Juni 30, 2007

PULAU BUTON, BENTENG DAN TASAWUF


(Foto-foto: Thamrin Soppeng, Agus Suwoto, Syaiful Halim)

Bagian Pertama

Pulau Buton di sebelah tenggara Sulawesi. Di antara Teluk Bone, Selat Muna, dan Laut Banda. Dan, sekitar dua belas jam perjalanan laut dari kota Makassar. Rona budaya dan agama masih membaur erat, memayungi kehidupan masyarakat. Benteng Keraton Wolio masih menjadi simbol kejayaan Kesultanan Buton. Dan, jauh ke pelosok pulau, juga menghampar benteng-benteng tua, yang menjadi bukti keberadaan, Negeri Seribu Benteng.


Pelabuhan Murhum adalah gerbang utama kota Bau-Bau, untuk menjangkau kota-kota lain di Pulau Buton. Ratusan orang dari berbagai wilayah datang dan pergi dari tempat ini. Namun, sekitar seratus dua puluh ribu penduduk kota ini, tidak pernah terusik. Mereka tetap larut dengan rutinitas sehari-harinya. Pulau Buton menjadi menarik, tentu berkaitan dengan masa silam, ketika Kesultanan Buton menjadi pengendali kekuasaan dan kedaulatan wilayah ini. Dan, catatan nyata yang membuktikan kejayaan kesultanan itu, salah satunya adalah Benteng Keraton Wolio.


La Ode Hafilu adalah salah seorang keturunan salah seorang Sultan Buton. Ia kerap mendampingi para peneliti, yang berniat mendapatkan data tentang Benteng Keraton Wolio, atau jejak-jejak kejayaan Kesultanan Buton. Karena itu, ia pun mampu menuturkan keunikan Benteng Keraton Wolio dari sisi arsitektur dan makna yang dikandungnya. Persisnya, berkaitan dengan ajaran tasawuf yang dianut oleh Sultan-Sultan Buton. Benteng Keraton Wolio dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Buton ke-III, La Sangaji, pada abad ke-15. Dan, pembangunannya rampung pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-VI, La Buke, pada tahun 1634.


Bila dilihat dari atas, dengan bangunan sebelah selatan sebagai kepalanya, maka akan membentuk huruf dal, huruf ke delapan pada alfabet bahasa arab. Atau, huruf terakhir nama Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wassalam.
Pintu benteng, atau lawa, berjumlah 12, yang berarti jumlah lubang pada tubuh manusia. Atau, bisa juga bermakna 12 lokasi yang dipilih oleh Tuhan, untuk mendapatkan tanah pembentuk Nabi Adam ‘alaihi salam. Bastion, atau kubu pengawasan, berjumlah 16. Tapi, sumber lain menyebutnya berjumlah 17, yang berarti jumlah rakaat shalat dalam sehari. Angka-angka pilihan, yang berkaitan dengan nilai-nilai tasawuf, juga diperlihatkan Masjid Agung Keraton. Masjid ini memiliki 12 pintu, memiliki 17 anak tangga, dan dua anak tangga tambahan di depannya. Makna dua anak tangga adalah shalat sunnah.


Dulu, Benteng Keraton Wolio menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan syiar islam. Kegiatan syiar Islam terjadi, persisnya setelah bentuk pemerintahan di wilayah ini berubah dari kerajaan menjadi kesultanan, pada masa pemerintahan Raja Buton ke-VI, Lakilaponto, yang akhirnya berganti nama menjadi, Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.


Selain pusat pemerintahan, bagian benteng juga menjadi lokasi pemukiman. Hal ini memungkinkan, karena benteng memiliki lahan yang luas, yakni sekitar 400 ribu meter persegi, dan dikelilingi benteng sepanjang 2740 meter. Tinggi tembok benteng adalah dua hingga delapan meter, dan lebarnya satu hingga dua meter.
Catatan lengkap tentang Benteng Keraton Wolio dan jejak-jejak Kejayaan Kesultanan Buton, juga bisa didapat melalui manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan di rumah Mujazi Mulki. Ia juga merupakan salah satu keturunan Sultan Buton. Bahkan, para leluhurnya pun merupakan pencatat dan penyimpan manuskrip Kesultanan Buton. Seluruh manuskrip-manuskrip kuno ini ditulis dengan huruf arab gundul. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa arab, bahasa melayu, atau bahasa wolio.


Benteng Keraton Wolio juga masih menyimpan adat istiadat khas buton. Upacara akad-nikah diawali dengan iring-iringan mempelai laki-laki, saat hendak mendatangi rumah mempelai perempuan. Prosesi akad nikah, seperti juga dilakukan para leluhur mereka, dilaksanakan di dalam kamar mempelai perempuan. Dan, di dalamnya hanya terdapat orangtua kedua mempelai, penghulu, dan tetua adat. Seluruh prosesi dilakukan dalam bahasa wolio.


Benteng di pulau buton, ternyata bukan hanya Keraton Wolio. Namun, puluhan-puluhan benteng-benteng lain, juga menyanggah Benteng Keraton Wolio dan mengawal Pulau Buton.


Hazirun Kudus juga merupakan salah seorang keturunan Sultan Buton. Ia juga dikenal sebagai arkeolog lokal, yang memahami banyak tentang sebaran benteng-benteng di Pulau Buton dan jejak-jejak kejayaan Kesultanan Buton.

Di kota Bau-Bau sendiri, paling tidak terdapat tujuh benteng. Dan, puluhan lainnya tersebar di berbagai tempat, termasuk di pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Buton. Penjelasan ini membangun dugaan kuat tentang konsep “benteng dalam kota”, seperti di negeri Jerman atau Perancis. Perbedaan benteng di Pulau Buton dibandingkan kedua negeri itu, benteng-benteng di sini hanya merupakan tumpukan batu kali, yang disatukan pasir dan kapur. Saat itu, memang tidak ada semen. Sedangkan senjata andalannya adalah meriam buatan Portugis. Kekuatan lain adalah para prajurit kesultanan didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Sehingga, mereka pun merasa yakin, mampu menghadapi siapapun, yang berniat merampas kedaulatan Kesultanan Buton.


Benteng Sara Wolio, yang menjadi penyangga Benteng Keraton Wolio, bisa menjadi pembuktian awal Pulau Buton sebagai Negeri Seribu Benteng. Meski kerusakan mewarnai sebagian besar bangunan, namun tidak menutup ketegaran tembok-temboknya. Di bagian dalam, benteng tua ini hanya menyimpan rumput ilalang dan makam tua. Arsitektur bangunannya sendiri jauh lebih sederhana dibandingkan Benteng Keraton Wolio.


Dilihat dari atas, bentuknya adalah hampir persegi panjang, dengan empat bastion atau kubu pengawasan di tiap sudutnya. Menurut Rahmat Wong, arkeolog yang sering melakukan penelitian tentang benteng, hampir seluruh benteng di Pulau Buton berbentuk mirip Benteng Sara Wolio. Tidak tercapainya bentuk persegi panjang, karena bentuk benteng disesuaikan dengan kontur tanah di bawahnya. Sedangkan, bahan bangunan yang digunakan sama dengan benteng keraton wolio, yakni dari batu kali serta campuran pasir dan kapur.


Benteng Sara Wolio ternyata terdiri dari dua bangunan. Dan, keduanya memiliki pintu penghubung. Seperti juga Benteng Sara Wolio pertama, Benteng Sara Wolio kedua pun tidak lagi terawat. Cukup sulit untuk mendapati pintu, atau lawa, di benteng ini. Sedangkan di bagian dalam benteng, lagi-lagi hanya memperlihatkan rumput ilalang.


Hanya sekitar satu kilometer dari Benteng Keraton Wolio, kota Bau-Bau juga masih menyimpan ketegaran Benteng Baadia. Satu dari puluhan benteng di Negeri Seribu Benteng. Bentuknya mirip Benteng Sara Wolio. Nasibnya pun, persis seperti benteng-benteng penyangga Benteng Keraton Wolio, tidak terawat dan seakan dibiarkan hancur.
Padahal, seperti juga Benteng Keraton Wolio, benteng-benteng kecil ini pun, bagian dari Kejayaan Kesultanan Buton. Lebih jauh lagi, merupakan fakta sebuah peradaban luhur di masa silam, seperti yang biasa dipaparkan oleh para sesepuh dalam syair-syair kabanti. Yakni, sebuah kesultanan yang menjunjung tinggi ajaran tasawuf. Namun, mereka pun cerdas membangun tata kota, yang bisa terhindar dari ancaman negeri-negeri yang serakah. Inilah Negeri Seribu Benteng. [Screening: Program POTRET SCTV 30 Juni 2007]


Bagian Kedua

Yinda yindamo arata somanamo karo.

(korbankan harta demi keselamatan diri)

Yinda yindamo karo somanamo lipu.

(korbankan diri demi keselamatan negara)

Yinda yindamo lipu somanamo syara.

(korbankan negara demi keselamatan pemerintah)

Yinda yindamo syara somanamo agama.

(korbankan pemerintah demi keselamatan agama)

La Mutadi dan istrinya, masih menyenandungkan syair-syair kabanti di lingkungan rumahnya, di dekat kawasan Benteng Keraton Wolio, kota Bau-Bau, Pulau Buton. Syair kabanti adalah salah satu bentuk tradisi lisan di Pulau Buton, yang berisikan nasihat dan ajaran kehidupan. Makna lebih dalam dari syair-syair berbahasa wolio ini, umumnya adalah petikan ajaran tasawuf, yang diwariskan para leluhur warga Pulau Buton.

Pulau Buton di masa silam adalah kerajaan Hindu, dengan raja pertamanya bernama I Wa Kaa Kaa. Saat itu, Pulau Buton telah menjadi catatan penting dalam sejarah pelayaran nusantara. Terbukti, nama buton tertulis dalam kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca.

Sejarah menggulirkan cerita baru, ketika seorang ahli tasawuf asal Gujarat, Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al Fathani singgah di Pulau Buton. Ia bukan hanya berhasil mengislamkan Raja ke-VI Buton, Timbang Timbangan atau Lakilapotan atau Halu Oleo, dan segenap keluarganya. Namun, ia juga berhasil mengubah tatanan pemerintahan di pulau ini, dari kerajaan menjadi kesultanan. Bahkan, sang raja pun berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.

La Ode Muchir Raaziki adalah ahli tasawuf dan juga mantan Imamu Masjid Agung Benteng Keraton Wolio. Ia memahami sejarah dan perkembangan ajaran tasawuf dari para leluhurnya. Sebagai Imamu Masjid Agung Benteng Keraton Wolio, dulu ia seakan menjadi pengawal kehidupan jasmani dan rohani di lingkungan Benteng Keraton Wolio.

Pelaksanaan shalat jum’at adalah momen yang mempertemukan para syara agama, atau pengurus agama, di lingkungan Benteng Keraton Wolio dengan jamaah masjid, yang pastinya warga di lingkungan benteng sendiri. Dulu, masjid menjadi tempat bertemunya sultan dan perangkat adat dengan rakyat. Maka di bagian depan masjid terdapat dua ruang, satu untuk sultan dan satu lagu untuk sultan batin, atau lakina agama. Setelah Kesultanan Buton berakhir, masjid hanya memiliki lakina agama, imamu masjid, dan para pengurus lainnya.

Panggilan ketiga bedug telah terdengar. Maka, waktu shalat jum’at telah tiba. Di bale depan masjid, Imamu Masjid masih berzikir, untuk mendapatkan petunjuk dari Yang Mahahidup. Tata cara seperti ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang silam. Imamu masjid benar-benar mempersiapkan diri dan batinnya, sebelum ia berhadapan dengan jamaahnya.

Perkawinan agama dan budaya melahirkan adat-istiadat tersendiri, yakni adat-istiadat buton. Agama menjadi rohani yang mengisi kehidupan warga Pulau Buton, dan budaya menjadi jasmaninya. Upacara akad nikah adalah contoh nyata perkawinan agama dan budaya itu. Seluruh rangkaian upacara dilakuan dalam bahasa Wolio, bahasa yang merangkum sekitar 100 bahasa lokal. Namun, pembacaan doa dilakukan dalam suasana khusu, persis yang biasa dilakukan kalangan sufi, ketika mereka bermohon kepada Yang Mahaperkasa.

Buah terindah dari bibit ajaran tasawuf yang ditanamkan oleh Syekh Abdul Wahid dan Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul adalah Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh, yang dirancang oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin.

Kekayaan ajaran tasawuf juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan di rumah Muzaji Mulki di kawasan Benteng Keraton Wolio. Dalam manuskrip bertuliskan huruf arab gundul disampaikan berbagai ajaran tasawuf dari para sultan dalam bahasa arab, wolio, dan melayu. Bahasa melayu muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid memang lama bermukim di Johor, Malaysia. Dan, para penyebar Islam di Pulau Buton, umumnya berasal dari negeri jiran itu.

Meski demikian, harus diakui, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh adalah karya Kesultanan Buton yang paling fenomenal. Karena, Kesultanan Buton telah menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama. Sehingga, mereka bukan lagi berada dalam wilayah syariat, seperti yang kini ramai diterapkan di berbagai daerah. Namun, justru di derat yang lebih tinggi, yakni tarekat.

Saat pelaksanaan shalat jum’at semakin dekat. Setelah Imamu Masjid melaksanakan shalat tahiyatul masjid, ia pun langsung memasuki mihrab. Maka, shalat jum’at pun segera dimulai. Khutbah salah seorang syara agama merupakan momen pembekalan batin. Warga pulau buton percaya, doa dan harapan yang disampaikan sang khatib akan membuahkan keselamatan bagi para jamaah. Karena, setiap musibah yang dialami oleh warga di minggu depan, biasanya akan menjadi kesalahan sang khatib.

Pemahaman itu telah mereka yakini sejak di masa kesultanan berjaya. Karena itu, seorang sultan pun bukan lagi sekedar pemimpin pemerintahan, tapi seakan seorang wali yang diutus oleh Yang Maharaja. Dan, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun menjadi pedoman nyata bagi sultan dan rakyatnya. Dari peraturan tertinggi ini, mereka membangun kehidupan yang sangat demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan sultan pun bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia dipilih karena akhlaknya oleh anggota dewan, yang disebut patalimbona. Karena undang-undang dasar martabat tujuh dan kekuatan adatnya, seorang sultan bisa dilengserkan bila terbukti ia melakukan kesalahan.

Kejayaan kesultanan buton telah lama berakhir. Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun hanyalah catatan sejarah masa silam. Entah dengan falsafah hidup masyarakat, yang menjunjung tinggi masalah agama di atas pemerintah, negara, dan diri pribadi.

Yinda yindamo arata somanamo karo.

(korbankan harta demi keselamatan diri)

Yinda yindamo karo somanamo lipu.

(korbankan diri demi keselamatan negara)

Yinda yindamo lipu somanamo syara.

(korbankan negara demi keselamatan pemerintah)

Yinda yindamo syara somanamo agama.

(korbankan pemerintah demi keselamatan agama)

Semoga saja, tidak hanya menjadi manuskrip kuno di rak buku Muzaji Mulki. Karena, inilah Negeri Martabat Tujuh, negeri yang mengagungkan ajaran tasawuf dan para khalifatulnya. [Screening: Program POTRET SCTV 7 Juli 2007]


TIM PRODUKSI:
“Negeri Seribu Benteng"
dan "Negeri Martabat Tujuh”; Syaiful Halim (Penulis Naskah); Agus Suwoto (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Asfriyanto dan Suparyono (Periset); AL Mujazi Mulki, Hazirun Kudus, La Ode Hafilu, dan Rahmat Wong (Narasumber); Asfriyanto, Thamrin Soppeng, Hastuty, Siti Muzdalifa dan Fido (Pendukung Produksi). Diproduksi di Bau-bau pada 6–8 Februari 2007.

Tidak ada komentar: