Kali ini, Aidah dan kawan-kawan berencana melihat kembali kondisi terumbu karang di dua tempat, yakni di paparan Pulau Samalona dan Pulau Barrang Caddi. Kedua tempat itu dipilih, karena merupakan contoh kegiatan rehabilitasi terumbu karang. Bila di Pulau Samalona rehabilitasi menggunakan model biorock, maka di Pulau Barrang Caddi rehabilitasi menggunakan model transplantasi. Meski berbeda model, tujuan rehabilitasi itu sendiri sudah tentu mengarah ke satu tujuan, yakni memancing polip untuk membangun karang hingga menjadi sebuah koloni.
Sebenarnya, makhluk hidup yang bersemayam di dalam karang adalah sebuah sel hidup bernama polip. Untuk bisa hidup, polip bergantung pada hewan laut lain, bernama zooxanthella, yang seakan berfungsi sebagai gudang beras. Hubungan polip dan zooxanthella, atau autotropik, menghasilkan proses fotosintesa dan respirasi. Sedangkan untuk pasokan protein dan sumber energi lain didapat dari proses heterotropik, melalui plankton atau sumber nutrin lainnya.
dengan dukungan zooxanthella dan pasokan nutrin itu, polip pun memiliki kekuatan untuk membangun rumah yang disebut karang. Pada akhirnya, karang-karang itu menjadi bagian dari sebuah ekosistem perairan pantai yang dinamis, namun rentan terhadap perubahan lingkungan, bernama terumbu karang. Dari sekitar 50 ribu meter per segi terumbu karang yang tersebar di berbagai perairan di tanah air, Coremap dan LIPI mencatat, 70 persen di antaranya mengalami kerusakan berat. Namun, tidak semua kerusakan itu bisa dengan segera diupayakan rehabilitasinya.
Khusus untuk kerusakan terumbu karang yang terjadi di paparan Pulau Samalona, Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin, Makassar, bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, membenamkan sebuah kerangka besi bernama biorock, sejak enam bulan yang silam.
Proses rehabilitasi model biorock merupakan pengembangan dari penelitian Thomas J. Goreau dan Wolf H. Hilbertz, lima tahun yang lalu. Caranya adalah dengan membuat terumbu buatan dari besi, yang dibentuk seperti iglo atau kerucut. Kerangka besi berfungsi sebagai katoda dalam proses elektrolisasi air laut. Sedangkan kawat-kawat berbentuk jala merupakan anodanya. Untuk mendukung efek elektrolisasi, katoda dan anoda ini mendapat pasokan listrik sebesar 12 volt dari kabel yang dihubungkan ke solar sel di Pulau Samalona. Efek elektrolisasi itu diharapkan membuat kalsium karbonat lebih cepat mengapur.
Enam bulan yang lalu, Halwi Temu termasuk peneliti yang ikut memasang sebuah koralit karang, yang dipotong dari sebuah koloni karang, dan diikat pada besi bermuatan katoda listrik ini. Kini, enam bulan setelah masa pembenaman biorock dan penempelan karang, ternyata hasilnya memang cukup menggembirakan. Aidah A.A. Husain mencatat terjadinya peningkatan panjang karang rata-rata satu sentimeter. Menurutnya, peningkatan kecepatan tumbuh ini terbilang lima kali lebih cepat dari biasanya. Hal ini seakan bisa menjadi buktii, efek elktrolisasi benar-benar bisa mempercepat proses pengapuran.
Hasil menggembirakan ini bukan hanya terjadi pada biorock berbentuk iglo, tapi juga pada biorock berbentuk kerucut. Hasil nyata lain, ikan-ikan laut, meski yang terbilang kecil, mulai riang bermain di dalamnya. Inilah nilai ekonomis yang biasanya ditunggu-tunggu kalangan nelayan. Namun bagi aidah, manfaat besar karang akan benar-benar terasa, setelah karang-karang scleractina ini menjadi sebuah terumbu, yang juga memberikan nilai ekologis dan estetika, serta fungsi perlindungan terhadap pulau di dekatnya.
Di hari kedua, Aidah A.A. Husain dan kedua peneliti dari Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin, Makassar, kembali mengarungi perairan Selat Makkasar menuju Pulau Barrang Caddi.
Bersama Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi merupakan dari Kepulauan Spermonde, yang dikenal sebagai kawasan terumbu karang dengan keanegaragaman karang yang cukup tinggi. Tercatat, 78 genera dan sub genera, dengan total spesies 262 jenis scleractini.
Antropogenic, atau prilaku manusia yang dengan sengaja melakukan pemboman atau pembiusan dengan sianida, atau menambang langsung karang yang sudah jadi, menjadi ancaman kerusakan terumbu karang di seluruh wilayah indonesia. Selain itu, ancaman penyakit dan predator di dalam laut sendiri, ternyata ikut memberikan andil pada kerusakan terumbu karang. Ikan kepe-kepe, ikan burung kakatua, bintang laut, hingga bulu babi, adalah contoh para predator itu.
Di luar itu, ada juga organisme pengebor, yang ikut andil mengurangi koloni terumbu karang. Ancaman terberat adalah pemanasan global yang ditimbulkan rumah kaca, yang membuat suhu laut meningkat tajam di luar batas aman suhu untuk terumbu karang, antara 18 hingga 28 derajat selsius. Hasil akhir dari pengerusakan itu adalah hilang atau keluarnya zooxanthella, yang sebenarnya merupakan gudang beras bagi polip. Sehingga, polip kelaparan, memucat, lalu memutih, atau bleaching, lalu mati.
Proses rehabilitasi model transplantasi ini diawali, dengan memotong sebuah koralit karang. Setelah itu, karang ditempelkan di atas sebuah subtrat, yang merupakan campuran semen dan batu apung. Bagian tengah substrat dilubangi, untu meletakkan pragmen karang. Setelah itu, para pembudi daya karang ini pun mengikatkannya di atas sebuah rak besi.
Puas menikmati karang-karang hasil transplantasi, Aidah, Ulla, dan Halwi bergerak ke tubir paparan Pulau Barrang Caddi. Di tempat ini, mereka melakukan pengukuran, atau transek line, untuk melihat populasi karang pada jarak tertentu. Catatan menarik tentang terumbu karang di tempat ini adalah, masih banyaknya terumbu karang dengan keanekaragaman spesiesnya, yang benar-benar memanjakan mata. Sejauh mata memandang hanya terlihat warna-warni alga, yang melapisi setiap karang. Bahkan, ikan-ikan hias berkeliaran bebas, seakan ikut menikmati keindahan kawasan pemukiman polip ini.
Bila di darat ada hutan, maka di laut ada terumbu karang. Bila hutan menjadi pemasok oksigen terbesar dan paru-paru kehidupan di atas bumi, demikian juga dengan terumbu karang bagi kehidupan di laut. Sehingga, makin memutihnya terumbu karang akibat tangan-tangan kotor manusia, predator, atau pemanasan global, tentu saja menjadi kerugian yang teramat sangat. Karena, dampak akhirnya juga akan terasa pada manusia, yang bukan hanya kehilangan sumber ekologi, ekonomi, dan estetika, tapi sang pelindung kehidupan di daratan pun ikut lenyap.
Lebih daripada itu, manusia akan kehilangan kekayaan nan tak ternilai. Yakni, perncatat sejarah perjalanan bumi. Karena, ternyata bila sebongkah terumbu karang dibelah, maka akan mengungkap usia daratan di dekatnya, sekaligus catatan peristiwa alam yang pernah terjadi. Maka, sangat merugi, bila sang pelindung dan pencatat sejarah kehidupan bumi ini, hancur.
“Di Laut Ada Hutan, Di Laut Ada Terumbu Karang”; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Akhe Mona & Agung Supriyanto (Kamerawan); Halwi Temu (Kamerawan Bawah Air); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono & Asfriyanto (Periset); Aidah AA Husain, Halwi Temu, dan Amrullah Saleh (Narasumber/Talent); Tamrin Soppeng, Agus Teja, dan Ridwan (Pendukung Produksi). Diproduksi di Selat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar