O rué tangkanao bellomao
(Orang yang disentuhkan tangannya kepada Arajang)
Nanancung-nancung langiq
(Sejak saat itu tidak diketahui lagi jenis kelaminnya)
Sialaé pada baiseng
(Yang mana lelaki atau perempuan)
Makkatué pada walanaé
(Keduanya telah menyatu)
(Orang yang disentuhkan tangannya kepada Arajang)
Nanancung-nancung langiq
(Sejak saat itu tidak diketahui lagi jenis kelaminnya)
Sialaé pada baiseng
(Yang mana lelaki atau perempuan)
Makkatué pada walanaé
(Keduanya telah menyatu)
Muharom atau Hasna. Kini, ia memang memiliki dua nama, sebuah nama lelaki yang diberikan oleh orangtuanya, dan sebuah nama perempuan yang diberikan oleh Komunitas Bissu Dewata – Komunitas Pendeta Bugis Kuno di kawasan Segeri, Kabupaten Pangkejene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Muharrom menjadi bagian dari Komunitas Bissu Dewata sejak Maret 2003, setelah ia bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang memintanya menjadi bissu. Ia yakin, itu bukan mimpi biasa. Tapi, merupakan petunjuk dari Dewata, yang akan merubah perjalanan hidupnya.
Muharom memang terlahir sebagai lelaki, tetapi prilaku sehari-harinya cenderung perempuan. Bahkan, sejak kecil ia memelihara rambut panjang dan berpakaian wanita. Ia juga tidak pernah merasa malu atau kecil hati dengan julukan waria atau calabai.
Bagi masyarakat Bugis dikenal lima jenis kelamin, lelaki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan berpenampilan lelaki (calalai), lelaki berpenampilan perempuan (calabai), dan bissu. Umumnya, Bissu berasal dari kalangan calabai. Artinya, mereka merupakan waria, lelaki yang berpenampilan perempuan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan perempuan. Namun setelah setelah menjalani upacara maparebba, maka ia dimasukkan dalam gender lain, yakni bissu.
Fisiknya lelaki, namun ia tetap menjaga sifat-sifat keperempuanannya. Namun, ia dituntut menghilangkan simbol-simbol perempuan dalam penampilannya. Sebaliknya, ia kerap membawa badik sebagai simbol kelelakiannya. Karena kependetaan dan upaya menjaga kesaktiannya, ia tidak lagi memelihara nafsu terhadap lawan jenis (asketisme).
Kini, Muharom atau Hasna berusia 17. Warga di lingkungan rumahnya di kawasan Labbakang, Pangkejene dan Kepulauan, tidak pernah lagi mengolok-oloknya sebagai waria atau calabai. Tapi, ia adalah bissu lolo (bissu muda). Pada masyarakat Bugis, seorang bissu kerap berfungsi sebagai dukun (sanro), peramal (toboto), orang yang bisa berbicara dengan dewa (pasabo), juga pemimpin upacara adat (to rialuq). Namun, fungsi sebagai dukun (sanro) kerap lebih menonjol. Sehingga, warga sering berdatangan ke rumah seorang Bissu sekedar meminta doa atau berkah. Termasuk, mendatangi rumah Hasna, sang Bissu muda.
Dulu, Bissu bermukim di lingkungan istana dan memiliki tempat terhormat. Namun, perubahan zaman memberi pengaruh besar pada perjalanan kalangan pendeta kuno ini. Karena dianggap penganut animisme, kalangan Bissu pernah menjadi buruan kelompok DI/TII Kahar Muzakkar dan ormas kepemudaan di masa awal orde baru. Para Bissu dipaksa meninggalkan atribut kependetaannya, sekaligus dipaksa menjadi lelaki. Sehingga, pandangan masyarakat pun begitu buruk terhadap komunitas Bissu.
Dewa penyelamat komunitas Bissu adalah kondisi masyarakat Bugis sendiri, yang sebagian besar berada dalam payungan agama dan budaya (sinkretisme). Satu sisi, mereka menjalankan syariat islam dengan fanatik. Di sisi lain, mereka percaya akan kekuatan para leluhur melalui sanro atau Bissu. Maka, Bissu pun diam-diam tetap mendapat tempat di hati masyarakat Bugis.
Yang jadi masalah, perubahan zaman membuat status Bissu tidak lagi mendapat tempat terhormat dan memberikan keuntungan materi. Bissu tak lebih sebuah warisan budaya, yang menjadi pelengkap bagi kehidupan tradisional masyarakat Bugis. Sehingga, regenerasi di kalangan Bissu pun jadi tersendat, lantaran waria atau calabai umumnya enggan menjadi Bissu. Karena itu, Muharom atau Hasna pun seakan mutiara bagi Komunitas Bissu Dewata di kawasan Segeri.
Karena itu, Saidi, puang matowa atau pemimpin Komunitas Bissu Dewata di kawasan Segeri, begitu bersemangat untuk mendidik Hasna. Dalam berbagai kesempatan, Hasna diajarkan mengenal bahasa Dewa (basa bissu atau basa to ri langiq) dan juga bahasa La Galigo, yang biasa dipakai dalam setiap upacara adat. Bahasa Bissu (basa to ri langiq) adalah bahasa yang digunakan para Bissu untuk berdialog dengan dewa. Mereka sangat merahasiakan bahasa ini. Puang Saidi hanya bisa menggambarkan bahwa basa Bissu berisi puji-pujian terhadap Dewa dan permohonan untuk mendapatkan berkah.
Selain mempelajari berbagai masalah kependetaan dan adat, Hasna juga mendapat ilmu lain dari Puang Matowa, yakni menjadi indo botting (ibu dari mempelai dalam sebuah pesta pernikahan). Ia bertugas menangani tata rias pengantin, dekorasi pelaminan, hingga makanan para tamu. Bahkan, ia pun kerap memimpin ritual adat.
Selain itu, menangani pesta pernikahan memang merupakan satu-satu lahan nafkah bagi para Bissu. Mereka memang dikenal trampil merias pengantin, menata kostum kedua mempelai, juga menata tempat pelaminannya. Kemampuan supranuturalnya pun diyakini bisa membuat kedua mempelai bersinar, saat mereka berada di kursi pelaminannnya. Hasna mengaku, ia pun memiliki kemampuan seperti itu.
Menolong orang banyak dan berbuat kebajikan kepada siapa pun adalah sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam benak Muharom atau Hasna. Yang ia tahu, ia waria. Lalu, ia mendapat petunjuk untuk menjadi Bissu. Maka, ia pun menjadi pendeta Bugis Kuno itu. Pesta pernikahan adalah satu ruang di tengah masyarakat yang masih memberi tempat pada komunitas Bissu. Di tempat ini, mereka leluasa memperlihatkan identitas kependetaannya. Mereka memang mendapat tempat khusus untuk melakasanakan ritual khas Bugis Kuno.
Maka, proses pembelajaran untuk Hasna pun terus berlanjut. Sambil merias pengantin dan melakoni peran sebagai indo botting, ia juga belajar langsung dari Puang Matowa Saidi tentang ritual pelepasan sepasang pengantin seusai acara resepsi pernikahan.
Hampir empat tahun ini, Muharom atau Hasna menjadi bagian dari Komunitas Bissu Dewata. Ia jadi sering berkumpul dan menari bersama para bissu senior di kawasan Segeri, Puang Matowa Saidi, Masse, dan Eka, serta puluhan nama bissu lainnya. Bahkan, atraksi berbahaya semacam maggiri pun sudah semakin sering dilakukannya. Sebuah simbol kesaktian di kalangan Bissu, yang kebal terhadap senjata tajam.
Muharom atau Hasna adalah Bissu termuda di abad modern ini. Untuk menjaga kesakralan jejak budaya Bugis Kuno, ia lupakan keinginan memiliki identitas keperempuanannya. Termasuk, memiliki seorang pacar. Dulu, ia memang masih berpikir memiliki organ perempuan dan memakai pakaian perempuan. Sehingga, ia bisa dibilang cantik. Perlahan-lahan, pikiran itu digantikan oleh mantra-mantra berbahasa La Galigo.
Dulu, ia pernah mencintai seorang lelaki di desanya dan sempat mengatakan cinta. Sehingga, ia juga sempat merasa sempurna sebagai perempuan. Perlahan-lahan, keinginan itu digantikan oleh puji-pujian berbahasa to ri langiq, yang bisa mendekatkannya pada dewa. Kini, ia memang benar-benar seorang pendeta Bugis Kuno, yang masih mendapat tempat di masyarakatnya. Dan, ia juga bertekad, untuk terus berada di atas perahu yang dipilihnya. Karena, ialah sang Bissu muda.
Muharom memang terlahir sebagai lelaki, tetapi prilaku sehari-harinya cenderung perempuan. Bahkan, sejak kecil ia memelihara rambut panjang dan berpakaian wanita. Ia juga tidak pernah merasa malu atau kecil hati dengan julukan waria atau calabai.
Bagi masyarakat Bugis dikenal lima jenis kelamin, lelaki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan berpenampilan lelaki (calalai), lelaki berpenampilan perempuan (calabai), dan bissu. Umumnya, Bissu berasal dari kalangan calabai. Artinya, mereka merupakan waria, lelaki yang berpenampilan perempuan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan perempuan. Namun setelah setelah menjalani upacara maparebba, maka ia dimasukkan dalam gender lain, yakni bissu.
Fisiknya lelaki, namun ia tetap menjaga sifat-sifat keperempuanannya. Namun, ia dituntut menghilangkan simbol-simbol perempuan dalam penampilannya. Sebaliknya, ia kerap membawa badik sebagai simbol kelelakiannya. Karena kependetaan dan upaya menjaga kesaktiannya, ia tidak lagi memelihara nafsu terhadap lawan jenis (asketisme).
Kini, Muharom atau Hasna berusia 17. Warga di lingkungan rumahnya di kawasan Labbakang, Pangkejene dan Kepulauan, tidak pernah lagi mengolok-oloknya sebagai waria atau calabai. Tapi, ia adalah bissu lolo (bissu muda). Pada masyarakat Bugis, seorang bissu kerap berfungsi sebagai dukun (sanro), peramal (toboto), orang yang bisa berbicara dengan dewa (pasabo), juga pemimpin upacara adat (to rialuq). Namun, fungsi sebagai dukun (sanro) kerap lebih menonjol. Sehingga, warga sering berdatangan ke rumah seorang Bissu sekedar meminta doa atau berkah. Termasuk, mendatangi rumah Hasna, sang Bissu muda.
Dulu, Bissu bermukim di lingkungan istana dan memiliki tempat terhormat. Namun, perubahan zaman memberi pengaruh besar pada perjalanan kalangan pendeta kuno ini. Karena dianggap penganut animisme, kalangan Bissu pernah menjadi buruan kelompok DI/TII Kahar Muzakkar dan ormas kepemudaan di masa awal orde baru. Para Bissu dipaksa meninggalkan atribut kependetaannya, sekaligus dipaksa menjadi lelaki. Sehingga, pandangan masyarakat pun begitu buruk terhadap komunitas Bissu.
Dewa penyelamat komunitas Bissu adalah kondisi masyarakat Bugis sendiri, yang sebagian besar berada dalam payungan agama dan budaya (sinkretisme). Satu sisi, mereka menjalankan syariat islam dengan fanatik. Di sisi lain, mereka percaya akan kekuatan para leluhur melalui sanro atau Bissu. Maka, Bissu pun diam-diam tetap mendapat tempat di hati masyarakat Bugis.
Yang jadi masalah, perubahan zaman membuat status Bissu tidak lagi mendapat tempat terhormat dan memberikan keuntungan materi. Bissu tak lebih sebuah warisan budaya, yang menjadi pelengkap bagi kehidupan tradisional masyarakat Bugis. Sehingga, regenerasi di kalangan Bissu pun jadi tersendat, lantaran waria atau calabai umumnya enggan menjadi Bissu. Karena itu, Muharom atau Hasna pun seakan mutiara bagi Komunitas Bissu Dewata di kawasan Segeri.
Karena itu, Saidi, puang matowa atau pemimpin Komunitas Bissu Dewata di kawasan Segeri, begitu bersemangat untuk mendidik Hasna. Dalam berbagai kesempatan, Hasna diajarkan mengenal bahasa Dewa (basa bissu atau basa to ri langiq) dan juga bahasa La Galigo, yang biasa dipakai dalam setiap upacara adat. Bahasa Bissu (basa to ri langiq) adalah bahasa yang digunakan para Bissu untuk berdialog dengan dewa. Mereka sangat merahasiakan bahasa ini. Puang Saidi hanya bisa menggambarkan bahwa basa Bissu berisi puji-pujian terhadap Dewa dan permohonan untuk mendapatkan berkah.
Selain mempelajari berbagai masalah kependetaan dan adat, Hasna juga mendapat ilmu lain dari Puang Matowa, yakni menjadi indo botting (ibu dari mempelai dalam sebuah pesta pernikahan). Ia bertugas menangani tata rias pengantin, dekorasi pelaminan, hingga makanan para tamu. Bahkan, ia pun kerap memimpin ritual adat.
Selain itu, menangani pesta pernikahan memang merupakan satu-satu lahan nafkah bagi para Bissu. Mereka memang dikenal trampil merias pengantin, menata kostum kedua mempelai, juga menata tempat pelaminannya. Kemampuan supranuturalnya pun diyakini bisa membuat kedua mempelai bersinar, saat mereka berada di kursi pelaminannnya. Hasna mengaku, ia pun memiliki kemampuan seperti itu.
Menolong orang banyak dan berbuat kebajikan kepada siapa pun adalah sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam benak Muharom atau Hasna. Yang ia tahu, ia waria. Lalu, ia mendapat petunjuk untuk menjadi Bissu. Maka, ia pun menjadi pendeta Bugis Kuno itu. Pesta pernikahan adalah satu ruang di tengah masyarakat yang masih memberi tempat pada komunitas Bissu. Di tempat ini, mereka leluasa memperlihatkan identitas kependetaannya. Mereka memang mendapat tempat khusus untuk melakasanakan ritual khas Bugis Kuno.
Maka, proses pembelajaran untuk Hasna pun terus berlanjut. Sambil merias pengantin dan melakoni peran sebagai indo botting, ia juga belajar langsung dari Puang Matowa Saidi tentang ritual pelepasan sepasang pengantin seusai acara resepsi pernikahan.
Hampir empat tahun ini, Muharom atau Hasna menjadi bagian dari Komunitas Bissu Dewata. Ia jadi sering berkumpul dan menari bersama para bissu senior di kawasan Segeri, Puang Matowa Saidi, Masse, dan Eka, serta puluhan nama bissu lainnya. Bahkan, atraksi berbahaya semacam maggiri pun sudah semakin sering dilakukannya. Sebuah simbol kesaktian di kalangan Bissu, yang kebal terhadap senjata tajam.
Muharom atau Hasna adalah Bissu termuda di abad modern ini. Untuk menjaga kesakralan jejak budaya Bugis Kuno, ia lupakan keinginan memiliki identitas keperempuanannya. Termasuk, memiliki seorang pacar. Dulu, ia memang masih berpikir memiliki organ perempuan dan memakai pakaian perempuan. Sehingga, ia bisa dibilang cantik. Perlahan-lahan, pikiran itu digantikan oleh mantra-mantra berbahasa La Galigo.
Dulu, ia pernah mencintai seorang lelaki di desanya dan sempat mengatakan cinta. Sehingga, ia juga sempat merasa sempurna sebagai perempuan. Perlahan-lahan, keinginan itu digantikan oleh puji-pujian berbahasa to ri langiq, yang bisa mendekatkannya pada dewa. Kini, ia memang benar-benar seorang pendeta Bugis Kuno, yang masih mendapat tempat di masyarakatnya. Dan, ia juga bertekad, untuk terus berada di atas perahu yang dipilihnya. Karena, ialah sang Bissu muda.
TIM PRODUKSI:
"SANG BISSU MUDA"; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Yuli Sasmito (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono & Asfriyanto (Periset); Amrullah dan Tamrin Soppeng (Pendukung Produksi); Halilintar Latief (narasumber), Saidi (narasumber/karakter), Muharom/Hasna (karakter), Masse, Eka, Nadira, Hasbillah (Talent). Diproduksi di Pangkep, Sulsel, pada 28 Juli – 03 Agustus 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV – 11 Agustus 2007.
"SANG BISSU MUDA"; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Yuli Sasmito (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono & Asfriyanto (Periset); Amrullah dan Tamrin Soppeng (Pendukung Produksi); Halilintar Latief (narasumber), Saidi (narasumber/karakter), Muharom/Hasna (karakter), Masse, Eka, Nadira, Hasbillah (Talent). Diproduksi di Pangkep, Sulsel, pada 28 Juli – 03 Agustus 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV – 11 Agustus 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar