Juni 20, 2007

SEANOMEDIC (MANUSIA PERAHU) dan SUKU BAJO

(Foto-foto: Prof. Mas'ud Darmawan)


Salah satu misteri Pulau Sulawesi adalah masyarakat adat Bajo yang bermukim di atas perahu, Mereka sepenuhnya hidup di atas air, Dan berkelana dari satu pulau ke pulau lain sebagai seanomedic. Di awal 90-an, Manusia perahu itu masih sering terlihat di perairan Teluk Bone. Dan singgah di pulau-pulau kecil di provinsi Sulawesi Tenggara. Belakangan, para seanomedic itu dimukimkan oleh pemerintah ke daratan.


Bagian Pertama

Misteri suku bajo yang bermukim di atas perahu, senantiasa menarik perhatian para peneliti dan masyarakat di luar Pulau Sulawesi. Kehadiran manusia-manusia perahu itu seakan teka-teki, Yang mesti diburu kebenarannya. Kabar terakhir, para nelayan di kawasan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, masih melihat kehadiran seanomedic tradisional itu.

Jawaban terpasti, tentu saja, harus didapat dengan mendatangi langsung pulau-pulau yang biasa disinggahi oleh manusia-manusia perahu itu. Dan, untuk mempermudah penyusuran lokasi manusia perahu, kami juga mengirimkan seorang periset, untuk menyisiri perkampungan-perkampungan nelayan di Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.

Saeba juga merupakan bagian dari suku Bajo. Di masa kanak-kanaknya, ia bermukim di Desa Maosangka, Pulau Muna. Ia memiliki teman kecil yang bermukim di atas perahu bernama Wabonde. Sebulan yang lalu, ia masih menjumpai Wabonde dengan perahu soppe-nya melintasi Desa Lore, Pulau Kabaena.

Sebelum menjemput Saeba di pemukiman suku Bajo di Kawasan Raha, Pulau Muna, kami menyusuri perairan Selat Muna dari Kawasan Kasipute, Kabupaten Bombana. Perjalanan dari Kawasan Kasipute menuju Kawasan Raha membutuhkan waktu sekitar empat jam.

Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, dan suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sejumlah antropolog mencatat, Suku Bajo lari ke laut, karena mereka menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air.

Sekitar tiga jam menyusuri perairan Selat Muna, akhirnya mempertemukan kami dengan warga suku Bajo di Pulau Pasir Padangan. Sebenarnya, pulau tersebut merupakan gusung (pulau karang). Karena itu, gusung ini menyimpan keindahan laut dengan terumbu karangnya dan pasir putih di atas pantainya. Suasana haru begitu terasa, tatkala anak-anak usia sekolah menyambut kami dengan penuh sukacita.

Iko-iko atau senandung yang dilantunkan oleh Nenek Monti adalah gambaran kekayaan budaya suku Bajo. Pada syair iko-iko terkandung kekayaan bahasa melayu kuno dan baong same (bahasa suku Bajo). Nama “bajo” diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Warga suku Bajo sendiri menyebut dirinya suku Same, dan mereka menyebut suku Bagai untuk warga di luar suku Same. Nama “bajo” sebenarnya berarti perompak atau bajak laut. Karena, Di zaman dulu, Kalangan perompak berasal dar suku Same. Belakangan, nama suku Bajo benar-benar menjadi pengganti nama suku Same. Uniknya, suku Same tersebar ke seluruh nusantara dengan sebutan suku Laut atau suku Bajo.

Temuan iko-iko di Pulau Pasir Padangan menjadi catatan penting kami. Lebih daripada itu, kami juga mendapatkan cerita anak-anak usia sekolah dengan kesederhanaannya, serta masalah-masalah sosial yang dialami warga suku Bajo di tempat tersebut. Lepas dari berbagai permasalahan warga di Pulau Pasir Padangan, kami kembali harus mengarahkan perhatian pada manusia perahu.

Dari Pulau Pasir Padangan, kami memutuskan untuk bergerak ke arah perkampungan nelayan di Kawasan Maosangke, yang berada di sebelah selatan Pulau Muna. Menurut perkiraan Saeba, Kawasan Maosangka merupakan tempat yang sering disinggahi suku Bajo seanomedic untuk mendapatkan air bersih.

Perlahan-lahan, perahu tim ekspedisi mulai memasuki Desa Kaudani di Kawasan Maosangke, Pulau Muna. Dulu, Saeba menjadi kepala desa di tempat tersebut. Saeba berharap, Wabonde, si manusia perahu, berada di desa tersebut. Rumah di atas air adalah wahana kesehari-harian warga tersebut.

Pada akhirnya, petunjuk mengarah ke rumah Nenek Lampala, janda tua yang selama ini hidup di atas air. Selama sepekan terakhir, kami memang lebih banyak mendapat informasi tentang Nenek Lampala, yang menyinggahi pulau-pulau di Teluk Bone dan Selat Muna.

Wabonde memang tidak ditemukan di Desa Kaudani. Beruntung, kami menjumpai Nenek Lampala. Meski ia telah bermukim di daratan, ia merupakan bukti adanya suku bajo seanomedic. Ironisnya, Ia ke darat, karena adanya iming-iming bantuan langsung tunai dari pemerintah. Maka, perjalanan mencari manusia perahu atau suku bajo seanomedic pun harus terus kami lakukan.

Kali ini, kami mencoba mencapai Pulau Kabaena. Sejumlah warga di Desa Kaudani menuturkan, mereka pernah menjumpai manusia perahu di kawasan itu. [Screening: Program POTRET SCTV tanggal 22 Juli 2006]

Bagian Kedua

Kepastian adanya seorang manusia perahu di Desa Dongkala, di sebelah selatan Pulau Kabaena, membangun keyakinan baru soal adanya suku baju seanomedic. Mereka mengenalnya dengan nama Langkepe, kakek sebatangkara yang memang hidup di laut. Meski demikian, kami tidak segera beranjak dari pulau, yang memiliki penduduk ramah tersebut. Di Desa Toli-Toli, Pulau Kabaena tersebut, lagi-lagi mendengar senandung khas suku Bajo, yang disebut iko-iko.

Iko-iko yang kami dengar seakan mengingatkan kami akan kebesaran suku Bajo. Sebagai pelaut-pelaut tangguh, mereka tersebar ke berbagai belahan nusantara. Di mana ada teluk, maka di sanalah suku Bajo bermukim. Namun, misteri adanya suku bajo seanomedic tetap menjadi pertanyaan besar bagi kami. Di manakah manusia perahu itu?.

Maka perjalanan menyelusuri keberadaan manusia perahu pun kembali berlanjut. Kali ini, kami merasa yakin, Langkepe-lah manusia perahu yang sebenarnya. Karena, beberapa informasi yang dihimpun oleh periset dari para nelayan, ternyata lebih mengarah pada suku Bajo kelompok papongka, yakni nelayan yang berminggu-minggu di laut.

Pada suku Bajo dikenal empat kelompok masyarakat menurut kebiasaannya bernelayan, yakni kelompok lilibu, kelompok papongka, kelompok sakai, dan kelompok lame. Kelompok lilibu adalah suku Bajo yang bermukim di daratan, Dan biasanya berada di laut hanya satu atau dua hari. Kelompok papongka juga bermukim di daratan. Namun, Mereka bisa berada di laut untuk mencari ikan selama sepekan hingga dua pekan. Sementara kelompok sakai merupakan kelompok papongka, yang bisa bertahan sebulan hingga dua bulan di laut, dengan kawasan kerja ke provinsi lain. Perjalanan terjauh dilakukan oleh kelompok lame, yang bisa berbulan-bulan dan mencapai negara lain, Untuk mendapatkan ikan.

Di luar empat kelompok itu, tentu saja, ada nama suku baju seanomedic, yang sulit diketahui keberadaannya. Warga suku Bajo menyebutnya rumah palemana (rumah di atas perahu).

Desa Dongkala di Pulau Kabaena di depan mata. Maka, kami berharap segera mendapati Langkepe, si manusia perahu. Cerita Langkepe sebagai manusia perahu, ternyata bukan hisapan jempol. Warga di Desa Dongkala menuturkan, Langkepe hidup sebatangkara.

Pertemuan dengan Langkepe menghadirkan keharuan tersendiri bagi kami. Ia terlahir di atas perahu, dan hingga usianya yang mendekati 80 tahun, ternyata ia masih bermukim di atas perahu. Terlebih lagi, setelah istri dan anak-anaknya meninggal. Maka, ia semakin menjauhi daratan. Kalaupun kali ini ia ada di daratan, itu disebabkan perahunya yang rusak. Padahal, perahu adalah satu-satunya tempat hidup dan mencari nafkah.

Meski si manusia perahu tengah beristirahat di daratan, Langkepe bisa menjadi pembuktian adanya manusia perahu dari kalangan suku Bajo. Di masa dulu, auku Bajo seanomedic memboyong seluruh anggota keluarga, untuk hidup dan melaksanakan seluruh kegiatannya di atas perahu. Tempat mereka berteduh hanyalah atap rumbia di atas perahu yang disebut soppe.

Kini, hanya seorang Langkepe yang masih hidup di atas perahu, dan mengarungi pulau-pulau di antara Teluk Bone dan Selat Muna. Bila ia tiada, maka suku Bajo seanomedic hanyalah sebuah legenda. Ironisnya, legenda suku bajo seanomedic berakhir, karena mereka dipaksa untuk bermukim di daratan dengan macam-macam alasan.

Langkepe, bisa jadi, merupakan sebuah pengecualian. Karena, ia tetap hidup di laut, tanpa pernah terpikir adanya dana bantuan langsung tunai, atau janji kehidupan yang tentram di daratan. [Screening: Program POTRET SCTV tanggal 15 Juli 2006]


TIM PRODUKSI:

“Mencari Manusia Perahu” dan “Misteri Manusia Perahu”;
Syaiful Halim
(Penulis Naskah/Kamerawan Tambahan/Talent); Teguh Prihantoro (Pengarah Fotografi/Kamerawan/Talent); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Asfriyanto (Periset/Kamerawan Tambahan/Talent); Billy Soemawisastra (Narator); M, Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono (Periset); Tamrin Soppeng,
Saeba, Jalaling, dan Kahar Muzakar (Pendukung Produksi,Talent), Diproduksi di Bombana, Sultra, pada 27 April - 9 Mei 2006.


Note:

Cerita tentang pencarian manusia perahu (seanomedic) tersebut menjadi salah satu topik bahasan dalam buku “Cerita tentang Negeri Dongeng”.

Tidak ada komentar: