Juni 30, 2007

PULAU BUTON, BENTENG DAN TASAWUF


(Foto-foto: Thamrin Soppeng, Agus Suwoto, Syaiful Halim)

Bagian Pertama

Pulau Buton di sebelah tenggara Sulawesi. Di antara Teluk Bone, Selat Muna, dan Laut Banda. Dan, sekitar dua belas jam perjalanan laut dari kota Makassar. Rona budaya dan agama masih membaur erat, memayungi kehidupan masyarakat. Benteng Keraton Wolio masih menjadi simbol kejayaan Kesultanan Buton. Dan, jauh ke pelosok pulau, juga menghampar benteng-benteng tua, yang menjadi bukti keberadaan, Negeri Seribu Benteng.


Pelabuhan Murhum adalah gerbang utama kota Bau-Bau, untuk menjangkau kota-kota lain di Pulau Buton. Ratusan orang dari berbagai wilayah datang dan pergi dari tempat ini. Namun, sekitar seratus dua puluh ribu penduduk kota ini, tidak pernah terusik. Mereka tetap larut dengan rutinitas sehari-harinya. Pulau Buton menjadi menarik, tentu berkaitan dengan masa silam, ketika Kesultanan Buton menjadi pengendali kekuasaan dan kedaulatan wilayah ini. Dan, catatan nyata yang membuktikan kejayaan kesultanan itu, salah satunya adalah Benteng Keraton Wolio.


La Ode Hafilu adalah salah seorang keturunan salah seorang Sultan Buton. Ia kerap mendampingi para peneliti, yang berniat mendapatkan data tentang Benteng Keraton Wolio, atau jejak-jejak kejayaan Kesultanan Buton. Karena itu, ia pun mampu menuturkan keunikan Benteng Keraton Wolio dari sisi arsitektur dan makna yang dikandungnya. Persisnya, berkaitan dengan ajaran tasawuf yang dianut oleh Sultan-Sultan Buton. Benteng Keraton Wolio dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Buton ke-III, La Sangaji, pada abad ke-15. Dan, pembangunannya rampung pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-VI, La Buke, pada tahun 1634.


Bila dilihat dari atas, dengan bangunan sebelah selatan sebagai kepalanya, maka akan membentuk huruf dal, huruf ke delapan pada alfabet bahasa arab. Atau, huruf terakhir nama Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wassalam.
Pintu benteng, atau lawa, berjumlah 12, yang berarti jumlah lubang pada tubuh manusia. Atau, bisa juga bermakna 12 lokasi yang dipilih oleh Tuhan, untuk mendapatkan tanah pembentuk Nabi Adam ‘alaihi salam. Bastion, atau kubu pengawasan, berjumlah 16. Tapi, sumber lain menyebutnya berjumlah 17, yang berarti jumlah rakaat shalat dalam sehari. Angka-angka pilihan, yang berkaitan dengan nilai-nilai tasawuf, juga diperlihatkan Masjid Agung Keraton. Masjid ini memiliki 12 pintu, memiliki 17 anak tangga, dan dua anak tangga tambahan di depannya. Makna dua anak tangga adalah shalat sunnah.


Dulu, Benteng Keraton Wolio menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan syiar islam. Kegiatan syiar Islam terjadi, persisnya setelah bentuk pemerintahan di wilayah ini berubah dari kerajaan menjadi kesultanan, pada masa pemerintahan Raja Buton ke-VI, Lakilaponto, yang akhirnya berganti nama menjadi, Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.


Selain pusat pemerintahan, bagian benteng juga menjadi lokasi pemukiman. Hal ini memungkinkan, karena benteng memiliki lahan yang luas, yakni sekitar 400 ribu meter persegi, dan dikelilingi benteng sepanjang 2740 meter. Tinggi tembok benteng adalah dua hingga delapan meter, dan lebarnya satu hingga dua meter.
Catatan lengkap tentang Benteng Keraton Wolio dan jejak-jejak Kejayaan Kesultanan Buton, juga bisa didapat melalui manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan di rumah Mujazi Mulki. Ia juga merupakan salah satu keturunan Sultan Buton. Bahkan, para leluhurnya pun merupakan pencatat dan penyimpan manuskrip Kesultanan Buton. Seluruh manuskrip-manuskrip kuno ini ditulis dengan huruf arab gundul. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa arab, bahasa melayu, atau bahasa wolio.


Benteng Keraton Wolio juga masih menyimpan adat istiadat khas buton. Upacara akad-nikah diawali dengan iring-iringan mempelai laki-laki, saat hendak mendatangi rumah mempelai perempuan. Prosesi akad nikah, seperti juga dilakukan para leluhur mereka, dilaksanakan di dalam kamar mempelai perempuan. Dan, di dalamnya hanya terdapat orangtua kedua mempelai, penghulu, dan tetua adat. Seluruh prosesi dilakukan dalam bahasa wolio.


Benteng di pulau buton, ternyata bukan hanya Keraton Wolio. Namun, puluhan-puluhan benteng-benteng lain, juga menyanggah Benteng Keraton Wolio dan mengawal Pulau Buton.


Hazirun Kudus juga merupakan salah seorang keturunan Sultan Buton. Ia juga dikenal sebagai arkeolog lokal, yang memahami banyak tentang sebaran benteng-benteng di Pulau Buton dan jejak-jejak kejayaan Kesultanan Buton.

Di kota Bau-Bau sendiri, paling tidak terdapat tujuh benteng. Dan, puluhan lainnya tersebar di berbagai tempat, termasuk di pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Buton. Penjelasan ini membangun dugaan kuat tentang konsep “benteng dalam kota”, seperti di negeri Jerman atau Perancis. Perbedaan benteng di Pulau Buton dibandingkan kedua negeri itu, benteng-benteng di sini hanya merupakan tumpukan batu kali, yang disatukan pasir dan kapur. Saat itu, memang tidak ada semen. Sedangkan senjata andalannya adalah meriam buatan Portugis. Kekuatan lain adalah para prajurit kesultanan didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Sehingga, mereka pun merasa yakin, mampu menghadapi siapapun, yang berniat merampas kedaulatan Kesultanan Buton.


Benteng Sara Wolio, yang menjadi penyangga Benteng Keraton Wolio, bisa menjadi pembuktian awal Pulau Buton sebagai Negeri Seribu Benteng. Meski kerusakan mewarnai sebagian besar bangunan, namun tidak menutup ketegaran tembok-temboknya. Di bagian dalam, benteng tua ini hanya menyimpan rumput ilalang dan makam tua. Arsitektur bangunannya sendiri jauh lebih sederhana dibandingkan Benteng Keraton Wolio.


Dilihat dari atas, bentuknya adalah hampir persegi panjang, dengan empat bastion atau kubu pengawasan di tiap sudutnya. Menurut Rahmat Wong, arkeolog yang sering melakukan penelitian tentang benteng, hampir seluruh benteng di Pulau Buton berbentuk mirip Benteng Sara Wolio. Tidak tercapainya bentuk persegi panjang, karena bentuk benteng disesuaikan dengan kontur tanah di bawahnya. Sedangkan, bahan bangunan yang digunakan sama dengan benteng keraton wolio, yakni dari batu kali serta campuran pasir dan kapur.


Benteng Sara Wolio ternyata terdiri dari dua bangunan. Dan, keduanya memiliki pintu penghubung. Seperti juga Benteng Sara Wolio pertama, Benteng Sara Wolio kedua pun tidak lagi terawat. Cukup sulit untuk mendapati pintu, atau lawa, di benteng ini. Sedangkan di bagian dalam benteng, lagi-lagi hanya memperlihatkan rumput ilalang.


Hanya sekitar satu kilometer dari Benteng Keraton Wolio, kota Bau-Bau juga masih menyimpan ketegaran Benteng Baadia. Satu dari puluhan benteng di Negeri Seribu Benteng. Bentuknya mirip Benteng Sara Wolio. Nasibnya pun, persis seperti benteng-benteng penyangga Benteng Keraton Wolio, tidak terawat dan seakan dibiarkan hancur.
Padahal, seperti juga Benteng Keraton Wolio, benteng-benteng kecil ini pun, bagian dari Kejayaan Kesultanan Buton. Lebih jauh lagi, merupakan fakta sebuah peradaban luhur di masa silam, seperti yang biasa dipaparkan oleh para sesepuh dalam syair-syair kabanti. Yakni, sebuah kesultanan yang menjunjung tinggi ajaran tasawuf. Namun, mereka pun cerdas membangun tata kota, yang bisa terhindar dari ancaman negeri-negeri yang serakah. Inilah Negeri Seribu Benteng. [Screening: Program POTRET SCTV 30 Juni 2007]


Bagian Kedua

Yinda yindamo arata somanamo karo.

(korbankan harta demi keselamatan diri)

Yinda yindamo karo somanamo lipu.

(korbankan diri demi keselamatan negara)

Yinda yindamo lipu somanamo syara.

(korbankan negara demi keselamatan pemerintah)

Yinda yindamo syara somanamo agama.

(korbankan pemerintah demi keselamatan agama)

La Mutadi dan istrinya, masih menyenandungkan syair-syair kabanti di lingkungan rumahnya, di dekat kawasan Benteng Keraton Wolio, kota Bau-Bau, Pulau Buton. Syair kabanti adalah salah satu bentuk tradisi lisan di Pulau Buton, yang berisikan nasihat dan ajaran kehidupan. Makna lebih dalam dari syair-syair berbahasa wolio ini, umumnya adalah petikan ajaran tasawuf, yang diwariskan para leluhur warga Pulau Buton.

Pulau Buton di masa silam adalah kerajaan Hindu, dengan raja pertamanya bernama I Wa Kaa Kaa. Saat itu, Pulau Buton telah menjadi catatan penting dalam sejarah pelayaran nusantara. Terbukti, nama buton tertulis dalam kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca.

Sejarah menggulirkan cerita baru, ketika seorang ahli tasawuf asal Gujarat, Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al Fathani singgah di Pulau Buton. Ia bukan hanya berhasil mengislamkan Raja ke-VI Buton, Timbang Timbangan atau Lakilapotan atau Halu Oleo, dan segenap keluarganya. Namun, ia juga berhasil mengubah tatanan pemerintahan di pulau ini, dari kerajaan menjadi kesultanan. Bahkan, sang raja pun berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.

La Ode Muchir Raaziki adalah ahli tasawuf dan juga mantan Imamu Masjid Agung Benteng Keraton Wolio. Ia memahami sejarah dan perkembangan ajaran tasawuf dari para leluhurnya. Sebagai Imamu Masjid Agung Benteng Keraton Wolio, dulu ia seakan menjadi pengawal kehidupan jasmani dan rohani di lingkungan Benteng Keraton Wolio.

Pelaksanaan shalat jum’at adalah momen yang mempertemukan para syara agama, atau pengurus agama, di lingkungan Benteng Keraton Wolio dengan jamaah masjid, yang pastinya warga di lingkungan benteng sendiri. Dulu, masjid menjadi tempat bertemunya sultan dan perangkat adat dengan rakyat. Maka di bagian depan masjid terdapat dua ruang, satu untuk sultan dan satu lagu untuk sultan batin, atau lakina agama. Setelah Kesultanan Buton berakhir, masjid hanya memiliki lakina agama, imamu masjid, dan para pengurus lainnya.

Panggilan ketiga bedug telah terdengar. Maka, waktu shalat jum’at telah tiba. Di bale depan masjid, Imamu Masjid masih berzikir, untuk mendapatkan petunjuk dari Yang Mahahidup. Tata cara seperti ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang silam. Imamu masjid benar-benar mempersiapkan diri dan batinnya, sebelum ia berhadapan dengan jamaahnya.

Perkawinan agama dan budaya melahirkan adat-istiadat tersendiri, yakni adat-istiadat buton. Agama menjadi rohani yang mengisi kehidupan warga Pulau Buton, dan budaya menjadi jasmaninya. Upacara akad nikah adalah contoh nyata perkawinan agama dan budaya itu. Seluruh rangkaian upacara dilakuan dalam bahasa Wolio, bahasa yang merangkum sekitar 100 bahasa lokal. Namun, pembacaan doa dilakukan dalam suasana khusu, persis yang biasa dilakukan kalangan sufi, ketika mereka bermohon kepada Yang Mahaperkasa.

Buah terindah dari bibit ajaran tasawuf yang ditanamkan oleh Syekh Abdul Wahid dan Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul adalah Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh, yang dirancang oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin.

Kekayaan ajaran tasawuf juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan di rumah Muzaji Mulki di kawasan Benteng Keraton Wolio. Dalam manuskrip bertuliskan huruf arab gundul disampaikan berbagai ajaran tasawuf dari para sultan dalam bahasa arab, wolio, dan melayu. Bahasa melayu muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid memang lama bermukim di Johor, Malaysia. Dan, para penyebar Islam di Pulau Buton, umumnya berasal dari negeri jiran itu.

Meski demikian, harus diakui, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh adalah karya Kesultanan Buton yang paling fenomenal. Karena, Kesultanan Buton telah menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama. Sehingga, mereka bukan lagi berada dalam wilayah syariat, seperti yang kini ramai diterapkan di berbagai daerah. Namun, justru di derat yang lebih tinggi, yakni tarekat.

Saat pelaksanaan shalat jum’at semakin dekat. Setelah Imamu Masjid melaksanakan shalat tahiyatul masjid, ia pun langsung memasuki mihrab. Maka, shalat jum’at pun segera dimulai. Khutbah salah seorang syara agama merupakan momen pembekalan batin. Warga pulau buton percaya, doa dan harapan yang disampaikan sang khatib akan membuahkan keselamatan bagi para jamaah. Karena, setiap musibah yang dialami oleh warga di minggu depan, biasanya akan menjadi kesalahan sang khatib.

Pemahaman itu telah mereka yakini sejak di masa kesultanan berjaya. Karena itu, seorang sultan pun bukan lagi sekedar pemimpin pemerintahan, tapi seakan seorang wali yang diutus oleh Yang Maharaja. Dan, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun menjadi pedoman nyata bagi sultan dan rakyatnya. Dari peraturan tertinggi ini, mereka membangun kehidupan yang sangat demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan sultan pun bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia dipilih karena akhlaknya oleh anggota dewan, yang disebut patalimbona. Karena undang-undang dasar martabat tujuh dan kekuatan adatnya, seorang sultan bisa dilengserkan bila terbukti ia melakukan kesalahan.

Kejayaan kesultanan buton telah lama berakhir. Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun hanyalah catatan sejarah masa silam. Entah dengan falsafah hidup masyarakat, yang menjunjung tinggi masalah agama di atas pemerintah, negara, dan diri pribadi.

Yinda yindamo arata somanamo karo.

(korbankan harta demi keselamatan diri)

Yinda yindamo karo somanamo lipu.

(korbankan diri demi keselamatan negara)

Yinda yindamo lipu somanamo syara.

(korbankan negara demi keselamatan pemerintah)

Yinda yindamo syara somanamo agama.

(korbankan pemerintah demi keselamatan agama)

Semoga saja, tidak hanya menjadi manuskrip kuno di rak buku Muzaji Mulki. Karena, inilah Negeri Martabat Tujuh, negeri yang mengagungkan ajaran tasawuf dan para khalifatulnya. [Screening: Program POTRET SCTV 7 Juli 2007]


TIM PRODUKSI:
“Negeri Seribu Benteng"
dan "Negeri Martabat Tujuh”; Syaiful Halim (Penulis Naskah); Agus Suwoto (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Asfriyanto dan Suparyono (Periset); AL Mujazi Mulki, Hazirun Kudus, La Ode Hafilu, dan Rahmat Wong (Narasumber); Asfriyanto, Thamrin Soppeng, Hastuty, Siti Muzdalifa dan Fido (Pendukung Produksi). Diproduksi di Bau-bau pada 6–8 Februari 2007.

Juni 20, 2007

PETANI GARAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

(Foto: Istimewa)

Mardiah menarik gerobak berisi pasir laut, lalu menumpahkannya di atas sebidang tanah. Di belakangnya, Radiah mendatangi tumpukan pasir laut itu sambil membawa sebatang kayu, dengan ujung berbentuk garpu. Sesaat kemudian, ia menyebarkan pasir itu hingga merata dengan tanah. Di latar belakang, terdengar intro lagu “Asai Nanggroe” yang dinyanyikan penyanyi Aceh, Rafli dan Kelompok Musik Kande-nya. Maka, film dokumenter “Nyanyian di Padang Garam” pun dimulai.

Radiah dan Mardiah adalah kakak-beradik yang setiap hari bekerja di sebuah lancing (lahan dan gubuk pengolahan garam) di Desa Ceubrek, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka juga merupakan dua dari ratusan petani garam di Kabupaten Pidie dan kabupaten-kabupaten lain di Tanah Rencong. Dan, dua dari ratusan perempuan yang harus bekerja keras – seperti kaum lelaki – untuk memenuhi kebutuhan nafkahnya.

Rutinitas kakak-beradik itu menjadi menarik, karena bukan hanya karena mereka perempuan dan harus bekerja du areal keras. Namun, pengolahan garam itu sendiri begitu menarik, berbeda dengan tambak-tambak garam di pesisir Pantura atau Madura. Bahkan, dibandingan lancang garam lain di NAD.

Pertama, mereka harus menjemur pasir laut berwarna coklat di atas sepatak lahan. Dua hari kemudian, mereka menyirami pasir dengan air laut. Di sore harinya, pasir diangkut dan dimasukkan ke dalam kotak penyaring, yang disebut niri. Mereka juga mengairi niri dengan air laut, hingga rembesan airnya mengalir di bagian bawah dan mengalir ke sebuah sumur. Dari air sumur itu, mereka menuangkannya ke belanga dan dimasak selama sekitar enam jam. Setelah itu, mereka pun mendapatkan kristal-kristal garam, yang siap dijual ke para mogee atau agen.

Selain aktivitas Radiah dan Mardiah -- yang juga korban bencana tsunami – juga akan diperlihatkan aktivitas petani garam lainnya, seperti keluarga Hasyim, keluarga Mullisah di Desa Aluba dan petani-petani garam lain di Desa Tano Ano. Dua desa terakhir berada di Kabupaten Bireun.


TIM PRODUKSI:
“Nyanyian di Padang Garam”
; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Akhe Mona (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono (Periset); Adiansyah (Pendukung Produksi); Radiah, Mardiah, dan Hasyim (Talent). Diproduksi di Pidie & Bireun, NAD, pada 23–29 Mei 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV pada 2 Juni 2007.


NARASI ORISINAL:

# Asal Negara laksana rimba Tuhan

# Hutan lebat, tidak ada manusia

# Saat nenek moyang bersusah-payah

# Rimba ditebang dengan segala daya

(Lagu “Asai Nanggroe” by Rafly & Kelompok Musik Kande)


DESA CEUBREK [DIBACA: CIBRE:]/ SEKITAR SEPULUH KILOMETER DARI KOTA SIGLI/ KABUPATEN PIDIE/ NANGGROE ACEH DARUSSALAM// DI ANTARA TAMBAK-TAMBAK IKAN DAN LAHAN-LAHAN KOSONG/ MASIH TERLIHAT PULUHAN GUBUK SEDERHANA BERNAMA LANCANG// DI TEMPAT ITULAH/ WARGA DESA CIBRE: MENGAIS NAFKAH/ DENGAN CARA MENGOLAH PASIR LAUT MENJADI KRISTAL-KRISTAL GARAM//


RADIAH DAN MARDIAH ADALAH DUA DARI RATUSAN PETANI GARAM DI KAWASAN SIMPANG TIGA/ KABUPATEN PIDIE// SETIAP HARI/ MEREKA MELAKUKAN BERBAGAI KEGIATAN PENGOLAHAN GARAM DI TEMPAT INI// DULU/ LANCANG INI DIKELOLA OLEH AYAH DAN IBU MEREKA// SETELAH KEDUANYA MENINGGAL DUNIA/ MAKA RADIAH DAN MARDIAH PUN MENJADI PENGGANTINYA// SUNGGUH/ BUKAN PEKERJAAN YANG RINGAN// KARENA/ SELAYAKNYA PEKERJAAN INI DILAKUKAN OLEH KAUM LELAKI// NAMUN/ KARENA KEADAAN/ MEREKA PUN HARUS MEMILIH JALAN HIDUP SEBAGAI PETANI GARAM//


DI DEKAT LANCANG MILIK RADIAH DAN MARDIAH/ TERDAPAT LANCANG YANG DITEMPATI OLEH HASYIM// LELAKI INI ADALAH PAMAN RADIAH DAN MARDIAH// SEPERTI JUGA KEPONAKAN-KEPONAKANNYA/ SETIAP HARI HASYIM PUN BIASA DISIBUKKAN DENGAN PASIR LAUT/ TEMPAT PENYARINGAN PASIR/ ATAU NIRI/ SUMUR PENAMPUNGAN AIR MENGANDUNG GARAM/ ATAU MON/ JUGA BELANGA//


PILIHAN PEKERJAAN INI MERUPAKAN WARISAN DARI ORANGTUANYA// SEHINGGA/ IA TAK INGAT LAGI/ SUDAH BERAPA TAHUN MENEKUNI PEKERJAAN INI// YANG PASTI/ BERTANI GARAM MEMBUATNYA MAMPU MENGHIDUPI ISTRI DAN DELAPAN ANAK-ANAKNYA//


# Sawah dibuat untuk bercocok-tanam

# Kampung dibuat

# Rumah dibuat untuk berteduh

# Agar jangan tidur di atas pohon

# Negara dibuat sedemikian rupa

# Supaya bisa dinikmati sampai anak-cucu

(Sambungan Lagu “Asai Nanggroe by Rafly & Kelompok Musik Kande)


BERTANI GARAM MERUPAKAN SATU DARI BERAGAM PEKERJAAN WARGA DI PESISIR NANGGROE ACEH DARUSSALAM// BAHKAN/ DI BEBERAPA WILAYAH/ SEPERTI KABUPATEN PIDIE DAN KABUPATEN BIREUN/ SEBAGIAN BESAR WARGA PESISIRNYA MENEKUNI PEKERJAAN INI// PADAHAL/ TIDAK MUDAH MENJADI PETANI GARAM DI TANAH RENCONG// SULITNYA MENJADI PETANI GARAM DI TEMPAT INI DIBANDINGKAN PETANI GARAM DI PESISIR PANTURA ATAU PULAU MADURA/ KARENA KADAR GARAM YANG TERBILANG RENDAH// SEHINGGA/ MEREKA HARUS BEKERJA LEBIH KERAS/ UNTUK MENDAPATKAN HASIL MELIMPAH//


TEKNIK BERTANI GARAM DI DESA CIBRE:/ DIAWALI DENGAN MENJEMUR PASIR LAUT DI SEBUAH LAHAN TERBUKA// MEREKA JUGA MENYIRAMKAN AIR LAUT KE HAMPARAN PASIR INI/ SEBAGAI CARA MENINGKATKAN KADAR GARAM// SELANG DUA HARI/ PASIR-PASIR INI PUN DIKUMPULKAN KEMBALI/ DAN DISIMPAN DI DALAM GUDANG// ATAU/ BIASANYA MEREKA LANGSUNG MEMASUKKANNYA KE SEBUAH KOTAK SARINGAN/ YANG DISEBUT NIRI//


PROSES PENGOLAHAN INI BELUM BERAKHIR// KARENA/ INI BARULAH SEPARUH JALAN// UNTUK MENDAPATKAN AIR BERKADAR-GARAM TINGGI/ TUMPUKAN PASIR DI DALAM NIRI PUN DISIRAM AIR LAUT// TETESAN AIR LAUT INI PUN MENETES/ DAN DISALURKAN KE SEBUAH SUMUR/ YANG DISEBUT MON// SETELAH TERKUMPUL BANYAK/ AIR BERKADAR GARAM INI PUN DIMASUKKAN KE DALAM BELANGA UNTUK DIMASAK// PALING TIDAK MEREKA MEMBUTUHKAN WAKTU SEKITAR ENAM JAM/ UNTUK MENDAPATKAN KRISTAL-KRISTAL GARAM//


TIDAK MUDAH MENJADI PETANI GARAM DI KAWASAN SIMPANG TIGA/ KABUPATEN PIDIE// SELAIN KERJA KERAS/ MEREKA PUN SERING DIHADAPKAN PADA ANCAMAN CUACA/ YANG SESEKALI BISA MENGGANGGU PROSES PENJEMURAN PASIR LAUT// SELAIN ITU/ HARGA KAYU YANG TIDAK MURAH MEMBUAT PRODUKSI GARAM MEREKA PUN/ KERAP IKUT TERHAMBAT// UNTUK ENAM KALI MEMASAK YANG PER ENAM JAM/ PALING TIDAK MEREKA MEMBUTUHKAN ONGKOS KAYU SEBESAR 150 RIBU RUPIAH// ANGKA INI SAMA DENGAN PENDAPATAN MEREKA/ SETELAH TIGA HARI MENGOLAH SEKITAR 160 KILOGRAM GARAM//


SITUASI INI/ SAAT INI MENJADI KENDALA/ KARENA MEREKA BARU SAJA BANGKIT DARI KETERPURUKAN AKIBAT BENCANA TSUNAMI// DUA TAHUN YANG LALU/ KAWASAN INI PUN DIGILAS TSUNAMI HINGGA MERATAKAN LANCANG DAN RUMAH TINGGAL MEREKA// SETELAH BERBAGAI PIHAK MEMBENAHI LOKASI PEMUKIMAN DAN LAHAN-LAHAN PENGOLAHAN GARAM/ PERLAHAN-LAHAN/ MEREKA PUN MULAI BERANI MELANJUTKAN USAHANYA// TERMASUK/ RADIAH DAN MARDIAH//


# Ada bunga seulanga

# Yang tengah berkembang di tangkainya

# Harum baunya, hai teman, di dalam taman

# Kita siram selalu, agar bunga terlihat indah

# Kita siram selalu, agar bunga terlihat indah

(Opening Lagu “Seulanga” By Rafly & Kelompok Musik Kande)


GELIAT USAHA DI LAHAN-LAHAN DAN LANCANG PENGOLAHAN GARAM PASCA BENCANA TSUNAMI/ JUGA TERLIHAT DI WILAYAH BIRUEN// PERSISNYA/ DI DESA ALUBA/ KECAMATAN JANGKA// PARA PETANI GARAM/ YANG UMUMNYA KAUM PEREMPUAN/ KEMBALI MENYIBUKKAN DIRI DENGAN KAYU-KAYU BAKAR DAN BELANGANYA//


PETANI GARAM DI TEMPAT INI/ JUGA MEMILIKI TEKNIK PENGOLAHAN GARAM TERSENDIRI// DI SINI/ MEREKA TIDAK MENGANGKUT PASIR DAN MENJEMURNYA HINGGA DUA HARI// NAMUN/ MEREKA LANGSUNG MENGOLAH AIR LAUT/ YANG SUDAH DITUANG KE DALAM BELANGA// UNTUK MEMPERCEPAT PROSES KRISTALISASI GARAM/ MEREKA MEMASUKKAN BIBIT GARAM KE DALAM BELANGA// DENGAN MODAL DUA PULUH LIMA KILOGRAM BIBIT GARAM/ MEREKA AKAN MEMPEROLEH SEKITAR 50 KILOGRAM GARAM SIAP JUAL//


MASALAH PERMODALAN AKIBAT HARGA KAYU YANG MAHAL DAN HARGA JUAL YANG RENDAH/ JUGA TERJADI PADA PETANI GARAM DI DESA TANO ANO/ KECAMATAN JANGKA/ KABUPATEN BIREUN// UNTUK MENYIASATI MASALAH INI/ MEREKA MEMILIKI TEKNIK BERTANI GARAM TERSENDIRI// YAKNI/ SELAIN MEMASAK AIR BERKADAR GARAM/ MEREKA JUGA KERAP MENJEMUR DI SEBUAH PETAK-PETAK//


PEKERJAAN INI DIMULAI DENGAN MENGUMPULKAN PASIR YANG TELAH DIJEMUR/ DI ATAS NIRI BERBENTUK LUBANG DI ATAS TANAH// SETELAH PASIR TERKUMPUL/ MEREKA MENYIRAMNYA DENGAN AIR LAUT// REMBESAN AIR YANG TERKUMPUL INILAH YANG AKAN DIJEMUR// NAMUN/ UNTUK MENINGKATKAN HASIL/ PROSES KRISTALISASI DENGAN MEMASAK AIR BERKADAR GARAM YANG DICAMPUR BIBIT GARAM/ JUGA MEREKA LAKUKAN// HASILNYA/ SETIAP PETANI GARAM/ PALING TIDAK BISA MENDAPATKAN SEKITAR 200 KILOGRAM GARAM SETIAP HARINYA//


SESULIT APAPUN MASALAH YANG DIHADAPI OLEH PETANI GARAM/ MEREKA TETAP MENJALANI PERAN YANG DIGENGGAMNYA// KARENA ITU/ KECERIAAN PUN TETAP TERPANCAR DARI WAJAHNYA/ KETIKA MEREKA MENJALANI BENTUK KEHIDUPAN LAIN DI MASYARAKATNYA// DI SAAT PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD HARI KE-100/ YANG BIASA DIGELAR DI DESA INI/ RADIAH DAN MARDIAH PUN IKUT BERSUKA-CITA DI DALAMNYA// MEREKA LUPA BAHWA MEREKA YATIM-PIATU// DAN MEREKA JUGA MELUPAKAN KEPENATAN/ YANG BIASA DIALAMI DI PADANG GARAM//


KETIGA PAGI KEMBALI DATANG/ KETIGA SEPEDA MOTOR MILIK MOGEE ATAU AGEN BERDATANGAN/ KEHIDUPAN DI DALAM LANCANG PUN DIMULAI KEMBALI//

KERJA KERAS SELAMA TIGA HARI ADALAH 120 KILOGRAM GARAM/ DENGAN HARGA JUAL 1.800 RUPIAH PER KILOGRAM// JUMLAH PENGHASILAN INI TIDAK SELALU TETAP// KERAP/ MEREKA JUGA HARUS MENJUAL GARAMNYA DENGAN HARGA 1.500 RUPIAH PER KILOGRAM// DAN/ BILA HUJAN TERUS MENGGUYUR KAWASAN INI/ MAKA MASA MENDAPATKAN REJEKI PUN HARUS MUNDUR BEBERAPA HARI//


NAMUN/ ENTAH HASYIM/ ENTAH RADIAH ATAU MARDIAH/ ENTAH PETANI GARAM LAIN/ TIDAK TERLALU MENGGUBRIS SOAL HASIL YANG TIDAK MENENTU ITU// KARENA/ MEREKA ADALAH ORANG-ORANG YANG TERBIASA MENGALUNKAN RASA SYUKUR/ ATAS SEGALA YANG DIDAPATNYA DARI YANG MEMBERI REJEKI// SELAIN ITU/ MEREKA ADALAH BUNGA SEULANGA/ YANG TIDAK PERNAH INGIN LAYU DI TANGKAINYA//


# Wahai bunga, indah sekali

# Seperti bidadari nan cantik sekali

# Datang lelaki yang menggoda

# Menggoda siang dan malam


# Sayang, sungguh sayang

# Kalau sudah sampai waktunya

# Bunga akan layu dan jatuh ke tanah

# Sayang, sungguh sayang nasib seulanga

(Reffrein Lagu “Seulanga” By Rafly & Kelompok Musik Kande)

PERBURUAN ORANGUTAN DI KEBUN KELAPA SAWIT


(Foto-foto: Teguh Prihantoro dan Syaiful Halim)

Cerita nyata Pulau Kalimantan adalah satwa liar, hutan, dan air. Dan waktu telah membuktikan, wajah suci ketiganya membuat manusia yang ada di dekatnya, bisa mendapatkan kenikmatan hidup. Namun, cerita indah itu segera berakhir, ketika manusia yang bekeinginan menjadi sang maha mengatur, melahap hutan dan air, tanpa mengindahkan nasib satwa liar dan manusia lain.


Air bening masih ada di Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sehingga, anak-anak masih bisa bermain di atasnya, dengan penuh keceriaan. Jauh menembus ke dalam, jauh di antara pohon-pohon di tengah hutan pulau kajja, pitun, mega, dan sekawanan orangutan, juga masih bisa bermain, dengan penuh keriangan. Mereka juga begitu menikmati kehidupan alami nan jauh dari hingar-bingar kehidupan manusia.


Pitun, Mega, Sella, dan banyak nama-nama manusia, memang disematkan pada kawanan orangutan ini. Karena, mereka merupakan orangutan (pongo pygmaeus) yang pernah direintroduksi dan masih mendapat perhatian
para teknisi, dari pusat reintroduksi orangutan, Borneo Orangutan Survival. Sehingga, mereka pun mencoba dimanusiakan dengan memiliki nama, sambil diajarkan sebuah keberanian, untuk menjalani kehidupan keras di habitatnya.


Nasib baik Pitun dan kawan-kawan, memang tidak dialami oleh saudara-saudaranya di kawasan lain. Persisnya, ketika pohon-pohon bertumbangan. Meswin-mesin gergaji, dengan rakus, menebangi setiap tumbuhan yang ada di dekatnya. Tahap berikunya, ganti mesin-mesin buldozer atau ekskapator, ikut meratakan kawasan hutan menjadi satu dengan tanah. Pohon-pohon tumbang, hutan-hutan pun hilang.


Lalu, manusia-manusia sakti yang berkeinginan menjadi sang maha mengatur pun, menyulap bekas lahan-lahan hutan menjadi kebun-kebun kelapa sawit. Maka, lahan kehidupan orangutan dan satwa liar lainnya pun, sirna. Inilah, awal tragedi kehidupan di kawasan Danau Sembuluh di Kabupaten sampit, Kalimantan Tengah.


Kegundahan atas bergantinya wajah Danau Sembuluh, dari kawasan hutan hijau menjadi kebun-kebun sawit, memang bukan hanya milik orangutan dan satwa liar. Tapi juga dirasakan oleh warga di Desa Sembuluh, yang bersentuhan langsung dengan kebun-kebun sawit. Karena, dengan alasan sengaja atau terpaksa, mereka telah kehilangan ladang-ladangnya. Bahkan, beberapa di antaranya ikhlas menjadi buruh kebun kelapa sawit, untuk sekedar menyambung kebutuhan hidup. Pokok persoalannya adalah mereka menjadi buruh di bekas lahan miliknya sendiri.


Selain persoalan hilangnya ladang-ladang milik warga, yang berganti menjadi kebun-kebun sawit milik para pengusaha, diam-diam ancaman pencemaran pun mulai dirasakan oleh warga. Air danau yang dulu diyakini bersih dan layak untuk dikonsumsi, kini mulai diragukan. Berdirinya pabrik-pabrik pengolahan minyak kelapa sawit, yang limbahnya digelontorkan ke danau, membuat air danau tak lagi bersih dan sehat. Para nelayan merasakan sekali perubahan itu.


Dulu, sebagian besar warga desa sembuluh memang bekerja sebagai nelayan. Dan, ikan-ikan yang didapat dikirimkan ke berbagai pasar di kabupaten sampit. Kini, ikan-ikan yang didapat banyak yang telah dijangkiti penyakit. Contoh paling segar adalah dikemukan para warga, yang memelihara ikan di atas keramba. Karena, belum lagi satu minggu, hampir setiap hari ditemukan puluhan bibit ikan yang mati.


Dalam kurun tiga tahun ini, kebun-kebun kelapa sawit pun, menghampar luas di danau sembuluh dan berbagai lokasi lainnya di kalimantan tengah. Saat ini, sekitar 4,3 juta hektar hutan telah berganti rupa menjadi kebun-kebun kelapa sawit milik sekitar 240 perusahaan, yang seperetiganya berasal dari negeri jiran. Dengan total nilai investasi yang mencapai 11,7 trilyun rupiah, para pengusaha itu berharap mengeruk laba sebesar-besarnya. Target, mereka bisa meraih satu juta ton minyak sawit, dan meraih keuntungan hingga 3,6 trilyun rupiah setiap tahunnya.


Warga Desa Sembuluh, mungkin bisa diam atau pasrah atas nasib yang didapatnya. Namun, bagaimana dengan orangutan?. Mereka kehilangan rumah dan tempat mencari makan. Mereka terlunta-lunta, tanpa bisa berpikir, bagaimana lagi cara mempertahankan hidupnya? Pada akhirnya, orangutan pun mencari makan di kebun-kebun sawit, dan melahap daun dan tunas yang baru ditanam.


Ini ancaman serius bagi bagi kelangsungan usaha. Sehingga, para buruh yang berada di lapangan pun, harus mati-matian menjaga nilai investasi dan target keuntungannya. Dan, mereka tidak akan membiarkan siapa pun menjamah kelapa sawit yang telah ditanam. Maka, para buruh pun beramai-ramai memburu orangutan. Mereka seakan telah sepakat, untuk membantai setiap orangutan, yang mencoba mencari makan di kebun-kebun kelapa sawit. Mereka tidak peduli soal makna pelestarian satwa langka atau persoalan-persoalan ekologi lainnya. Yang jelas, orangutan mengganggu usaha para majikannya. Dengan demikian, masa pembantaian terhadap orangutan pun tiba.


Para buruh umumnya gemar melukai tangan dan menghantam kepala orangutan. Ratusan orangutan tewas atau cacad, dan ratusan anak-anaknya menjadi yatim piatu. Meskipun begitu, jangan berpikir tentang upaya penghentian perburuan, atau penghukuman terhadap pelaku-pelaku kriminal lingkungan itu. Karena, usaha perkebunan kelapa sawit di negeri ini, seakan mendapat restu, untuk berbuat apa pun. Termasuk, membantai makhluk hidup, yang beberapa karakternya mirip manusia ini.


Secara biologis, DNA orangutan atau pongo pygmaeus sekitar 90 persen sama dengan manusia. Artinya, makhluk hidup ini memiliki banyak kemiripan karakter dengan makhluk tersempurna di muka bumi. Karena itu, proses reintroduksi atau rehabilitasi terhadap anak-anak orangutan, khususnya anak-anak yatim-piatu korban pembantaian di kebun kelapa sawit, membutuhkan ketelatenan sendiri.


Setiap pagi, para babysitter menggiring anak-anak orangutan ke hutan lindung, yang disebut sekolah, sebagai cara mengajarkan keberanian hidup di alam bebas. Para babysitter mengawasi dan menjaga anak-anak orangutan benar-benar dengan hati. Mereka tidak diperkenankan memukul. Sebaliknya, belaian halus senantiasa harus diberikan, ketika mereka mendorong balita orangutan ini, untuk bergerak di habitatnya.


Meskipun demikian, cerita tentang genocide orangutan ini, tidak dengan sendirinya berakhir. Karena, muara permasalahannya sendiri hingga kini belum terjawab. Kisah orangutan yang kelaparan, masuk ke kebun kelapa sawit, lalu diburu dan dibantai. Dan, kerap diselamatkan tim rescue dan dirawat di pusat reintroduksi orangutan, hanyalah solusi kecil dan jutaan masalah.


Di luar itu, juga masih ada cerita tentang warga Desa Sembuluh yang tidak lagi memiliki ladang, danau yang tidak lagi memberikan ikan segar dan air bersih, serta berbagai konflik sosial lainnya. Ini juga biaya sosial dari sebuah usaha bernama, perkebunan kelapa sawit. Ironisnya, masalah utamanya sendiri, yakni, membanjirnya izin memberangus hutan dan membangun kebun kelapa sawit, belum terjawab. Seakan, tidak satu pun kekuatan yang bisa membendung laju penghancuran lahan hijau di kalimantan ini.


Kalimantan adalah satwa liar, hutan, dan air. Ketiganya merupakan satu kesatuan, yang membuat manusia bisa merasakan surga dari Yang Mahamengatur. Orangutan bukan sekedar satwa liar dan langka, yang ikut mengatur kehidupan manusia. Sebaliknya, dengan akal-budinya, manusia justru bisa mengatur kehidupan orangutan. Sehingga terciptalah gambaran sebuah hubungan harmonis antara manusia dan makhluk hidup lain.


TIM PRODUKSI:
“Orangutan di Kebun Kelapa Sawit”; Syaiful Halim (Produser Pelaksana/Sutradara/Penulis Naskah/Kamerawan/Periset); Teguh Prihantoro (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono (Periset); Hardy Baktiantoro & Wahyuni (Pendukung Produksi/Talent). Diproduksi di Sampit dan Palangkaraya, Kalteng, pada 3 – 10 Mei 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV pada 19 Mei 2007.

PERAHU BUGIS DAN FILOSOFI "LA GALIGO"

Seorang Filolog Bugis, Doktor Nurhayati Rahman MS, membuka lemari perpustakaan dan meraih sebuah buku sastra kuno Bugis “La Galigo”. Ia membaca dua bait tradisi lisan tentang filosofis perahu bagi orang Bugis. Uraian bermakna dalam itu mengiringi perjalanan sebuah perahu yang tengah melaju di tengah samudera.

Perahu dan laut merupakan bagian terbesar bagi filosofi, prilaku hidup, dan keseharian warga suku Bugis dan suku-suku di Pulau Sulawesi. Mereka bukan hanya dikenal sebagai pelaut yang tangguh atau nelayan yang trampil. Tapi, juga sebagai pembuat perahu kayu yang handal. Dan, tentu saja, dengan teknologi tradisionalnya. Kesimpulan itu bukan hanya tercatat dalam naskah kuno “La Galigo”, tapi juga dalam bukti nyata, yang diperlihatkan para pembuat perahu di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Di pesisir Desa Tana Beru, Bulukumba, Haji Muslim Baso dikenal sebagai pembuat perahu yang handal. Suatu pagi, ia bersama punggawa dan para sahinya bersiap-siap meluncurkan sebuah perahu mesin ke tengah laut. Perahu milik WWF itu memang hasil kerjanya selama dua bulan terakhir, dan kini sang “bayi” bersiap-siap dihadirkan kea lam dunia.

Bila Muslim Baso akan bertutur tentang keterampilan, teknologi tradisional – mereka membuat perahu diawali dengan membuat kulit, setelah itu rangka – sistem kerja, serta ritual pembuatan sebuah perahu. Maka Pilolog Bugis Dr. Nurhayati Rachman akan bertutur filosofi dan makna sebuah perahu menurut naskah kuno “La Galigo”. Penuturan kedua narasumber akan dibarengi dengan gambaran pembuatan perahu dan beragam suasana laut di wilayah Bulukumba.


TIM PRODUKSI:
“Perahu Bugis”;
Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Akhe Mona (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono & Asfriyanto (Periset); Tamrin Soppeng (Pendukung Produksi); Dr. Nurhayati Rachman & H. Muslim Baso (Narasumber/Talent). Diproduksi di Bulukumba, Sulsel, pada 16 Maret – 23 April 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV pada 28 April 2007.


NARASI ORISINAL:

Apabila engkau menemui kesulitan di tengah laut,

maka palingkanlah perahumu ke sebelah kanan tujuh kali.

Kalau pun engkau tidak diberikan jalan,

maka palingkanlah perahumu ke sebelah kiri tujuh kali.

Kalau pun engkau tidak diberi jalan,

barulah engkau menempuh kesulitan.


SEORANG BAYI BAKAL LAHIR KE MUKA BUMI// DAN/ HAJI MUSLIM ADALAH IBU SANG BAYI MERAH/ YANG TENGAH BERSIAP-SIAP MEMULAI KEHIDUPAN BARU DI ALAM FANA ITU//


BAGI WARGA SUKU BUGIS/ PEMBUAT PERAHU BISA DIIBARATKAN SEORANG IBU/ DENGAN PERAHU SEBAGAI BAYINYA// KARENA/ DI ANTARA KEDUANYA BUKAN HANYA TERIKAT DALAM HUBUNGAN KREATOR DAN SEBUAH BENDA MATI// NAMUN/ JAUH DI DALAM/ JUGA TERJALIN SEBUAH IKATAN BATIN NAN KOKOH/ LAKSANA IBU DAN SANG JABANG BAYI// KARENA ITU/ KETIKA PARA SAHI BGEKERJA KERAS MELEPASKAN PERAHU KE TENGAH LAUT/ MAKA HAJI MUSLIM BASO JUGA MERASAKAN PADUAN SUKACITA DAN RASA HARU/ SEPERTI SEORANG IBU YANG TENGAH MELAHIRKAN//


HAJI MUSLIM BASO ADALAH SALAH SEORANG PEMBUAT PERAHU TERNAMA DI DESA TANA BERU/ BULUKUMBA/ SULAWESI SELATAN// IA PERANCANG DAN PENGAWAS SETIAP PEMBUATAN SEBUAH PERAHU/ ATAU PUNGGAWA// SEDANGKAN PELAKSANA RANCANGANNYA ADALAH PARA SAHI/ ATAU TUKANGNYA//


LAUT DAN PERAHU ADALAH KEHIDUPAN SUKU BUGIS/ DAN SUKU-SUKU LAUT DI PULAU SULAWESI// KARENA/ FILOSOFI/ PRILAKU/ DAN CARA BERPIKIR MEREKA/ UMUMNYA SENANTIASA DIKAITKAN DENGAN LAUT DAN PERAHU// KETERKAITAN ITU BEGITU NYATA DALAM PAPARAN NASKAH KUNO BUGIS “LA GALIGO”// PERSISNYA/ SAAT MENGURAI KISAH PERJALANAN SAWERIGADING KE TANAH CINA/ DENGAN SEBUAH PERAHU BESAR// DALAM NASKAH KUNO ITU DIGAMBARKAN PULA/ SEOLAH PERAHU BESAR MEMBOYONG MANUSIA DAN TETUMBUHAN//


WARGA SUKU BUGIS MEMILIKI TEKNIK TERSENDIRI DALAM MEMBUAT PERAHU// RITUAL MERUPAKAN LANGKAH PERTAMA/ SEBELUM DILAKUKAN PENEBANGAN POHON UNTUK MEMBUAT LUNAS PERAHU/ ATAU KALABISEANG// SETELAH ITU/ BARULAH PARA SAHI PUN MERAIH ALAT KERJANYA/ DAN MENGHALUSKAN LUNAS PERAHU/ DI GALANGAN KAPAL YANG DISEBUT BANTILANG// USAI LUNAS PERAHU ATAU KALABISEANG DIHALUSKAN/ PARA SAHI PUN MEMASANG DUA PENOPANG LUMBUNG PERAHU DI UJUNG DAN EKOR PERAHU/ YANG DISEBUT SOTTING// BERIKUTNYA/ LAMBUNG PERAHU ATAU KULIT PERAHU PUN DIPASANG/ MEMBENTUK SEBUAH PERAHU//


INILAH PERBEDAAN PEMBUATAN PERAHU BUGIS DIBANDINGKAN PERAHU MODERN// KARENA/ PERAHU BUGIS DIBUAT/ DENGAN TERLEBIH DAHULU MEMBUAT LAMBUNGNYA/ SETELAH ITU BARU RANGKANYA// SEBALIKNYA DENGAN PERAHU MODERN/ YANG DIBUAT TERLEBIH DAHULU RANGKANYA/ DAN BARU LAMBUNGNYA// BAGI HAJI MUSLIM BASO/ TEKNIK TRADISIONALNYA MEMBERIKAN KEUNTUNGAN DALAM PENGGUNAAN BAHAN BAKU// KARENA/ KULIT PERAHU BISA DIBENTUK SESUAI RANCANGAN/ TANPA BANYAK MEMBUANG KAYU//


JAUH SEBELUM PARA SAHI BEKERJA/ HAJI MUSLIM BASO SEBAGAI PUNGGAWA AKAN MERANCANG DAN MEMPERHITUNGKAN RENCANA PRODUKSI// BERDASARKAN HITUNGAN ITU/ MAKA IA BISA MEMPERKIRAKAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU/ LAMA PEKERJAAN/ JUMLAH SAHI/ DAN BIAYA PRODUKSI// HASIL HITUNGAN ITULAH YANG DIJADIKAN PATOKAN HARGA DAN DIAJUKAN KE PELANGGAN/ YANG OLEH WARGA SETEMPAT DISEBUT SAMBALU//


PERAHU BUGIS MEMILIKI CATATAN PANJANG DALAM KEHIDUPAN SUKU-SUKU DI PULAU SULAWESI// SEJUMLAH ARKEOLOG MENCATAT/ INDUSTRI TRADISIONALNYA TELANG DIMULAI SEJAK MASA PEMERINTAHAN KERAJAAN GOWA// DAN BILA MEMBUKA KEMBALI HALAMAN-HALAMAN LONTAR NASKAH KUNO “LA GALIGO”/ MAKA MASA ITU BERADA PADA SEKITAR ABAD KE-7// ATAU SETIDAKNYA/ PADA ABAD KE-12//


DAN SUKU BUGIS DARI DESA ARA DI WILAYAH BULUKUMBA/ KERAP DISEBUT JUGA ORANG ARA/ TERCATAT SEBAGAI PEMBUAT-PEMBUAT PERAHU BUGIS YANG TRAMPIL// MEREKA BUKAN HANYA MEMBUAT PERAHU UNTUK KEBUTUHAN MENCARI IKAN/ ATAU BERNELAYAN/ TAPI JUGA UNTUK ALAT TRANSPORTASI// BAHKAN/ PERAHU BESAR UNTUK BERNIAGA/ SEPERTI YANG DILAKUKAN OLEH SAWERIGADING// KARENA ITU/ PERAHU BUGIS MEMILIKI BANYAK RAGAM DAN UKURAN/ DARI YANG BERUKURAN BESAR HINGGA KECIL// DAN/ BIASANYA PERAHU-PERAHU ITU MEMILIKI NAMA TERSENDIRI/ SEMACAM PAJJALA/ BANGGO/ ATAU SANDEK// BELAKANGAN/ JENIS PERAHU PHINISI LEBIH DISEBUT-SEBUT SEBAGAI PERAHU KHASNYA SUKU BUGIS//


DI LUAR CATATAN SEJARAH DAN PESAN FILOSOFIS/ WARGA SUKU BUGIS DAN JUGA SUKU-SUKU LAIN DI PULAU SULAWESI/ DIKENAL DEKAT DENGAN MITOS// BAHKAN/ KETERAMPILAN MEMBUAT PERAHU WARGA DI WILAYAH BULUKUMBA INI PUN KERAP DIHUBUNGKAN DENGAN MITOS// KONON/ KETIKA PERAHU SAWERIGADING HANCUR DI PERAIRAN KAWASAN TANJUNG BIRA/ LAYARNYA TERDAMPAR DI PULAU BIRA/ DAN SERPIHAN LAMBUNG PERAHUNYA TERDAMPAR DI DESA ARA//


PADA AKHIRNYA/ DARI TANJUNG BIRA PUN MENJADI TEMPAT LAHIRNYA PELAUT-PELAUT YANG TANGGUH// DAN HINGGA KINI/ PELAUT-PELAUT DARI TANJUNG BARU TELAH MENYEBAR HAMPIR KE SELURUH NUSANTARA// SEDANGKAN DARI DESA ARA/ MENJADI TEMPAT KELAHIRAN PARA PEMBUAT PERAHU YANG TERAMPIL// TERBUKTI HINGGA KINI/ DI SEPANJANG PESISIR TANA BERU/ BULUKUMBA/ MASIH DIRAMAIKAN OLEH BERBAGAI KEGIATAN PEMBUATAN PERAHU// DAN/ MEREKA MELAYANI PEMESANAN BUKAN HANYA DARI DALAM NEGERI/ TAPI JUGA LUAR NEGERI//


HAJI MUSLIM BASO SEBENARNYA BERASAL DARI DESA ARA// NAMUN/ SELAMA DUA PULUH TAHUN INI/ IA JUSTRU BERMUKIM DI DESA TANA BERU// IA BELAJAR MEMBUAT PERAHU SEJAK USIA 16 TAHUN// DAN PADA USIA 21 TAHUN/ IA TELAH MAMPU MEMBUAT MENJADI PUNGGAWA SEBUAH PEMBUATAN PERAHU// DAN HINGGA KINI/ IA TIDAK TAHU LAGI/ BERAPA BERAPA YANG TELAH DIBUATNYA// YANG PASTI/ IA TELAH BANYAK MEMBUAT PERAHU UNTUK ORANG ASING// SEHINGGA/ PERAHU BUGIS PUN TELAH MENYEBAR KE MANCANEGARA SEBAGAI PERAHU PENGANGKUT BARANG ATAU PERAHU WISATA// DAN PERAHU MOTOR YANG TENGAH DILARUNGKAN KE LAUT INI PUN MERUPAKAN PESANAN SEBUAH LSM ASING// IA DAN PARA SAHINYA MEMBUAT PERAHU INI SEJAK ENAM BULAN YANG LALU//


CERITA KEBESARAN SUKU BUGIS DENGAN PELAYARAN SAWERIGADINGNYA DENGAN PERAHU BUGISNYA/ SEPERTI TERPAPAR DALAM NASKAH KUNO “LA GALIGO”/ TERBUKTI BUKAN CERITA REKAAN SEMATA// KARENA/ KINI SIAPAPUN BISA MELIHAT WARISAN KEAHLIAN DAN KETERAMPILAN/ YANG DITURUNKAN OLEH PARA LELUHUR SUKU BUGIS ITU DI TANA BERU/ BULUKUMBA//


DI LUAR RASA BANGGA ITU/ WARGA SUKU BUGIS JUSTRU MEMBACA PAPARAN DALAM SASTRA KUNO “LA GALIGO”/ KHUSUSNYA BERKAITAN DENGAN SIMBOL LAUT PERAHU/ SEBAGAI AJARAN KEHIDUPAN// PERSISNYA/ FILOSOFI KEHIDUPAN SUKU BUGIS//


AKHIRNYA/ SANG JABANG BAYI PUN LAHIR KE DUNIA/ SERAYA DISERTAI TARIKAN LEGA NAFAS SANG IBU// SEBUAH PERAHU BUGIS TELAH BERADA DI LAUT// MAKA/ TUGAS SANG PUNGGAWA DAN PARA SAHINYA BERAKHIR// PERJUANGAN SELAMA SEKITAR ENAM BULAN/ DISERTAI PROSES PELARUNGANNYA YANG TIGA HARI/ SEAKAN TERBAYAR SUDAH/ DENGAN BISA TERAPUNGNYA PERAHU BUGIS ITU//


MAKA/ KISAH TENTANG PEMBUAT PERAHU BUGIS INI BERAKHIR DENGAN SUKACITA// SEKALI LAGI/ HAJI MUSLIM BASO MEMBUKTIKAN SEBAGAI/ SALAH SEORANG WARGA SUKU BUGIS/ YANG BUKAN HANYA TERAMPIL MEMBUAT PERAHU TRADISIONAL// NAMUN/ IA PUN BERHASIL MEMBUKTIKAN KEBESARAN NENEK MOYANGNYA/ YANG MEMILIKI SEJARAH PANJANGA DI SAMUDERA LUAS//


# Cemburu pada samudera yang menampung segala

# Cemburu pada sang ombak yang selalu bergerak

(Reffrein lagu “Cemburu” oleh Iwan Fals)

ANAK-ANAK PULAU BERGURU DI MADRASAH DDI

Liburan Hari Maulid Nabi kemarin menjadi kesempatan dua siswa Madrasah Tsanawiyah Darud Dakwah wal Irsyad (DDI) Gusung, Makassar, untuk pulang ke kampung halamannya. Dengan menumpang sebuah perahu bermesin satu, Mihru bersiap-siap pulang ke Pulau Kapoposang dan Ani liburan ke Pulau Pandangan. Kedua pulau itu merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Pangkep di perairan Selat Makassar.

Mihru dan Ani adalah dua dari puluhan siswa-siswi dari berbagai pulau di perairan Selat Makassar yang harus bersekolah di Makassar atau kota-kota lain, yang memiliki madrasah DDI. Kenapa harus madrasah DDI? Karena, ternyata ada ikatan ideologis antara warga di pulau tempat mereka bermukim dengan lembaga dakwah & pendidikan di Sulsel itu. Konon, dulu di tahun 40-an, para ulama DDI mengunjungi pulau-pulau kecil di perairan Selat Makassar untuk berdakwah dan mencerdaskan warga dengan wawasan keislaman.

DDI sendiri merupakan lembaga dakwah dan pendidikan yang memiliki sejarah panjang dalam perkembangan Islam di Sulsel. Sejak dirintis Anregurutta KH Abdur Rahman Ambo Dalle pada 1938 – melalui penganjian tradisionalnya – DDI terlibat dengan kancah poltik di Sulsel, sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, pemberontakan DI/TII, hingga orde baru. Satu fakta yang perlu dicatat, DDI seakan menjadi madrasah seribu pulau bagi warga di 117 pulau di perairan Selat Makassar.

“Madrasah Seribu Pulau” memperlihatkan perjalanan dua siswa Madrasah DDI saat kembali ke kampong halamannya, sedikit sejarah lembaga dakwah & pendidikan DDI, situasi di Pulau Kapoposan dan Pulau Pandangan, aktivitas nelayan, serta saat kembali ke Makassar.


TIM PRODUKSI:
“Madrasah Seribu Pulau”
; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Dwi Nindyas Putra (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); Asfriyanto & Suparyono (Periset); Tamrin Soppeng (Pendukung Produksi); Mihru & Ani (Talents). Diproduksi di Makassar, Barru, dan Pangkep, Sulsel, pada 28 Maret – 4 April 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV pada 7 April 2007.


NARASI ORISINAL:
LAUTAN/ MEMECAH DARATAN MENJADI PULAU BESAR DAN PULAU-PULAU KECIL// DI ANTARA PULAU-PULAU KECIL NAN JAUH DARI KEHIDUPAN MODERN/ MASYARAKATNYA HIDUP DALAM KESEDERHANAAN// MENGARUNGI LAUT UNTUK BERNELAYAN ADALAH SALAH SATU BENTUK KEHIDUPAN NYATA WARGA DI PULAU TERPENCIL// NAMUN/ MEREKA PUN MEMELIHARA KEINGINAN/ UNTUK MENCERDASKAN ANAK-ANAKNYA// YAKNI/ DENGAN MENGIRIMKANNYA KE PULAU-PULAU LAIN UNTUK BELAJAR// PERSISNYA/ DI MADRASAH SERIBU PULAU//

DERMAGA TRADISIONAL PAOTERE/ DI PESISIR KOTA MAKASSAR/ SULAWESI SELATAN/ MASIH MEMPERLIHATKAN GELIAT KETIKA PAGI DATANG// DERMAGA INI MEMANG MERUPAKAN GERBANG ANTARA KOTA MAKASSAR DAN PERAIRAN SELAT MAKASSAR/ DENGAN RATUSAN PULAU-PULAU KECIL DI TENGAHNYA// SELAIN DIRAMAIKAN OLEH PARA NELAYAN YANG BERDATANGAN UNTUK MENJUAL IKAN TANGKAPANNYA/ JUGA TERDAPAT KAUM IBU YANG BERNIAT BERBELANJA// TERLEBIH LAGI/ AWAL APRIL INI MEREKA BERSIAP-SIAP MENGHADAPI PERAYAAN HARI KELAHIRAN NABI MUHAMMAD// SEHINGGA/ MEREKA PUN HARUS MEMBORONG SEGALA KEBUTUHAN UNTUK PERAYAAN TAHUNAN ITU//

MASA LIBURAN HARI MAULID DI AKHIR MARET ITU/ JUGA MENJADI KESEMPATAN BERHARGA BAGI MIHRU DAN ANI// KARENA/ MEREKA MEMILIKI KESEMPATAN UNTUK PULANG KE KAMPUNG HALAMANNYA NUN JAUH DI SEBERANG PULAU// MIHRU BERASAL DARI PULAU KAPOPOSAN/ SEDANGKAN ANI BERASAL DARI PULAU PANDANGAN// KEDUA PULAU ITU MERUPAKAN BAGIAN DARI GUGUSAN KEPULAUAN PANGKEP//

SELAMA DUA TAHUN INI/ MIHRU DAN ANI HARUS TERPISAH JAUH ORANGTUANYA/ KARENA MEREKA HARUS BERSEKOLAH DI MAKASSAR// KEDUANYA ADALAH SISWA MADRASAH TSNAWIYAH DARUD DAKWAH WAL IRSYAH/ ATAU D-D-I GUSUNG/ DI KAWASAN PAOTERE/ MAKASSAR// MEREKA ADALAH DUA DARI PULUHAN/ BAHKAN RATUSAN SISWA/ DARI PULAU-PULAU TERPENCIL DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR/ YANG HARUS BERSEKOLAH KE MAKASSAR ATAU KOTA-KOTA LAIN// UNIKNYA/ SEBAGIAN BESAR DARI MEREKA MEMILIH SEKOLAH YANG DENGAN LABEL D-D-I//

MADRASAH ATAU SEKOLAH YANG MENGGUNAKAN NAMA DARUD DAKWAH WAL IRSYAD/ ATAU D-D-I/ SEBENARNYA BUKAN HANYA ADA DI KAWASAN PAOTERE/ MAKASSAR// NAMUN/ HAMPIR DI SELURUH KOTA-KOTA DI SULAWESI SELATAN// DAN SEKOLAH-SEKOLAH ITU MEMANG MEMILIKI KETERKAITAN DENGAN ALUMNUS PONDOK PESANTREN ATAU SEKOLAH D-D-I/ YANG BERPUSAT DI KAWASAN MANGKOSA DI KABUPATEN BARRU// PADA AKHIRNYA/ PENGGUNAAN NAMA D-D-I ITU MENJADI DAYA-TARIK BAGI WARGA DI GUGUSAN KEPULAUAN PANGKEP/ UNTUK MENYEKOLAHKAN ANAK-ANAKNYA DI TEMPAT SEPERTI INI// TERMASUK JUGA/ MIHRU DAN ANI//

UNTUK MENCAPAI KAMPUNG HALAMAN MIHRU DAN ANI DARI KOTA MAKASSAR/ PALING TIDAK DIBUTUHKAN WAKTU SEKITAR LIMA JAM// ITU PUN BILA KEADAAN CUACA TENGAH BERSAHABAT// BILA SEBALIKNYA/ MAKA MEREKA SINGGAH DI PULAU-PULAU TERDEKAT/ ATAU MELANJUTKAN PERJALANAN DENGAN KECEPATAN YANG LEBIH LAMBAT// JANGAN BERPIKIR TENTANG KENYAMANAN/ KETIKA MIHRU DAN ANI HARUS MENUMPANG PERAHU MILIK SEORANG WARGA PULAU KAPOPOSANG INI// KARENA/ ITU MEMANG MENJADI BARANG MAHAL//

KARENA MENUMPANG/ MAKA MIHRU DAN ANI HARUS IKHLAS BERADA DI ANTARA PARA PENUMPANG LAIN/ YANG MEMBAWA TUMPUKAN BARANG BELANJAANNYA// BELUM LAGI DERU SUARA MESIN YANG MEMEKAKKAN TELINGA/ SERTA SIRAMAN ANGIN LAUT DAN AIR ASIN/ YANG KERAP HARUS DITERIMA// KARENA JARAK JAUH DAN KESULITAN TRANSPORTASI/ MEMBUAT MEREKA TIDAK BISA SETIAP WAKTU BISA PULANG KE RUMAHNYA// PULANG KAMPUNG HANYA BISA DILAKUKAN/ KETIKA MASA LIBURAN PANJANG TIBA/ ATAU ADA MOMEN BESAR SEMACAM PERAYAAN MAULID NABI//

SEKITAR LIMA JAM PERJALANAN AIR/ DI ANTARA KETIDAKNYAMANAN DAN TANTANGAN ALAM/ MENJADI HAL YANG BIASA BAGI MIHRU DAN ANI// DAN SEMUA ITU BISA TERBALAS/ KETIKA KAKI MEREKA MENYENTUH PASIR PUTIH PULAU KELAHIRANNYA// KARENA DENGAN BEGITU/ MEREKA BISA SEGERA MENEMUI ORANG-ORANG YANG DIKASIHINYA//

PULAU KAPOPOSAN BERADA DI SEBELAH SELATAN PULAU SULAWESI// NAMUN/ SECARA ADMINISTRASTIF/ PULAU INI MENJADI BAGIAN DARI KABUPATEN PANGKEJENE DAN KEPULAUAN// LUASNYA SEKITAR 50 RIBU HEKTAR/ DENGAN POPULASI SEKITAR 300 JIWA// SEHINGGA/ PULAU INI TERLIHAT LENGGANG// SEBAGIAN BESAR PENDUDUKNYA ADALAH NELAYAN// MEREKA MANFAATKAN HASIL LAUT SELAT MAKASSAR/ UNTUK KEBUTUHAN SENDIRI ATAU DIJUAL KE KOTA MAKASSAR// SELAIN BERNELAYAN/ ADA JUGA WARGA YANG MENJADI PEMBUAT PERAHU//

AYAH MIHRU/ BAHRUDIN/ MISALNYA// IA DIKENAL SEBAGAI PEMBUAT PERAHU DI PULAU KAPOPOSAN// HAMPIR SELURUH PERAHU MILIK WARGA DI PULAU INI DIBUAT OLEHNYA//

SELAIN SEKOLAH DASAR/ TUMPUKAN PENDIDIKAN DI TEMPAT INI ADALAH TAMAN PENGAJIAN AL-QUR’AN MILIK MUHAMMAD NUR// SANG USTAD SENDIRI/ TERNYATA JUGA ALUMNUS PONDOK PESANTREN D-D-I DI KAWASAN MANGKOSA/ KABUPATEN BARRU// DI TEMPAT INI/ KITA MASIH BISA MENDENGAR CARA MENGEJA BACAAN AL QUR’AN YANG KHAS BUGIS//

PULAU KAPOPOSAN HANYA MEMILIKI SATU SEKOLAH DASAR// SEHINGGA/ KETIKA ADA SISWA YANG LULUS SD/ MAKA HARUS BERSEKOLAH KE TEMPAT LAIN// DAN BIASANYA/ PARA ORANTUA MEMILIH MADRASAH DARUD DAKWAH WAL IRSYAD DI KOTA MAKASSAR ATAU BARRU// KEBERADAAN MADRASAH-MADRASAH BERLABEL DARUD DAKWAH WAL IRSYAD/ ATAU D-D-I/ TIDAK BISA DIPISAHKAN DARI NAMA ANREGURUTTA KIYAI HAJI ABDUR RAHMAN AMBO GALLE// SEBUTAN ANREGURUTTA BERMAKNA GURU KITA/ YANG BIASA DISEMATKAN PADA TOKOH ULAMA YANG DIANGGAP BERPENGARUH//

SEBELUMNYA/ LEMBAGA DAKWAH DAN PENDIDIKAN INI BERNAMA MADRASAH ARABIYAH ISLAMIYAH/ YANG POLA PENGAJARANNYA BERGAYA SOROGAN/ ATAU MENGAJI DENGAN DUDUK BERSILA// PADA 1947/ NAMANYA BERUBAH MENJADI DARUD DAKWAH WAL IRSYAD/ YANG MENGISYARATKAN PERUBAHAN POLA PENDIDIKAN SEPERTI SEKOLAH/ SERTA MENGGENCARKAN UPAYA PENCERDASAN BANGSA DENGAN BERDAKWAH// SAAT ITU/ PARA DA’I DAN PENDIDIK D-D-I BERKUNJUNG KE PULAU-PULAU KECIL DI SEKITAR SULAWESI/ UNTUK MEMBUKA MATA DAN MENCERDASKAN WARGA TERASING ITU DARI KEBODOHAN//

SETELAH BERMALAM DI PULAU KAPOPOSAN/ MIHRU DAN ANI KALI INI MENGUNJUNGI KAMPUNG HALAMAN ANI DI PULAU PANDANGAN// MEREKA MEMBUTUHKAN WAKTU SEKITAR SATU JAM/ UNTUK MENGARUNGI PERJALANAN AIR DARI PULAU KAPOPOSAN KE PULAU PANDANGAN// BILA KEMARIN/ ANI YANG MENGINAP DI RUMAH MIHRU/ MAKA KALI INI GANTI MIHRU YANG AKAN MENGINAP DI RUMAH ANI//

LUAS PULAU PANDANGAN TIDAK JAUH BERBEDA DENGAN PULAU KAPOPOSAN/ YAKNI SEKITAR 50 RIBU HEKTAR// NAMUN/ PULAU PANDANGAN MEMILIKI POPULASI LEBIH PADAT// SAAT INI/ PULAU DIMUKIMI OLEH SEKITAR 1300 JIWA//

SEBAGIAN BESAR WARGANYA BEKERJA SEBAGAI NELAYAN// NAMUN/ DI DERMAGA PULAU INI/ JUGA TERDAPAT PARA NELAYAN YANG MEMBUAT PERAHU// KESEMARAKAN BEGITU TERASA DI PULAU INI//

MESKI MEMILIKI PENDUDUK YANG PADAT/ DI TEMPAT INI PUN HANYA ADA SATU SEKOLAH DASAR// SEHINGGA/ KETIKA MEREKA LULUS/ MAKA HARUS MELANJUTKAN PENDIDIKANNYA DI TEMPAT LAIN// TERMASUK/ MADRASAH-MADRASAH DARUD-DAKWAH WAL IRSYAD DI KOTA-KOTA DI PULAU SULAWESI//

PULAU PANDANGAN BUKAN HANYA DIMUKIMI OLEH SUKU BUGIS/ TAPI JUGA SUKU-SUKU LAIN// TERMASUK/ SUKU BAJO// DAN/ SALAH SATUNYA ADALAH SALENRANG// IA ADALAH SATU-SATU ORANG BAJO DI PULAU PANDANGAN// IA BERASAL DI KAWASAN BOMBANA/ SULAWESI TENGGARA// IA MENJADI MENONJOL DI PULAU INI/ KARENA IA DIKENAL MEMILIKI KETERAMPILAN MELAUT YANG LUAR BIASA//

SETIAP HARI/ KAKEK BERUSIA HAMPIR 80 TAHUN INI BERJALAN DENGAN PERAHU DAYUNG MENUJU PERAIRAN SELAT MAKASSAR// DENGAN KEMAMPUAN BERENANG/ MENYELAM/ DAN MEMBURU HEWAN LAUTNYA/ IA SEAKAN MEMPERLIHATKAN KEHANDALANNYA SEBAGAI WARGA SUKU LAUT// WARGA SETEMPAT SERING MELIHATNYA BERMAIN-MAIN DENGAN PENYU/ ATAU SISSI/ YANG DITANGKAPNYA DI DASAR LAUT// SETELAH ITU/ SANG HEWAN DILEPASNYA// ATAU KALAUPUN IA MENDAPAT BEBERAPA EKOR/ IKAN-IKAN JUSTRU DIBAGI-BAGIKANNYA KE WARGA LAIN//

NAMUN DI LUAR SALENRANG/ WARGA DI PULAU PANDANGAN INI PUN MEMANGDIKENAL SEBAGAI NELAYAN-NELAYAN YANG TERAMPIL// MEREKA MEMBURU GURITA/ MENJALA IKAN CAKALANG/ DAN MEMANFAATKAN HEWAN-HEWAN LAUT LAIN SEBAGAI MATA PENCAHARIANNYA// SETELAH ITU/ MEREKA MENJUALNYA KE KOTA MAKASSAR//

DENGAN SUMBER NAFKAH YANG TELAH DIJAMIN OLEH ALAM INI/ MEREKA PUN MAKIN MEMILIKI KEMAMPUAN UNTUK MENCERDASKAN ANAK-ANAKNYA// MEREKA MENJADI TIDAK PUAS/ DENGAN PENDIDIKAN YANG HANYA SEKEDAR SEKOLAH DASAR// NAMUN/ ANAK-ANAK MEREKA PUN BANYAK TELAH MENYELESAIKAN PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI// INILAH SALAH SATU BUAH YANG DIPETIK DARI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN YANG DILAKUKAN OLEH PARA ULAMA DARUD DAKWAH WAL IRSYAD TEMPO DULU//

KINI/ DARUD DAKWAH WAL IRSYAD BUKAN SEKEDAR PONDOK PESANTREN ATAU PENGAJIAN SOROGAN/ ATAU MENGAJI SAMBIL BERSILA// LEMBAGA YANG DIBANGUN ANREGURUTTA KIYAI HAJI ABDUR RAHMAN AMBO DALLE/ YANG TUMBUH-KEMBANGNYA JUGA DIGONCANG BERBAGAI KEPENTINGAN POLITIK/ KINI MAKIN BERKEMBANG DENGAN KIPRAH PENDIDIKANNYA// SEBAGAI MADRASAH SERIBU PULAU/ YAKNI SEKOLAH YANG BERHASIL MENAMPUNG DAN MENDIDIK PARA SISWA DARI BERBAGAI PULAU DI SULAWESI/ MEMILIKI LOKASI PENDIDIKAN DI BERBAGAI KOTA// DENGAN BEGITU/ RATUSAN SISWA DARI BERBAGAI PULAU PUN BISA MENIKMATI UPAYA PENCERDASAN BANGSA INI//

AKHIRNYA/ MASA BERLIBUR INI PUN HABIS SUDAH// DUA HARI BERADA DI KAMPUNG HALAMAN/ MEMANG TIDAK BISA MEMBAYAR KERINDUAN YANG TERPENDAM// NAMUN/ MIHRU DAN ANI HARUS BERGEGAS KEMBALI KE KOTA MAKASSAR// KARENA/ DI KOTA ITULAH/ MEREKA BISA MENDAPATKAN PENGETAHUAN DAN WAWASAN/ YANG KELAK BISA DIKEMBANGKAN DI PULAUNYA//

SIANG ITU/ SETELAH HUJAN DERAS MENGGUYUR PULAU PANDANGAN/ MEREKA PUN MENINGGALKAN PULAU// KALI INI/ MIHRU DAN ANI HARUS MENUMPANG JOLORO/ YAKNI PERAHU KECIL BERMESIN SATU// PERAHU YANG HANYA DIPAYUNGI TENDA PLASTIK SEKEDARNYA MENJADI SATU-SATUNYA KENDARAAN YANG AKAN MENGANTAR KEDUANYA KE KOTA MAKASSAR// KARENA ITU/ TERPAAN PANAS MATAHARI/ ANGIN/ ATAU AIR LAUT/ MENJADI BAGIAN YANG TAK TERPISAHKAN DARI PERJALANAN INI//

MEREKA HANYA BERHARAP/ SEMOGA SAJA TIDAK ADA BADAI ATAU HUJAN DERAS DI TENGAH LAUT NANT// SEHINGGA/ MEREKA BISA KEMBALI DENGAN SELAMAT DAN MENIKMATI KEMBALI BANGKU SEKOLAH DI MADRASAH SERIBU PULAU/ DENGAN KECERIAAN// INILAH POHON YANG TENGAH MEREKA TANAM/ UNTUK MASA DEPANNYA DAN MASA DEPAN WARGA DI PULAUNYA//

REHABILITASI TERUMBU KARANG DI SULAWESI SELATAN

(Foto-foto: Syaiful Halim dan Halwi Temu)


Cerita tentang terumbu karang adalah cerita tentang seorang pakar kelautan dan perikanan, serta para peneliti terumbu karang, yang hari-harinya dihabiskan di tengah laut. Pakar kelautan dan perikanan itu adalah Aidah A.A. Husain. Sedangkan peneliti terumbu karangnya adalah Halwi Temu dan Amarullah Saleh. Ketiganya juga merupakan bagian dari Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin, Makassar, yang selama ini banyak melakukan kegiatan penelitian dan rehabilitasi terumbu karang di berbagai tempat.


Kali ini, Aidah dan kawan-kawan berencana melihat kembali kondisi terumbu karang di dua tempat, yakni di paparan Pulau Samalona dan Pulau Barrang Caddi. Kedua tempat itu dipilih, karena merupakan contoh kegiatan rehabilitasi terumbu karang. Bila di Pulau Samalona rehabilitasi menggunakan model biorock, maka di Pulau Barrang Caddi rehabilitasi menggunakan model transplantasi. Meski berbeda model, tujuan rehabilitasi itu sendiri sudah tentu mengarah ke satu tujuan, yakni memancing polip untuk membangun karang hingga menjadi sebuah koloni.


Sebenarnya, makhluk hidup yang bersemayam di dalam karang adalah sebuah sel hidup bernama polip. Untuk bisa hidup, polip bergantung pada hewan laut lain, bernama zooxanthella, yang seakan berfungsi sebagai gudang beras. Hubungan polip dan zooxanthella, atau autotropik, menghasilkan proses fotosintesa dan respirasi. Sedangkan untuk pasokan protein dan sumber energi lain didapat dari proses heterotropik, melalui plankton atau sumber nutrin lainnya.


dengan dukungan zooxanthella dan pasokan nutrin itu, polip pun memiliki kekuatan untuk membangun rumah yang disebut karang. Pada akhirnya, karang-karang itu menjadi bagian dari sebuah ekosistem perairan pantai yang dinamis, namun rentan terhadap perubahan lingkungan, bernama terumbu karang. Dari sekitar 50 ribu meter per segi terumbu karang yang tersebar di berbagai perairan di tanah air, Coremap dan LIPI mencatat, 70 persen di antaranya mengalami kerusakan berat. Namun, tidak semua kerusakan itu bisa dengan segera diupayakan rehabilitasinya.


Khusus untuk kerusakan terumbu karang yang terjadi di paparan Pulau Samalona, Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin, Makassar, bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, membenamkan sebuah kerangka besi bernama biorock, sejak enam bulan yang silam.


Proses rehabilitasi model biorock merupakan pengembangan dari penelitian Thomas J. Goreau dan Wolf H. Hilbertz, lima tahun yang lalu. Caranya adalah dengan membuat terumbu buatan dari besi, yang dibentuk seperti iglo atau kerucut. Kerangka besi berfungsi sebagai katoda dalam proses elektrolisasi air laut. Sedangkan kawat-kawat berbentuk jala merupakan anodanya. Untuk mendukung efek elektrolisasi, katoda dan anoda ini mendapat pasokan listrik sebesar 12 volt dari kabel yang dihubungkan ke solar sel di Pulau Samalona. Efek elektrolisasi itu diharapkan membuat kalsium karbonat lebih cepat mengapur.


Enam bulan yang lalu, Halwi Temu termasuk peneliti yang ikut memasang sebuah koralit karang, yang dipotong dari sebuah koloni karang, dan diikat pada besi bermuatan katoda listrik ini. Kini, enam bulan setelah masa pembenaman biorock dan penempelan karang, ternyata hasilnya memang cukup menggembirakan. Aidah A.A. Husain mencatat terjadinya peningkatan panjang karang rata-rata satu sentimeter. Menurutnya, peningkatan kecepatan tumbuh ini terbilang lima kali lebih cepat dari biasanya. Hal ini seakan bisa menjadi buktii, efek elktrolisasi benar-benar bisa mempercepat proses pengapuran.


Hasil menggembirakan ini bukan hanya terjadi pada biorock berbentuk iglo, tapi juga pada biorock berbentuk kerucut. Hasil nyata lain, ikan-ikan laut, meski yang terbilang kecil, mulai riang bermain di dalamnya. Inilah nilai ekonomis yang biasanya ditunggu-tunggu kalangan nelayan. Namun bagi aidah, manfaat besar karang akan benar-benar terasa, setelah karang-karang scleractina ini menjadi sebuah terumbu, yang juga memberikan nilai ekologis dan estetika, serta fungsi perlindungan terhadap pulau di dekatnya.


Di hari kedua, Aidah A.A. Husain dan kedua peneliti dari Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin, Makassar, kembali mengarungi perairan Selat Makkasar menuju Pulau Barrang Caddi.

Bersama Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi merupakan dari Kepulauan Spermonde, yang dikenal sebagai kawasan terumbu karang dengan keanegaragaman karang yang cukup tinggi. Tercatat, 78 genera dan sub genera, dengan total spesies 262 jenis scleractini.


Aktivitas penduduk di tempat ini terbilang tinggi, sehingga ancaman kerusakan terumbu karang pun tinggi. Beruntung ada sebuah perusahaan budi daya karang, yang menjadikan kawasan ini sebagai daerah perlindungan laut. Sehingga, ekosistem terumbu karang di kawasan ini jadi lebih terlindungi. Bahkan, penduduk di Pulau Barrang Caddi pun dipicu untuk ikut menjaga, mengembangkannya, serta meraih nilai ekonomis dari sebuah karang.


Antropogenic, atau prilaku manusia yang dengan sengaja melakukan pemboman atau pembiusan dengan sianida, atau menambang langsung karang yang sudah jadi, menjadi ancaman kerusakan terumbu karang di seluruh wilayah indonesia. Selain itu, ancaman penyakit dan predator di dalam laut sendiri, ternyata ikut memberikan andil pada kerusakan terumbu karang. Ikan kepe-kepe, ikan burung kakatua, bintang laut, hingga bulu babi, adalah contoh para predator itu.


Di luar itu, ada juga organisme pengebor, yang ikut andil mengurangi koloni terumbu karang. Ancaman terberat adalah pemanasan global yang ditimbulkan rumah kaca, yang membuat suhu laut meningkat tajam di luar batas aman suhu untuk terumbu karang, antara 18 hingga 28 derajat selsius. Hasil akhir dari pengerusakan itu adalah hilang atau keluarnya zooxanthella, yang sebenarnya merupakan gudang beras bagi polip. Sehingga, polip kelaparan, memucat, lalu memutih, atau bleaching, lalu mati.


Tiba di kawasan Pulau Barrang Caddi, Aidah A.A. Husain dan kedua rekannya, langsung melakukan penyelaman. Kali ini, tujuannya untuk melihat karang-karang hasil transplantasi, atau pencangkokan karang untuk diikatkan di sebuah rak di dasar laut. Tujuannya adalah untuk memulihkan atau membentuk terumbu karang alami.


Proses rehabilitasi model transplantasi ini diawali, dengan memotong sebuah koralit karang. Setelah itu, karang ditempelkan di atas sebuah subtrat, yang merupakan campuran semen dan batu apung. Bagian tengah substrat dilubangi, untu meletakkan pragmen karang. Setelah itu, para pembudi daya karang ini pun mengikatkannya di atas sebuah rak besi.


Menurut aktivis Coremap yang mendampingi Aidah, pertumbuhan karang cangkokan cukup terlihat. Paling tidak lebih cepat dibandingkan karang, yang dibiarkan hidup secara alami. Di laut sedalam sekitar lima meter, Aidah dan ulla menyaksikan sejumlah rak besi, dengan substrat berisi karang yang mulai memanjang. Kelak, lima bulan di depan, karang-karang ini dipasarkan, untuk kebutuhan hiasan akuarium.


Puas menikmati karang-karang hasil transplantasi, Aidah, Ulla, dan Halwi bergerak ke tubir paparan Pulau Barrang Caddi. Di tempat ini, mereka melakukan pengukuran, atau transek line, untuk melihat populasi karang pada jarak tertentu. Catatan menarik tentang terumbu karang di tempat ini adalah, masih banyaknya terumbu karang dengan keanekaragaman spesiesnya, yang benar-benar memanjakan mata. Sejauh mata memandang hanya terlihat warna-warni alga, yang melapisi setiap karang. Bahkan, ikan-ikan hias berkeliaran bebas, seakan ikut menikmati keindahan kawasan pemukiman polip ini.


Buah dari pertumbuhan karang adalah terumbu karang, yang bukan lagi menjadi surga bagi biota laut, dan menghadirkan keindahan laut yang sebenarnya. Namun, terumbu karang yang kian kokoh akan memperluas zonasinya. Sehingga, ia pun menjadi pelindung pulau yang ada di belakangnya.


Bila di darat ada hutan, maka di laut ada terumbu karang. Bila hutan menjadi pemasok oksigen terbesar dan paru-paru kehidupan di atas bumi, demikian juga dengan terumbu karang bagi kehidupan di laut. Sehingga, makin memutihnya terumbu karang akibat tangan-tangan kotor manusia, predator, atau pemanasan global, tentu saja menjadi kerugian yang teramat sangat. Karena, dampak akhirnya juga akan terasa pada manusia, yang bukan hanya kehilangan sumber ekologi, ekonomi, dan estetika, tapi sang pelindung kehidupan di daratan pun ikut lenyap.


Lebih daripada itu, manusia akan kehilangan kekayaan nan tak ternilai. Yakni, perncatat sejarah perjalanan bumi. Karena, ternyata bila sebongkah terumbu karang dibelah, maka akan mengungkap usia daratan di dekatnya, sekaligus catatan peristiwa alam yang pernah terjadi. Maka, sangat merugi, bila sang pelindung dan pencatat sejarah kehidupan bumi ini, hancur.


TIM PRODUKSI:
“Di Laut Ada Hutan, Di Laut Ada Terumbu Karang”; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Akhe Mona & Agung Supriyanto (Kamerawan); Halwi Temu (Kamerawan Bawah Air); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono & Asfriyanto (Periset); Aidah AA Husain, Halwi Temu, dan Amrullah Saleh (Narasumber/Talent); Tamrin Soppeng, Agus Teja, dan Ridwan (Pendukung Produksi). Diproduksi di Selat Makassar, Sulsel, pada 12 Maret – 15 April 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV pada 21 April 2007.