Juni 20, 2007

KI SLAMET GUNDONO dan WAYANG SUKET


(Foto-foto: Teguh Prihantoro)


Ki Slamet Gundono adalah dalang ternama dari Tegal, yang mempopulerkan Wayang Suket – wayang yang terbuat dari rumput. Dalam bahasa Jawa, suket berarti “rumput”.

Dengan kreativitasnya, Ki Dalang yang bertubuh tambun itu, memadukan keterampilan mendalang, berteater, dan bermusik, sambil memainkan lakon-lakon pewayangan klasik yang diaktualkan dengan peristiwa nyata. Sehingga, suket yang hakekatnya hanyalah tanaman liar, di tangannya menjelma menjadi wayang-wayang yang memiliki otak dan hati.


Secara harafiah, suket adalah tanaman liar yang bisa tumbuh di mana saja. Teman abadinya adalah tanah, air, dan siraman cahaya matahari. Ketika tersedia lahan kosong, ketika air dan cahaya matahari membelai benihnya penuh kasih, maka suket pun akan tumbuh dan berkembang sebebas-bebasnya. Bahkan, ketika ada tangan-tangan jahil membabati tubuh kurusnya, maka ia tidak akan pernah kehabisan akal. Ia akan bangkit kembali dan mencoba menjangkau langit.


Ia tidak membutuhkan pot atau vas. Ia tidak membutuhkan rumah-rumah kaca untuk melindunginya. Tempat seburuk apa pun akan menjadi sorga baginya. Ia juga tidak peduli tampilannya yang tidak secantik anggrek. Ia tidak peduli tubuhnya tidak segagah pohon jati. Tekadnya hanya satu, ia harus terus memperlihatkan hijaunya. Yang penting, ia harus terus menunjukkan identitas kefloraannya. Sehingga, warna hijaunya mampu memberikan “warna” baru bagi sekelilingnya.


Lakon demi lakon senantiasa bermunculan dari mulut Ki Slamet Gundono. Namun, hakekat lakon itu sendiri, tetap saja, merupakan buaian moral yang diselimuti pakem pewayangan, musik, nyanyian, dan bebodoran. Ia manfaatkan kehadiran pemusik atau nayaga dan pemain pendukung lain secara maksimal. Sehingga wayang-wayang yang dibuat dari rumput itu “dikawinkan” dengan manusia secara sempurna. Bahkan, ia juga senantiasa memanfaatkan suket sebagai asesoris utama pada topi, pakaian, atau properti pementasan.


Keberanian Ki Slamet Gundono menanamkan “roh” ke dalam suket bukan tanpa sebab. Melalui medium suket, sebenarnya ia tengah bermain-main dengan berbagai tafsiran penokohan. Suket bisa menjelma menjadi sosok apa saja; raja, permaisuri, selir, patih, jenderal, prajurit, punakawan, rakyat jelata, atau tukang becak. Karakter yang ditampilkan juga bisa bijaksana, adil, lalim, garang, lembut, kenes, bahkan gemulai seperti kaum waria. Pokoknya, ia bisa menjadi tokoh protogonis atau antagonis.

Kesan yang dibangun; ia ingin penonton berpikir keras soal hakekat suket yang sebenar-benarnya; suket adalah manusia dan manusia adalah suket. Tidak ada bedanya. Keduanya menyatu dalam satu wadag dan karakter. Semiotik yang ingin diraih melalui berbagai penokohan itu mengarah pada hakekat suket itu sendiri; tanaman liar yang semula dianggap tidak berguna, ternyata setelah berganti rupa dan memiliki “roh” menjadi sangat-sangat berguna. Karena, ia tidak lagi sekedar rumput ilalang. Dan, harus diyakini seyakin-yakinnya bahwa kebanyakan dari kita adalah suket!

KRU PRODUKSI:
"Cerita dari Rerumputan"; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Teguh Prihantoro (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Edison Palma (Penata Suara); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono (Periset); H. Iriyanto (Pendukung Produksi); Ki Slamet Gundono (Narasumber/Talent). Diproduksi di Solo, Jateng, pada 1-7 September 2006. Ditayangkan di program POTRET SCTV pada 16 September 2006.


Note:
"Cerita tentang Rerumputan" menjadi inspirasi pembuatan buku "Suket", yang berisikan kisah-kisah inspiratif dari masyarakat adat dan seniman tradisional.

Tidak ada komentar: