M. Ridwan Alimuddin, ketua panitia Sandeq Race 2007, sudah berada di atas kapal panitia jauh sebelum pistol dibunyikan. Ia sudah di tengah laut, tepat berada di bagian kiri rute lomba. Di lehernya tergantung kamera foto dan tangannya menenteng kamera video. Selain bertugas sebagai ketua panitia ia juga mendokumentasikan seluruh kegiatan lomba pada ajang tahun ini. Sama halnya dengan Iwan, di atas perahu sandek, saya juga membawa satu unit perlengkapan dokumentasi untuk kepentingan salah satu stasiun televisi.

Ketika tanda start dibunyikan, di pinggir kapal itu, Iwan tampak tegang. Beberapa sandeq dengan ujung cadik yang runcing berulang kali mengancam kapal yang ditumpanginya sebab posisi kapalnya relatif dekat dengan rute lomba. Ombak yang tercipta akibat laju sandeq serta ombak pantai Majene membuat tangannya sedikit goyah, konsentrasinya buyar. Apalagi ketika Bintang Sejarah dan beberapa sandeq lainnya, membuka rute baru menuju bagian tengah laut, lokasi yang berombak besar namun memiliki angin yang kuat untuk memacu sandeq. Iwan dan beberapa panitia di atas kapal sadar, mereka tidak mungkin dapat mengawasi sandeq yang menempuh rute ”yang lain” itu. Kecepatan kapal motor yang ditumpanginya tidak mungkin mampu mengejar dan mendampingi sandeq-sandeq yang memilih jalur tersebut. Ia hanya bisa pasrah.

Rekan saya yang produser di salah satu TV swasta, Syaiful Halim, tinggal sendirian di pantai. Dua kameramen lainnya telah pulang ke Jakarta akibat kena penyakit cacar. Di tangan Syaiful tergenggam kamera PD 170 untuk mendokumentasikan sandeq Bintang Sejarah. Ia tampak tegang. Seiring dengan bunyi letusan pistol, ia menekan tombol record di kamera tersebut. Konsentrasinya sedikit buyar, sandek Bintang Sejarah terhalang laju perahu sandek lawan yang ujung cadiknya hampir menghantam seluruh awak Bintang Sejarah.

Sekitar 15 menit Syaiful terus merekam momen tersebut, sampai kemudian ia bergegas naik ke atas kapal. Kapal itu merupakan kapal logistik milik sandeq Bintang Sejarah yang dinahkodai oleh Miming. Dari atas kapal motor itu, nahkoda berusaha untuk mendekati Bintang Sejarah yang jauh di depan. Namun sandeq terlalu jauh, dan ombak besar menghadang kapal untuk maju. Miming tidak berani mengambil resiko. Syaiful hanya bisa kecewa, karena dari atas kapal yang oleng, merekam gambar sandeq yang terlalu jauh dari rekaman lensa adalah hal yang sia-sia saja. Lagi pula saat itu, ia mulai terserang rasa mual.

Itulah sandeq. Perahu tradisional khas suku Mandar. Sandeq sepertinya memang dirancang untuk menaklukkan gelombang besar. Tofografi pantai serta kawasan di mana komunitas nelayan Mandar bermukim merupakan kawasan pantai yang langsung berhadapan dengan luat dalam. Kondisi ini membedakannya dengan kawasan dimana komunitas nelayan lainnya di Sulawesi. Para ahli percaya, hampir pada setiap bentuk kebudayaan di dunia, pengaruh lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab berbedanya varian artefak dan corak kebudayaannya. Kondisi laut yang berombak besar, membutukan jenis perahu yang mampu bermanuver dengan cepat.

Ridwan Alimuddin yang lama meneliti sandeq mengungkapkan bahwa berkembangnya evolusi perahu layar menjadi sandeq di awal tahun 1930-an, merupakan adaptasi para pelaut Mandar ketika berinteraksi dengan para pelaut-pelaut Eropa, terutama pada adatasi layar sehingga berbentuk segitiga. Namun tidak cukup dengan itu, bukti bahwa orang Mandar adalah pelaut dan bukan pelaut pedagang seperti suku lainnya di Sulawesi adalah pencapaiannya dalam menciptakan perahu sandeq – sebuah perahu yang awalnya untuk mencari hasil perairan laut dalam.

Namun, terlepas dari beberapa artefak di situs-situs arkeologi potensial di tanah Mandar yang lebih berorientasi agraris, saat ini sandeq adalah satu-satunya pembuktian bahwa orang Mandar memang pelaut ulung. Tidak diketahui secara pasti kapan mereka meninggalkan tradisi agrarisnya menuju tradisi maritim yang kental. Karena itu, ajang Sandeq Race bagi para keluarga nelayan di tanah Mandar adalah bagian dari prestise keluarga. Hal itu dimungkinkan karena saat ini tidak semua warga nelayan memiliki dan mampu mengendalikan sandeq. Karena itu keikutsertaan dalam ajang lomba bagi warga nelayan adalah bagian dari gengsi dan status sosial kelurga. Dan bagi kami, adalah satu kehormatan bisa mengendarai perahu layar tradisional tercepat di dunia itu.

Sandeq Bintang Sejarah yang saya naiki, dalam rating yang dicatat panitia merupakan sandeq dengan rating 4, yang berarti dari ukuran prestasi merupakan favorit juara. Sandek itu milik Saini, seorang nelayan yang bermukim di kawasan teluk Mandar, di desa Tangnga-Tangnga, Tinambung, Sulawesi Barat. Seperti nelayan Mandar lainnya, sandeq miliknya hanya dipergunakan pada saat lomba. Itu terhitung sejak ia memiliki sebuah kapal bermesin motor untuk aktivitas melautnya.

Berbeda dengan sandeq lain dalam perlombaan kali ini, Bintang Sejarah masih mempertahankan bentuk sandeq khas nelayan. Sandeq lain, umumnya lebih panjang dan rendah sehingga bisa memiliki layar lebih lebar yang dapat menampung lebih banyak angin ketika melaju. Sebaliknya, Bintang Sejarah memiliki ukuran terpendek, namun rating dan prestasinya menunjukkan sandeq ini tidak kalah dengan sandeq lain. Hal itu terkait dengan kemampuan para awak atau sawi serta punggawanya yang memang berkutat dengan kehidupan sandeq sebelum kapal bermesin motor marak di tanah Mandar.

Namun di ajang lomba tahun ini, kejayaan Bintang Sejarah seakan memudar. Pada etape pertama (Mamuju) yang menempuh jarak 60 km dari pantai Manakarra menuju Malunda, sandeq ini berada di posisi ke-12. Sedangkan etape Malunda - Majene berada di peringkat 8. Kekalahan tersebut lebih disebabkan minimnya angin di kedua etape dan kelelahan fisik sebab di etape yang ditempuh selama dua hari itu, ke-53 perahu yang berlomba harus mendayung. Alhasil, sandeq yang berbadan rendah lebih memiliki kecepatan dibandingkan dengan perahu sandeq yang saya tumpangi.

Keberuntungan tidak juga berpihak. Karena itu, di dua etape sebelumnya, perlombaan terasa monoton, tidak ada aksi akrobatik dari para passandeq dan perahunya dalam meniti gelombang. Hambar saja rasanya melalui kedua etape ini. Karena itu, etape Majene - Polewali yang dikenal memiliki angin kencang merupakan tempat favorit bagi para passandeq dan tempat mendokumentasikan lomba yang paling menarik.

Namun tidak semua punggawa sandeq mengizinkan orang lain ikut pada etape ini. Selain dapat mengacaukan konsentrasi akibat terjatuh di laut, mereka juga mengkhawatirkan peralatan dokumentasi yang dibawa akan rusak. “Kalau mau naik, panitia tidak bisa fasilitasi, tanya ke punggawanya langsung,” ujar Iwan. Walaupun mendapat izin, paling tidak orang yang mau ikut sandeq harus berlatih dahulu. Sesi latihan biasanya dilakukan jauh hari sebelum lomba. Beruntung pada sesi latihan, saya berhasil lolos, dan diperbolehkan naik di atas sandeq pada etape Majene - Polewali. Itu pun dengan pinggang dan pergelangan kaki yang terikat rapat supaya tidak terjatuh.

Adrenalin saya sudah terpacu beberapa menit sebelum bunyi letusan pistol mengawali etape Majene - Polewali. Kaki saya kesemutan akibat tali yang begitu kuat mengikat. Berulang kali Kama Muin, dan para sawi lainnya mengingatkan saya untuk berhati-hati. Namun gerakan sandeq yang melakukan gerakan timbang – gerakan akrobatik berdiri di tepi cadik untuk menyeimbangkan laju perahu agar tidak terbalik – lebih menarik untuk saya. Kamera saya terus merekam adegan tersebut. Konsentrasi pun terpecah antara mempertahankan arah kamera dengan keseimbangan tubuh yang terganggu akibat cipratan ombak.

Belum sadar sepenuhnya, tiba-tiba bayangan putih melesat tepat sejengkal dari kepala. Astaga, ujung cadik perahu sandek lawan hampir memecahkan kepala saya dan merobek layar perahu. Keseimbangan jadi terganggu, kamera pun basah terkena ombak. Blank! Punah sudah harapan saya. Kamera yang tidak terbalut lapisan anti-air itu tiba-tiba padam.

Namun satu hal yang menakjubkan, perahu kami memimpin etape ini. Meninggalkan jauh sandeq lainnya di belakang. Para sawi itu seperti gila, berloncatan ke sana kemari meniti cadik yang tipis dengan hanya bergatung pada seutas tali. Inilah adegan mattimbang lima. Adengan yang paling dinanti oleh para pencinta sandeq. Sesekali tubuh mereka di atas cadik berada sekitar 2 meter dari permukaan laut sebelum terhempas kembali ke dalam gulungan ombak. Hidup dan keselamatan mereka sepenuhnya hanya bergantung pada seutas tali itu, dan bertumpu pada kekuatan cengkraman kaki mereka yang kuat pada cadik yang licin. Pemandangan ini begitu mengerikan sekaligus eksotis. Sayang kamera saya telah rusak belaka.

Kami semua diliputi rasa bangga, begitu perahu melaju meninggalkan peserta yang lain. Untuk mencari angin yang lebih kencang, punggawa membelokkan haluan semakin ke tengah lautan. Daratan tampak kian mengecil. Beberapa sandeq di belakang kami rupanya mengambil langkah serupa. Dari jauh, perahu panita dan kapal pengiring kami kelihatan mengecil. Sepertinya mereka kesulitan mengiringi, sehingga lama-kelamaan mereka pun tidak kelihatan lagi.

Selama satu jam perjalanan, sandeq kami masih memimpin. Ujung cadik melayang di atas air. Para sawi sudah melakukan formasi timbang enam, yakni formasi langka yang jarang dilakukan oleh passandeq. Di tengah ketakjuban itu, tiba-tiba terdengar bunyi berderak. Saya tidak sempat berpikir. Para sawi terpental ke laut, sandeq oleng, dan separuh badan saya sudah berada di dalam laut. Ketika menengadah, tampaklah tiang layar yang terbelah dua. Saya pasrah saja, badan terikat dan tiang layar yang patah jatuh dari atas. Beruntung tidak mengenai badan atau mematahkan cadik yang menyeimbangkan perahu.

Sekali lagi saya menyaksikan, para sawi yang terlempar ke laut itu dengan mudah kembali berenang menuju sandeq. Luar biasa! Dengan mengandalkan bekas tiang layar yang ada, punggawa dan para sawi membuat tiang layar baru. Namun arus selat Makassar yang kuat membawa kami terombang-ambing di lautan luas, bukan menuju ke arah Polewali tapi malah mengarah ke perairan Mamuju.

Selepas asar, ketika matahari mulai condong ke barat dan pantai mulai terlihat, satu kapal nelayan melintas. Saya yang sejak tadi sibuk mengingat Tuhan akhirnya bergembira. Ada harapan untuk merapat ke pantai. Sandeq kami pun ditarik ke pantai. Persisnya di pantai kampung Rangas, 8 km dari kota Majene. Belakangan kami tahu, ternyata bukan sandeq kami saja yang mengalami kerusakan. Sedikitnya di pantai Rangas itu ada 6 sandeq yang rusak dan batal mengikuti etape Majene - Polewali. Meminjam hand phone seorang penduduk, saya mengabarkan kejadian itu ke Iwan. Tidak lama menunggu, panggilan darurat ini pun bersambut.

Sebelumnya, Iwan hanya bisa tercekat. Sebab, dari jauh ia menyaksikan perahu sandeq Bintang Sejarah yang melaju tiba-tiba berhenti di tengah laut. Namun ia tidak bisa berbuat banyak, kapal motor panitia yang ditumpanginya tidak berani menempuh resiko untuk lebih ke tengah laut. Namun ia sepenuhnya percaya, para awak Bintang Sejarah bukan peserta lomba biasa. Mereka adalah nelayan tangguh yang bertanggung jawab dan terbiasa dengan ancaman seperti itu. Sehingga walapun sedikit berat, ia terpaksa melanjutkan perjalanan menyusuri tepi pantai Majene menuju Polewali.


Sementara di perahu logistik, Syaiful sedikit cemas. Sejak tadi kamera PD sudah menggelatak di sampingnya. Dari kejauhan ia tidak melihat lagi tangan saya mengacungkan camcoder. Ketika perahu sandeq terhenti tiba-tiba di lautan, ia bertambah khawatir. Karena itu Miming berusaha mendekati Bintang Sejarah, ia khawatir walaupun para sawi dan punggawa telah berjanji untuk menjaga “orang lain yang terikat” agar tidak terjatuh. Namun sandeq yang terhenti di tengah laut secara tiba-tiba itu membuat dirinya cemas. Ombak terlalu besar untuk dilalui apalagi salah satu mesin kapal mati. Saiful dan Miming hanya bisa pasrah. Sementara itu, kapal panitia sudah tidak terlihat lagi.

Pukul 4 sore, hand phone Iwan berbunyi, satu SMS dengan kode CM masuk. Itulah panggilan darurat dari saya. Ia segera menghubungi kembali nomor tersebut. Mendadak wajahnya berseri. Iwan bilang, “Ya tunggu saja di Rangas, panitia akan menjemput di situ. Berapa sandeq yang merapat di situ?” Ia kedengaran sedikit bersemangat. Mungkin ia semakin yakin, orang Mandar memang orang laut. Entahlah. [ASFRIYANTO]

Note: Artikel di atas ditulis oleh Asfriyanto (periset lepas POTRET) untuk situs PANYINGKUL. Kami sengaja menjadikannya bagian dari BLOG ini sebagai bahan perbandingan dan renungan; bagaimana sebuah film dokumenter digarap.