Agustus 28, 2007

PERAHU SANDEQ dan SUKU MANDAR




Bagian Pertama

Desa Tangnga-Tangnga, Kawasan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, sekitar 140 kilometer dari kota Mamuju, Sulawesi Barat. Suasana bahari begitu terasa di tempat ini. Garis cakrawala, ombak laut, anak-anak nelayan, dan perahu-perahu tradisional yang berhamparan di sepanjang pantai.

Desa tangnga-tangnga, seperti juga desa-desa di pesisir Sulawesi Barat, merupakan lokasi bermukim warga suku Mandar, satu dari suku-suku laut di Pulau Sulawesi. Nama suku Mandar senantiasa disejajarkan dengan suku Bugis, suku Makassar, atau suku Bajo. Perbedaan suku Mandar dibandingkan suku-suku laut lain, mereka dikenal sebagai possasiq, atau pelaut-pelaut yang tangguh. Mereka terampil mengemudikan perahu-perahu tradisionalnya, semacam perahu sandeq, untuk mengumpulkan telur-telur ikan di kawasan laut dalam. Mereka memang mencari nafkah di laut lepas. Karena itu, lautan luas dan perahu sandeq benar-benar menjadi bagian kehidupannya.

Ba’du juga bagian dari suku Mandar di desa Tangnga-Tangnga, Kawasan Tinambung. Ia juga merupakan nelayan, yang biasa mengumpulkan ikan di rumpon, atau mengumpulkan telur-telur ikan terbang di perairan Teluk Mandar. Namun, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini ia dan keluarga Saini lainnya, sibuk menyiapkan katir, atau mereka menyebutnya palatto. Yakni, bambu panjang yang berada di kiri-kanan perahu sandeq dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan. Karena itu, bambu yang besar dan panjang pun disiapkan secara khusus, agar bisa menperkokoh, pemperindah, dan membuat perahu sandeq mereka bisa melaju cepat. Mereka memang tengah bersiap-siap mengikuti sebuah lomba perahu sandeq, yang selama sepuluh tahun ini digelar setiap mendekati hari kemerdekaan.

Perahu sandeq adalah salah satu perahu tradisonal khas suku Mandar, dengan layar lebar, cadik, dan katir panjangnya. Bagi suku Mandar, perahu sandeq bukan sekedar kendaraan untuk mencari nafkah dan meningkatkan status sosial bagi pemiliknya. Tapi, ia juga merupakan gambaran kehidupan suku Mandar.

Sandeq artinya runcing, karena haluannya berbentuk pipih dan runcing. Selain itu, layarnya berbentuk segi tiga (massandeq). Bagian utama sebuah perahu sandeq adalah lambung, kemudi, layar, cadik, pemegang katir, dan katir. Perahu sandeq dibuat dengan mengacu pada struktur manusia, yang memiliki tulang rangka dan anggota-anggota tubuh lainnya. Pusat kehidupan sandeq adalah pada possi atau pusar di bagian bawah tengah lambung sandeq.

Awak perahu sandeq (passandeq) dan perahu sandeq ibarat joki dan kudanya. Mereka merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Perahu sandeq yang kokoh, cantik, dan bisa melaju cepat (lopi sandeq nan malolo), harus dikendalikan oleh passandeq-passandeq yang tangguh. Mereka adalah punggawa dan sawi. Punggawa merupakan kapten dan juru mudi. Sedangkan sawi merupakan awak kapal, yang bertugas menjadi pengatur arah layar dan menjaga keseimbangan perahu sandeq. Mereka juga merupakan satu kesatuan, yang bahu-membahu melajukan perahu sandeqnya.

Ba’du termasuk sawi dalam tim sandeq “Bintang Sejarah”, yang akan mewakili desa Tangnga-Tangnga pada lomba perahu sandeq nanti. Lomba itu memang identik dengan gengsi desa, bahkan keluarga. Sehingga, hampir setiap warga suku Mandar tidak pernah melewatkan momen seperti itu. Sedangkan Mahmud merupakan punggawa, atau kapten, di perahu sandeq “Bintang Sejarah” itu. Ia dikenal sebagai nelayan yang terampil dan memiliki jam terbang tinggi.

Seorang punggawa memang dituntut memiliki keterampilan kelautan (paqissangang aposasiang), pengetahuan tentang berlayar (paqissangang sumobal), pengetahuan keperahuan (paqissangang paqlopiang), dan pengetahuan tentang kegaiban (paqissangang). Karena itu, ia menjadi tokoh karismatik di atas sperahu sandeq. komando-komando sang punggawa menjadi peraturan mutlak bagi para sawi. Sehingga, pengaturan posisi tiap sawi dan strategi di atas sandeq pun, sudah dirancang sejak di darat oleh sang punggawa.

Dua hari menjelang lomba perahu sandeq dimulai, keluarga Saini yang akan melajukan perahu sandeq “Bintang Sejarah”, mengumpulkan seluruh awaknya. Sebagai pemilik perahu sandeq, Saini disebut punggawa pottana. Sedangkan punggawa di atas perahu disebut punggawa posasiq. Mereka menggelar Upacara Kumawi yang lazim dilakukan sebelum para passandeq turun ke laut, entah untuk mencari ikan atau membawa barang ke pulau lain. Namun kali ini, upacara dimaksudkan untuk memohon keselamatan selama mengikuti lomba.

Mereka bukan hanya sekedar mengikuti lomba dan mempertaruhkan gengsi keluarga atau desa. Tapi, mereka akan mengarungi laut-laut dalam, dengan gelombang yang besar, sepanjang Mamuju hingga Makassar. Artinya, mereka akan melintasi selat makassar dan teluk mandar sepanjang lebih dari 400 kilometer. Karena itu, kekuatan fisik dan keterampilan melaut pun dirasa belum cukup, bila tidak dilengkapi dengan kekuatan dari Yang Maha Perkasa. Warga suku Mandar merupakan penganut Islam yang taat. Tapi, mereka juga memelihara kemampuan-kemampuan gaib atau supranatural warisan dari leluhurnya.

Upacara adat untuk memohon keselamatan para passandeq, bukan hanya dilakukan di dalam rumah. Mereka juga memboyong pisang, telur, dan berbagai simbol-simbol penyerahan diri lain, ke perahu sandeq yang bakal menjadi kendaraannya. Kali ini, punggawa posasiq sendiri yang menjadi pemimpin upacara. Ia mengawasi setiap jengkal perahu sandeq sambil mengalunkan mantera-mantera di dalam hati. Ia juga menengok sumber kehidupan perahu sandeq (possi) di bagian dalam perahu sandeq.

Seluruh awak perahu sandeq mengikuti seluruh upacara dengan khidmat. Mereka percaya, ritual yang dipimpin oleh punggawa Mahmud merupakan cara untuk memagari perahu sandeq mereka, dari tangan-tangan jahat. Karena bukan rahasia lagi, kehidupan suku Mandar memang kaya dengan hal-hal yang berbau magis. Sehingga, lomba perahu sandeq pun sering dibumbui pertarungan magis di antara para peserta.

Hari yang dinanti segera tiba. kini, saatnya para passandeq “Bintang Sejarah” bersiap-siap mengarungi Teluk Mandar, untuk mencapai garis start di Pantai Manakarra di Mamuju, Silawesi Barat. Artinya, sehari sebelum lomba dimulai, mereka juga harus mengarungi laut-laut dalam antara Desa Tangnga-Tangnga di Polewali hingga Mamuju, sepanjang sekitar 140 kilometer.

Dan, bagi passandeq “Bintang Sejarah”, hal itu tidak menjadi masalah. Mereka tidak mengenal rasa takut dan lelah, ketika mereka berhadapan dengan laut. Karena, mereka merasa, kinilah saatnya memperlihatkan keperkasaannya sebagai posasiq. Ratusan warga Tangnga-Tangnga bergegas ke pinggir pantai, untuk melepaskan perahu sandeq “Bintang Sejarah” dan para passandeqnya, dalam suasana bangga.

Teluk Mandar termasuk wilayah laut dalam di sepanjang sebelah kanan Pulau Sulawesi. Di dalamnya juga terdapat palung sedalam lebih dari dua kilometer. Karena itu, suku Mandar menciptakan perahu sandeq, sebagai kendaraan mencari nafkah dan transportasi ke pulau-pulau. Haluan yang pipih dan runcing, layar lebar, serta cadik dan katir nan kokoh, dianggap bisa bermain di antara gelombang-gelombang besar sambil membelah gulungan ombak-ombaknya.

Perahu sandeq merupakan kreasi yang diwariskan oleh suku-suku Austronesia, yang berdatangan dari arah Madagaskar ke pulau-pulau di nusantara pada abad ke-15 sebelum masehi. Sejarah mencatat, mereka memiliki sistem navigasi yang mantap, dengan bersandar pada petunjuk alam dan kepercayaan akan kegaiban. Pada masyarakat suku Mandar dikenal istilah ussul dan pantangan (pamali). Ussul merupakan pengharapan keberhasilan lewat penggunaan simbol-simbol, sedangkan pamali merupakan larangan yang harus diikuti.

Dengan bekal kemampuan navigasi yang diwariskan secara turun-temurun, dan kepatuhan akan ketentuan yang juga diturunkan secara tutur, mereka lahir menjadi posasiq atau pelaut yang tangguh. sedangkan perahu sandeq hanyalah kendaraan tradisonal, yang memiliki kekokohan dan kecepatannya nan mengagumkan. lebih daripada itu, suku mandar merasa yakin, mereka memiliki roh kehidupan yang berasal dari sebuah perahu sandeq. Semangat Sandeq. Yakni, semangat untuk mengarungi kehidupan yang keras, dan memenangkannya secara jujur. Inilah rona kehidupan warga suku mandar di pesisir sulawesi barat. [Screening: Program POTRET SCTV 01 September 2007]


Bagian Kedua

Satu hari menjelang pelaksanaan lomba perahu sandeq, para passandeq “Bintang Sejarah” harus mengarungi Teluk Mandar dan Selat Makassar sejauh sekitar 140 kilometer. Tujuannya adalah Pantai Manakarra, mamuju, yang akan menjadi garis pertama seluruh etape.

Lomba perahu sandeq kali ini, atau sandeq race 2007, diikuti oleh 53 peserta dari berbagai desa di pesisir Sulawesi Barat. Seperti juga tim perahu sandeq “Bintang Sejarah”, mereka bukan hanya datang dengan perahu sandeq dan para passandeqnya. tapi juga, memboyong sebuah perahu pengiring, yang disebut kappal. Kapal pengiring itulah yang membantu dan mengawasi perahu sandeq, yang tengah bertarung di laut.

Pantai Manakarra menjadi garis pertama seluruh etape sepanjang sekitar 400 kilometer. Lima puluh tiga peserta bersiap-siap di garis start, dan menunggu aba-aba untuk melajukan perahu sandeqnya. Etape pertama adalah Mamuju menuju Malunda. Para passandeq mengenalnya sebagai perairan yang miskin angin. Sehingga, mereka harus menyiapkan dayung sebagai cara melajukan perahunya.

Ketika bendera tanda awal lomba dikibarkan, mereka pun berhamburan ke tengah laut. Termasuk juga, perahu sandeq “Bintang Sejarah”. Firasat para passandeq memang betul. Perairan mamuju hingga Malunda hanya memiliki gelombang besar. Namun angin besar yang ditunggu, ternyata belum juga datang. Perahu sandeq yang tidak memiliki mesin dan sangat bergantung pada angin, betul-betul harus menggantungkan lajunya kepada kekekaran tangan-tangan para passandeqnya. Jika angin tidak juga berpihak kepada mereka, maka perjalanan yang sekitar 60 kilometer harus dilalui, dengan cara mendayung.

Punggawa Mahmud, Ba’du, dan para passandeq “Bintang Sejarah” lainnya, masih terus berjuang. Hari pertama lomba, ternyata harus dilalui dengan kerja keras. Sulit dibayangkan, bagaimana letihnya mendayung di tengah gelombang besar, selama berjam-jam. Hanya para pelaut atau nelayan tangguh, yang bisa melewati ruang cobaan ini. Kenyataannya, mereka memang terus bertarung, tanpa mengenal lelah dan putus asa. Yang mereka miliki hanyalah harapan dan keyakinan bahwa perahu sandeq yang dikendalikannya bisa mencapai Pantai Malunda.

Ujian kehidupan memang terhampar luas di tengah samudera. Di tengah gulungan gelombang, manusia hanyalah makhluk kecil di tangan Yang Maha Mandiri. Catatan perjalanan selama dua etape, dari Mamuju hingga Majene, menorehkan rasa letih nan terkira bagi para passandeq.

Selama dua hari kemarin, mereka praktis harus lebih banyak mendayung, untuk melajukan perahu sandeqnya. Artinya, selama dua hari kemarin sepanjang hampir seratus kilometer, mereka benar-benar harus menguras tenaga dan pikiran untuk mencapai garis pantai. Kini, mereka bersiap memasuki etape neraka, Majene-Polewali. Disebut neraka, karena di tengah gulungan gelombang yang besar, di tempat itu pun angin akan benar-benar menguji ketangguhan para punggawa dan sawi di atas perahu sandeq.

Lomba perahu sandeq yang selama sepuluh tahun ini digelar di perairan Keluk Mandar dan Selat Makassar, tidak bisa dipisahkan dari nama Horst J. Liebner, pakar kelautan asal Jerman. Karena, berkat kesungguhan dan perjuangan kerasnya, perahu sandeq tidak lagi menjadi kayu bakar. Tapi, warisan leluhur dan identitas suku Mandar itu, kini mulai diperhitungkan kembali kehadirannya. Pada akhirnya, nama Horst J. Liebner identik dengan lomba perahu sandeq, lomba perahu tradisional yang dikenal terkeras di dunia. Seiring dengan itu, para punggawa dan sawi pun kembali memperlihatkan keperkasaan dan ketangguhannya di atas perahu sandeq.

Untuk mengikuti lomba perahu sandeq ini, punggawa Mahmud, Ba’du, juga para passandeq lainnya, ikhlas meninggalkan pekerjaannya. Panitia memang menyediakan sedikit uang untuk persiapan perahu sandeq dan keluarga yang ditinggalkan. Tapi, jumlahnya relatif kecil dan tidak sebanding dengan pendapatan bernelayan. Hanya karena kecintaan pada perahu sandeq dan semangat sandeq, yang membuat mereka lebih memilih bertarung dan berkumpul bersama para passandeq lainnya. Karena, harus diakui, lomba perahu sandeq merupakan ajang tempat berkumpulnya para posasiq atau pelaut handal suku Mandar dari berbagai pesisir.

Kerasnya etape Majene-Polewali memang sudah bukan rahasia lagi. Di tempat ini, biasanya satu per satu peserta bertumbangan. Entah karena tiang layar atau katir yang patah. Ujian terberat memang bermunculan di tempat ini. Dan nasib naas itu, ternyata menimpa Ba’du dan kawan-kawan. Tiang layar perahu sandeq “Bintang Sejarah”, terbelah dua. hingga, mereka pun harus melupakan impian menjadi juara di etape neraka ini.

Jika pagi hingga sore bertarung, maka di malam hari mereka berkumpul sambil menikmati tontonan kesenian khas suku Mandar. Mereka seakan bukan sedang berkompetisi. namun, atmosfir reuni sesama warga suku Mandar lebih terasa.

Suku Mandar dikenal ramah, rendah hati, dan mudah bergaul. Karena sikap itu, mereka bisa diterima oleh suku mana pun. Bahkan, mereka pun sangat membuka diri, ketika ada seorang warga negara asing semacam Horst J. Liebner, yang berkeinginan membangkitkan semangat sandeq.

Lomba perahu sandeq bukan hanya sekedar adu kecepatan dan ketangkasan mengendalikan perahu sandeq. Namun, pendidikan kedisplinan dan tanggung jawab pun, diterapkan kepada para peserta. Sehingga, ketika panitia mencatat banyaknya pelanggaran yang dilakukan di garis start kemarin, maka hukumanlah jawabannya. Meskipun demikian, para peserta ikhlas saja menerima hukuman. Mereka tetap tersenyum dan tertawa gembira, ketika panitia meminta mereka berenang ke sebuah perahu pengiring.

Bila di Pantai Polewali, para peserta sandeq tengah mengikuti permainan segitiga, maka para passandeq “Bintang Sejarah”, masih berjuang memperbaiki tiang layar yang patah. Mereka harus membeli tiang baru dan memasangnya secepat mungkin. Sehingga, mereka bisa segera mendatangi Pantai Polewali dan mengikuti etape berikutnya.

Etape Mamuju hingga Polewali hanyalah sepertiga dari seluruh etape, yang berjarak sekitar 400 kilometer. Artinya, mereka membutuhkan waktu hingga sembilan hari untuk menyelesaikan seluruh etape dan permainan segitiganya. Gambaran kelelahan dan kebosanan sudah pasti dirasakan oleh para passandeq. Tapi, karena kecintaan akan dunia bahari, karena kebanggaan sebagai warga suku Mandar, dan karena semangat sandeq yang di dalam sanubarinya, membuat mereka harus melupakan rasa lelah dan bosan.

Para leluhur mereka adalah posasiq-posasiq yang tangguh. Maka, mereka pun memiliki ketangguhan itu. Dan, melalui perahu sandeqlah, mereka bisa meraih semangat sandeqnya dan kegigihannya sebagai passandeq. [Screening: Program POTRET SCTV 08 September 2007)


TIM PRODUKSI:

“Semangat Sandeq” dan “Passandeq”; Syaiful Halim (Penulis Naskah); Yuli Sasmito, M. Ikbal Fitriansyah & Syaiful Halim (Kamerawan); M. Ridwan Alimuddin & Asfriyanto (Kamerawan di Atas Sandeq); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono, Asfriyanto, dan M. Ridwan Alimuddin (Periset); Mimin dkk. dan Tamrin Soppeng (Pendukung Produksi); Ba’du dkk. – Tim Sandeq “Bintang Sejarah” (karakter). Diproduksi di Polman dan Mamuju, Sulbar, pada 12 – 23 Agustus 2007.

KOMUNITAS BISSU (PENDETA BUGIS KUNO)



O rué tangkanao bellomao
(Orang yang disentuhkan tangannya kepada Arajang)
Nanancung-nancung langiq
(Sejak saat itu tidak diketahui lagi jenis kelaminnya)
Sialaé pada baiseng
(Yang mana lelaki atau perempuan)
Makkatué pada walanaé
(Keduanya telah menyatu)

Muharom atau Hasna. Kini, ia memang memiliki dua nama, sebuah nama lelaki yang diberikan oleh orangtuanya, dan sebuah nama perempuan yang diberikan oleh Komunitas Bissu Dewata – Komunitas Pendeta Bugis Kuno di kawasan Segeri, Kabupaten Pangkejene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Muharrom menjadi bagian dari Komunitas Bissu Dewata sejak Maret 2003, setelah ia bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang memintanya menjadi bissu. Ia yakin, itu bukan mimpi biasa. Tapi, merupakan petunjuk dari Dewata, yang akan merubah perjalanan hidupnya.

Muharom memang terlahir sebagai lelaki, tetapi prilaku sehari-harinya cenderung perempuan. Bahkan, sejak kecil ia memelihara rambut panjang dan berpakaian wanita. Ia juga tidak pernah merasa malu atau kecil hati dengan julukan waria atau calabai.

Bagi masyarakat Bugis dikenal lima jenis kelamin, lelaki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan berpenampilan lelaki (calalai), lelaki berpenampilan perempuan (calabai), dan bissu. Umumnya, Bissu berasal dari kalangan calabai. Artinya, mereka merupakan waria, lelaki yang berpenampilan perempuan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan perempuan. Namun setelah setelah menjalani upacara maparebba, maka ia dimasukkan dalam gender lain, yakni bissu.

Fisiknya lelaki, namun ia tetap menjaga sifat-sifat keperempuanannya. Namun, ia dituntut menghilangkan simbol-simbol perempuan dalam penampilannya. Sebaliknya, ia kerap membawa badik sebagai simbol kelelakiannya. Karena kependetaan dan upaya menjaga kesaktiannya, ia tidak lagi memelihara nafsu terhadap lawan jenis (asketisme).

Kini, Muharom atau Hasna berusia 17. Warga di lingkungan rumahnya di kawasan Labbakang, Pangkejene dan Kepulauan, tidak pernah lagi mengolok-oloknya sebagai waria atau calabai. Tapi, ia adalah bissu lolo (bissu muda). Pada masyarakat Bugis, seorang bissu kerap berfungsi sebagai dukun (sanro), peramal (toboto), orang yang bisa berbicara dengan dewa (pasabo), juga pemimpin upacara adat (to rialuq). Namun, fungsi sebagai dukun (sanro) kerap lebih menonjol. Sehingga, warga sering berdatangan ke rumah seorang Bissu sekedar meminta doa atau berkah. Termasuk, mendatangi rumah Hasna, sang Bissu muda.

Dulu, Bissu bermukim di lingkungan istana dan memiliki tempat terhormat. Namun, perubahan zaman memberi pengaruh besar pada perjalanan kalangan pendeta kuno ini. Karena dianggap penganut animisme, kalangan Bissu pernah menjadi buruan kelompok DI/TII Kahar Muzakkar dan ormas kepemudaan di masa awal orde baru. Para Bissu dipaksa meninggalkan atribut kependetaannya, sekaligus dipaksa menjadi lelaki. Sehingga, pandangan masyarakat pun begitu buruk terhadap komunitas Bissu.

Dewa penyelamat komunitas Bissu adalah kondisi masyarakat Bugis sendiri, yang sebagian besar berada dalam payungan agama dan budaya (sinkretisme). Satu sisi, mereka menjalankan syariat islam dengan fanatik. Di sisi lain, mereka percaya akan kekuatan para leluhur melalui sanro atau Bissu. Maka, Bissu pun diam-diam tetap mendapat tempat di hati masyarakat Bugis.

Yang jadi masalah, perubahan zaman membuat status Bissu tidak lagi mendapat tempat terhormat dan memberikan keuntungan materi. Bissu tak lebih sebuah warisan budaya, yang menjadi pelengkap bagi kehidupan tradisional masyarakat Bugis. Sehingga, regenerasi di kalangan Bissu pun jadi tersendat, lantaran waria atau calabai umumnya enggan menjadi Bissu. Karena itu, Muharom atau Hasna pun seakan mutiara bagi Komunitas Bissu Dewata di kawasan Segeri.

Karena itu, Saidi, puang matowa atau pemimpin Komunitas Bissu Dewata di kawasan Segeri, begitu bersemangat untuk mendidik Hasna. Dalam berbagai kesempatan, Hasna diajarkan mengenal bahasa Dewa (basa bissu atau basa to ri langiq) dan juga bahasa La Galigo, yang biasa dipakai dalam setiap upacara adat. Bahasa Bissu (basa to ri langiq) adalah bahasa yang digunakan para Bissu untuk berdialog dengan dewa. Mereka sangat merahasiakan bahasa ini. Puang Saidi hanya bisa menggambarkan bahwa basa Bissu berisi puji-pujian terhadap Dewa dan permohonan untuk mendapatkan berkah.

Selain mempelajari berbagai masalah kependetaan dan adat, Hasna juga mendapat ilmu lain dari Puang Matowa, yakni menjadi indo botting (ibu dari mempelai dalam sebuah pesta pernikahan). Ia bertugas menangani tata rias pengantin, dekorasi pelaminan, hingga makanan para tamu. Bahkan, ia pun kerap memimpin ritual adat.

Selain itu, menangani pesta pernikahan memang merupakan satu-satu lahan nafkah bagi para Bissu. Mereka memang dikenal trampil merias pengantin, menata kostum kedua mempelai, juga menata tempat pelaminannya. Kemampuan supranuturalnya pun diyakini bisa membuat kedua mempelai bersinar, saat mereka berada di kursi pelaminannnya. Hasna mengaku, ia pun memiliki kemampuan seperti itu.

Menolong orang banyak dan berbuat kebajikan kepada siapa pun adalah sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam benak Muharom atau Hasna. Yang ia tahu, ia waria. Lalu, ia mendapat petunjuk untuk menjadi Bissu. Maka, ia pun menjadi pendeta Bugis Kuno itu. Pesta pernikahan adalah satu ruang di tengah masyarakat yang masih memberi tempat pada komunitas Bissu. Di tempat ini, mereka leluasa memperlihatkan identitas kependetaannya. Mereka memang mendapat tempat khusus untuk melakasanakan ritual khas Bugis Kuno.

Maka, proses pembelajaran untuk Hasna pun terus berlanjut. Sambil merias pengantin dan melakoni peran sebagai indo botting, ia juga belajar langsung dari Puang Matowa Saidi tentang ritual pelepasan sepasang pengantin seusai acara resepsi pernikahan.

Hampir empat tahun ini, Muharom atau Hasna menjadi bagian dari Komunitas Bissu Dewata. Ia jadi sering berkumpul dan menari bersama para bissu senior di kawasan Segeri, Puang Matowa Saidi, Masse, dan Eka, serta puluhan nama bissu lainnya. Bahkan, atraksi berbahaya semacam maggiri pun sudah semakin sering dilakukannya. Sebuah simbol kesaktian di kalangan Bissu, yang kebal terhadap senjata tajam.

Muharom atau Hasna adalah Bissu termuda di abad modern ini. Untuk menjaga kesakralan jejak budaya Bugis Kuno, ia lupakan keinginan memiliki identitas keperempuanannya. Termasuk, memiliki seorang pacar. Dulu, ia memang masih berpikir memiliki organ perempuan dan memakai pakaian perempuan. Sehingga, ia bisa dibilang cantik. Perlahan-lahan, pikiran itu digantikan oleh mantra-mantra berbahasa La Galigo.

Dulu, ia pernah mencintai seorang lelaki di desanya dan sempat mengatakan cinta. Sehingga, ia juga sempat merasa sempurna sebagai perempuan. Perlahan-lahan, keinginan itu digantikan oleh puji-pujian berbahasa to ri langiq, yang bisa mendekatkannya pada dewa. Kini, ia memang benar-benar seorang pendeta Bugis Kuno, yang masih mendapat tempat di masyarakatnya. Dan, ia juga bertekad, untuk terus berada di atas perahu yang dipilihnya. Karena, ialah sang Bissu muda.

TIM PRODUKSI:
"SANG BISSU MUDA"; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Yuli Sasmito (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono & Asfriyanto (Periset); Amrullah dan Tamrin Soppeng (Pendukung Produksi); Halilintar Latief (narasumber), Saidi (narasumber/karakter), Muharom/Hasna (karakter), Masse, Eka, Nadira, Hasbillah (Talent). Diproduksi di Pangkep, Sulsel, pada 28 Juli – 03 Agustus 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV – 11 Agustus 2007.