Desember 31, 2009

gus dur = WALI?

Inayah Wahid: "Waktu ke Jombang, Gus Dur serasa diminta datang oleh mbah KH Hasyim Asyhari. Waktu di Jombang, sempat bilang ke sepupunya agar dijemput pada 31 Desember ini."

Adakah beliau sudah mengetahui tanda-tanda panggilanNya? Kalau iya, artinya beliau memang memiliki maqom spiritual yang luar biasa dan pantas sebagian besar warga Nahdliyin menganggapnya wali. Paling tidak wali (pelindung) bagi kaum kecil.

Semoga Allah SWT melapangkan kuburnya dan menyediakan tempat terindah di alam sana. Kami akan selalu merindukanmu, Gus...[]




Desember 18, 2009

bedah "gado-gado sang jurnalis" DI USAHID JAKARTA

Universitas Sahid Jakarta, Rabu (16/12), menjadi gong pembuka roadshow buku GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK ke berbagai kampus di Jakarta dan kota-kota lainnya di Tanah Air. Dalam acara itu, sang penulis, syaiful HALIM, didaulat untuk memaparkan topik "Menelisik Prospek Jurnalis Televisi di Tanah Air" dihadapan sekitar 200 mahasiswa.

"Pada era 1996, masyarakat dikejutkan dengan kehadiran Seputar Indonesia di stasiun RCTI dan Liputan 6 Petang di SCTV sebagai program berita dengan kemasan yang berbeda dibandingkan program-program berita yang ditayangkan stasiun TVRI," jelas syaiful HALIM. "Dan berkat kerja keras para jurnalis televisinya, kita bisa menyaksikan berbagai suasana mencekam, seperti penyerbuan kantor PDI di Jalan Pangeran Diponegoro, tragedi penjarahan pada Mei 1998, peristiwa Semanggi, dengan apa adanya dan memuaskan keinginantahuan pemirsa."

Selanjutnya, sang Wartawan Ecek-Ecek makin bersemangat merinci peran jurnalisme televisi dan kiprah para jurnalis televisinya. Sesekali ia menghubungkan penjelasan menyangkut situasi pengelolaan stasiun televisi dan kejayaan para jurnalisnya itu dengan isi buku -- yang memang membahas masalah-masalah itu. Termasuk, isu-isu hangat seputar peliputan tragedi peledakan bom di kawasan Mega Kuningan dan perburuan gembong teroris Noordin M. Top.

"Di tengah keprihatinan krisis keuangan global, campur tangan pemilik modal terhadap kiprah lembaga pers di masing-masing stasiun televisi, dan juga kecemasan akan masa depan stasiun televisi nasional setelah Undang-Undang Penyiaran diberlakukan, jurnalis televisi akan tetap memiliki tempat," tandas syaiful HALIM. "Namun, para calon-calon jurnalis televisi harus memiliki bekal yang memadai, tidak asal-asalan, berharap kebaikan para senior, atau keberutungan. Tapi, kesiapan mental dan ilmu."

Sesi tanya jawab pada bedah buku itu menjadi kesempatan para peserta untuk menggali lebih dalam mengenai berbagai permasalahan jurnalisme televisi. Tanya-jawab pun berlangsung dengan semarak dan penuh antusias. "Pada poinnya, apa keunggulan buku ini dibandingkan buku-buku sejenis?" tanya seorang peserta.

Sang Penulis pun merinci satu per satu nilai lebih buku yang ditulisnya selama tiga bulan itu. Yang pasti, jelas syaiful HALIM, buku tersebut membuat inspirasi yang sangat penting bagi para peminat dunia jurnalistik atau calon-calon jurnalis televisi. "Selain itu, buku ini memaparkan pengetahuan berharga jurnalisme televisi secara teori dan praktik. Khususnya, menyangkut teknik peliputan di berbagai bidang masalah," tambahnya.

Bahkan, kata syaiful HALIM, buku itu pun mengungkapkan pembekalan sebagai produser program harian atau program khusus. "Bahkan, ketika sang jurnalis televisi bersiap-siap membidik kesibukan lain. Yang pasti, jurnalis televisi akan selalu mendapat tempat dan menghamparkan kenikmatan petualangan nan tiada tara," tegasnya disambut tepuk tangan para peserta.[]


Desember 12, 2009

bedah GADO-GADO SANG JURNALIS

Krisis keuangan global dan pembelakuan Undang-Undang Penyiaran menyengat industri televisi di Tanah Air. Bagaimana dengan masa depan lembaga pers di lingkungan stasiun televisi, akan menjadi suram atau sebaliknya?

Pertanyaan serius dan ironi itu muncul seiring dengan rumor tawaran pensiun dini (baca: PHK terselubung) dan gonjang-ganjing yang mewarnai perjalanan lembaga pers di stasiun televisi beberapa tahun ini. Beberapa jurnalis televisi (atau mantan) menuliskannya dalam blog atau menerbitkannya melalui jejaring sosial facebook. Artinya, diam-diam memang ancaman "madesu" memang tengah mengintai para jurnalis televisi.

Entah kesengajaan atau tidak, ternyata isu itu juga muncul dalam buku GADO-GADO sang jurnalis; rundown WARTAWAN ECEK-ECEK yang ditulis jurnalis SCTV, syaiful HALIM. Bahkan, lengkap dengan gambaran "politik ecek-ecek" yang terjadi di lembaga pers di sejumlah stasiun televisi, yang diduga untuk mengkebiri ketajaman dan kemapanan lembaga pers tersebut. Dan untuk mempertegas atmosfir keprihatinan dan kenyataan di dalamnya, sang Wartawan Ecek-Ecek akan berbicara langsung pada:

Rabu, 16 Desember 2006
Pukul 13.00-15.00 WIB
Bertempat di Auditorium Kampus Universitas Sahid Jakarta, Jalan Profesor Dr. Soepomo, Jakarta Selatan
Dengan topik "Menelisik Prospek Jurnalis Televisi di Tanah Air"

"Saya hanya bisa mengatakan, jutaan anak-anak bangsa dari berbagai kalangan masih menjadikan stasiun televisi sebagai salah satu impian. Ribuan mahasiswa dari fakultas-fakultas tertentu masih membidik dunia jurnalime televisi sebagai salah cita-cita," tegas sang Wartawan Ecek-Ecek, syaiful HALIM, dalam blognya.

Benarkan masa depan para jurnalis televisi akan suram pada masa-masa mendatang? Adakah buku GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK membuktikan kekhawatiran itu?

Untuk mendapatkan jawaban paling akurat, ada baiknya menbaca buku itu terlebih dahulu dan mengikuti penuturan penulisannya pada workshop singkat ini.

JANGAN IKUTI ACARA INI, BILA ANDA INGIN DISEBUT ECEK-ECEK!


Desember 07, 2009

menyoal GADO-GADO SANG JURNALIS

Sesaat setelah buku Gado-Gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-Ecek memasuki rak toko buku, seorang sahabat menyodorkan dua kritik serius kepada saya. Yakni, soal pemilihan tokoh "saya" dan momen peluncurannya yang dianggap berbanding terbalik dengan kondisi sekarang.

"Kenapa juga harus sampean sendiri yang menjadi kendaraan cerita. Apa tidak khawatir buku itu bakal disebut otobiografi? Bahkan, sampean bisa dicap pemuja aliran narsis?!"

Astaghfirullah. Buru-buru saya membuka lembar demi lembar buku itu dan membacanya secara seksama. Seteliti, mungkin. Kali ini, saya harus memastikan kebenaran kesan itu. Dan jurus memilih posisi sebagai pembaca harus saya pilih. Karena, saya membutuhkan jawaban obyektif.

Kalau hal itu terbukti benar, maka sesungguhnya saya tengah dihadapkan pada dua persoalan besar. Pertama, saya telah melanggar komitmen spiritual untuk istiqomah berzuhud secara batin. Kedua, saya telah melanggar komitmen berkesenian untuk tidak melakukan -- maaf -- masturbasi!

"Setiap amal tergantung niatnya. Katanya guru saya, hahaha...," sahut saya mencoba menanggapi kritik serius itu seraya berpura-pura mengabaikan konflik batin di pikiran.

Namun, di balik kutipan yang sejatinya hadits Rasulallah SAW itu saya ingin bertutur bahwa alasan-alasan "pelanggaran" komitmen secara spiritual atau berkesenian itu. Ketika harus memilih kendaraan "saya", seperti juga telah dipaparkan dalam kata pengantar, hal itu lebih disebabkan untuk mendapatkan kemudahan. Karena memilih tokoh lain pastinya akan dihadapkan berbagai persoalan administrasi, royalti, waktu, dan sejuta alasan lain.

Selain itu, mendapatkan tokoh dari kalangan "bawah" -- dunia jurnalistik televisi -- dengan banyak cerita juga bukan perkara gampang. Karena, bisanya kalangan "bawah" sangat sedikit mendapatkan kesempatan untuk menabung pengalaman dan cerita.

Daripada niatan membagi pengatahuan dan pengalaman terhambat masalah karakter, maka diputuskanlah "saya". Untuk mengimbangi dominasi "saya", saya juga menyediakan ruang untuk teman-teman lain -- dari kalangan "bawah" -- yang selama ini tidak tersentuh tinta sejarah. Dan menorehkannya dalam bentuk cerita atau foto. Dengan porsi kecil itu saya berharap, pembaca juga mengenal "wartawan ecek-ecek" lain yang selama bertahun-tahun ini meramaikan jagat pertelevisian kita.

"Apa mereka memang layak masuk catatan sejarah itu?"

"Iya. Selama ini publik lebih mengenal kalangan 'atas' atau selebritas -- presenter atau anchor program berita -- yang sering tampil di layar kaca. Padahal di balik kecemerlangan mereka juga terdapat para praktisi lain yang angat bekerja keras. Buat saya, masyarakat juga perlu menjadikan orang-orang itu inspirasi. Orang kalangan 'bawah' pun berhak menjadi inspirasi," jelas saya meyakinkan.

Tentang kritik kedua?

Saya sangat tahu, arah kritik itu ditujukan kepada situasi gonjang-ganjing yang belakangan ini dialami sejumlah stasiun televisi nasional. Entah menyangkut keterlibatan pemilik modal atau jajaran pengelola stasiun televisi secara langsung dalam menata lembaga pers di dalamnya. Atau soal masa depan pertelevisian itu yang tengah diuji krisis keuangan global atau pelaksanaan Undang-Undang Penyiaran. Singkatnya, efisiensi yang berujung pada pemangkasan karyawan. Dan, tentu saja, masa depan lapangan pekerjaan di bidang penyiaran.

Kali ini, saya hanya bisa mengatakan, jutaan anak-anak bangsa dari berbagai kalangan masih menjadikan stasiun televisi sebagai salah satu impian. Ribuan mahasiswa dari fakultas-fakultas tertentu masih membidik dunia jurnalime televisi sebagai salah cita-cita. Dan mereka membutuhkan referensi. Baik menyangkut teori keilmuannya maupun praktik nyata di lapangan. Bahkan, peta "politik" di dalamnya.

Bahwa momen peluncuran buku dan kondisi usaha stasiun televisi yang berbanding terbalik bukanlah penghalang untuk terus berbicara tentang dunia jurnalisme. Khususnya, jurnalisme televisi. Sebagai pengetahuan atau ilmu, jurnalisme tidak akan pernah mati dan masih akan terus berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan zaman. Karena itu, buku-buku yang berkaitan dengan masalah itu pun masih sangat dibutuhkan tanpa terusik situasi lapangan kerja.

Dan untuk ke dalam, wawasan tentang jurnalisme televisi itu juga membutuhkan otokritik. Ketika dunia tersebut menempati papan atas dan dalam kesombongan yang teramat sangat, para pengelolanya lupa dan lengah bahwa tren selalu berputar dan minat penonton juga ikut bergeser. Pada akhirnya, kebijakan pemilik modal dan pengelola stasiun telivisi pun harus berakrobat untuk mempertahankan laju usahanya.

"Bagian itulah yang saya pikir sangat ironi," kata teman saya lirih.

Ironi?

Buat saya dan teman-teman dari kalangan "bawah" yang termasuk dalam cerita buku, baik yang masih bertahan maupun resign, hal itu bukan sekadar ironi. Tapi, sangat ironi. Bahkan, sangat-sangat ironi![gado-gado SANG JURNALIS]


November 14, 2009

gado-gado SANG JURNALIS

Buku ini laksana rundown sebuah program berita menjadi segmen per segmen. Segmen pertama menguraikan sepenggal perjalanan hidup yang berkaitan dengan profesi jurnalis televisi. Dari sekedar gila menonton televisi hingga menjadi mahasiswa. Selain mencoba membangun inspirasi dan kebanggaan akan profesi kewartawanan, segmen itu pun menguraikan sejumlah pengetahuan Dasar-Dasar Jurnalistik, Filosofi dan Sejarah Profesi Kewartawanan, Manajemen Media Massa, dan Penulisan Berita.

Segmen dua dan tiga makin fokus pada persiapan menekuni profesi jurnalis televisi dan aspek-aspek di dalam lingkungan televisi. Dari menguraikan pengetahuan tentang persiapan peliputan untuk jurnalistik televisi hingga mengenal profesi-profesi khusus di lingkungan Divisi Pemberitaan. Dalam segmen tiga, buku ini akan mengajak Anda memasuki kavling-kavling penggarapan berita televisi menurut bidang masalahnya. Jika dibuat komposisi, sekitar 70% uraian mengungkap praktik serta sisanya berisikan teori dan hal-hal remen-temeh lainnya.

Segmen terakhir, buku ini akan memaparkan sisi jurnalis televisi yang back to the jungle alias balik kanan ke kantor. Segmen ini mengupas teori ideal dan praktik pekerjaan sebagai produser, plus perkembangan tren jurnalistik televisi terbaru. Selain “booming” program infotainment yang mengalahkan pamor program berita, perkembangan manajemen media massa termutakhir, hingga masa depan yang harus dibangun sang jurnalis televisi saat bintangnya meredup.

Jadi, terasa kan cita rasa “gado-gado”nya?

Bisa jadi gaya penulisan buku ini dianggap ecek-ecek, karena ditulis oleh seorang yang menganggap dirinya sebagai jurnalis televisi yang ecek-ecek, meski sejatinya buku ini menyuguhkan "sesuatu" yang sulit dipandang ecek-ecek. Karena dari serangkaian cerita gado-gado yang dibuat penulisnya, Anda akan dibawa untuk menentukan bagian-bagian yang penting dalam jurnalistik dari sekian lama petualangan penulisnya sebagai jurnalis.

Atau justru Anda menjadi salah satu yang berani menyatakan bahwa buku ini ecek-ecek? BACA DULU![GGsj: rWEE]

November 05, 2009

Di Atas Bintang Sejarah, Nasib Jadi Terserah


Dor! Bunyi pistol menggema. Seiring dengan letusan tersebut, sorak-sorai penonton di bibir pantai kota Majene berbaur dengan teriakan semangat para passandeq yang berlompatan ke atas perahu masing-masing. Teriakan-teriakan itu ditingkahi pula dengan bunyi berderak palattok sandeq dan bunyi derik layar yang ditarik naik.

Perahu sandeq Bintang Sejarah yang saya naiki, menyeruak ke depan, membuka jalan di antara padatnya perahu lawan. Detik pertama lomba, palattok atau katir cadiknya telah menghantam patah pallatok sandeq lain yang berusaha menghalangi derap majunya. Dapat diduga, sandeq lawan itu pun terhenti dan oleng. Namun sandeq Bintang Sejarah juga tidak luput dari ancaman serupa. Berulang kali, saya harus menundukkan kepala sebab palattok lawan yang berujung runcing, hampir saja merobek tiang layar dan nyaris melukai saya dan sawi lain yang ada di atasnya. Untung saja Muin, yang bertindak sebagai punggawa alias juru mudi, berhasil menghindarkan perahu kami dari segala ancaman.

Cukup lama berkutat dengan ketat, menghindari kesemrawutan seperti itu, namun perlahan tapi pasti, setelah bermanuver kiri kanan, perahu sandeq kami akhirnya berada di posisi terdepan. Walapun demikian, muka saya masih terasa memutih dan dingin dengan dada yang berdegup kencang. Berkali-kali cipratan air laut yang hangat membasahkuyupkan saya, namun saya seakan masih bermimpi perahu kami berhasil melewati kemelut pada start lomba. Saat ini, perahu kami melaju memimpin perlombaan.

ekan saya yang produser di salah satu TV swasta, Saiful Halim, tinggal sendirian di pantai. Dua kameramen lainnya telah pulang ke Jakarta akibat kena penyakit cacar. Di tangan Saiful tergenggam kamera PD 170 untuk mendokumentasikan sandeq Bintang Sejarah. Ia tampak tegang. Seiring dengan bunyi letusan pistol, ia menekan tombol record di kamera tersebut. Konsentrasinya sedikit buyar, sandek Bintang Sejarah terhalang laju perahu sandek lawan yang ujung cadiknya hampir menghantam seluruh awak Bintang Sejarah.

Sekitar 15 menit Saiful terus merekam momen tersebut, sampai kemudian ia bergegas naik ke atas kapal. Kapal itu merupakan kapal logistik milik sandek Bintang Sejarah yang dinahkodai oleh Miming. Dari atas kapal motor itu, nahkoda berusaha untuk mendekati Bintang Sejarah yang jauh di depan. Namun sandeq terlalu jauh, dan ombak besar menghadang kapal untuk maju. Miming tidak berani mengambil resiko. Saiful hanya bisa kecewa, karena dari atas kapal yang oleng, merekam gambar sandeq yang terlalu jauh dari rekaman lensa adalah hal yang sia-sia saja. Lagi pula saat itu, ia mulai terserang rasa mual.

Itulah sandeq. Perahu tradisional khas suku Mandar. Sandeq sepertinya memang dirancang untuk menaklukkan gelombang besar. Tofografi pantai serta kawasan di mana komunitas nelayan Mandar bermukim merupakan kawasan pantai yang langsung berhadapan dengan luat dalam. Kondisi ini membedakannya dengan kawasan dimana komunitas nelayan lainnya di Sulawesi. Para ahli percaya, hampir pada setiap bentuk kebudayaan di dunia, pengaruh lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab berbedanya varian artefak dan corak kebudayaannya. Kondisi laut yang berombak besar, membutukan jenis perahu yang mampu bermanuver dengan cepat.

Ridwan Alimuddin yang lama meneliti sandeq mengungkapkan bahwa berkembangnya evolusi perahu layar menjadi sandeq di awal tahun 1930-an, merupakan adaptasi para pelaut Mandar ketika berinteraksi dengan para pelaut-pelaut Eropa, terutama pada adatasi layar sehingga berbentuk segitiga. Namun tidak cukup dengan itu, bukti bahwa orang Mandar adalah pelaut dan bukan pelaut pedagang seperti suku lainnya di Sulawesi adalah pencapaiannya dalam menciptakan perahu sandeq – sebuah perahu yang awalnya untuk mencari hasil perairan laut dalam.

Namun, terlepas dari beberapa artefak di situs-situs arkeologi potensial di tanah Mandar yang lebih berorientasi agraris, saat ini sandeq adalah satu-satunya pembuktian bahwa orang Mandar memang pelaut ulung. Tidak diketahui secara pasti kapan mereka meninggalkan tradisi agrarisnya menuju tradisi maritim yang kental. Karena itu, ajang Sandeq Race bagi para keluarga nelayan di tanah Mandar adalah bagian dari prestise keluarga. Hal itu dimungkinkan karena saat ini tidak semua warga nelayan memiliki dan mampu mengendalikan sandeq. Karena itu keikutsertaan dalam ajang lomba bagi warga nelayan adalah bagian dari gengsi dan status sosial kelurga. Dan bagi kami, adalah satu kehormatan bisa mengendarai perahu layar tradisional tercepat di dunia itu.

Sandeq Bintang Sejarah yang saya naiki, dalam rating yang dicatat panitia merupakan sandeq dengan rating 4, yang berarti dari ukuran prestasi merupakan favorit juara. Sandek itu milik Saini, seorang nelayan yang bermukim di kawasan teluk Mandar, di desa Tangnga-Tangnga, Tinambung, Sulawesi Barat. Seperti nelayan Mandar lainnya, sandeq miliknya hanya dipergunakan pada saat lomba. Itu terhitung sejak ia memiliki sebuah kapal bermesin motor untuk aktivitas melautnya.

Berbeda dengan sandeq lain dalam perlombaan kali ini, Bintang Sejarah masih mempertahankan bentuk sandeq khas nelayan. Sandeq lain, umumnya lebih panjang dan rendah sehingga bisa memiliki layar lebih lebar yang dapat menampung lebih banyak angin ketika melaju. Sebaliknya, Bintang Sejarah memiliki ukuran terpendek, namun rating dan prestasinya menunjukkan sandeq ini tidak kalah dengan sandeq lain. Hal itu terkait dengan kemampuan para awak atau sawi serta punggawanya yang memang berkutat dengan kehidupan sandeq sebelum kapal bermesin motor marak di tanah Mandar.

Namun di ajang lomba tahun ini, kejayaan Bintang Sejarah seakan memudar. Pada etape pertama (Mamuju) yang menempuh jarak 60 km dari pantai Manakarra menuju Malunda, sandeq ini berada di posisi ke-12. Sedangkan etape Malunda - Majene berada di peringkat 8. Kekalahan tersebut lebih disebabkan minimnya angin di kedua etape dan kelelahan fisik sebab di etape yang ditempuh selama dua hari itu, ke-53 perahu yang berlomba harus mendayung. Alhasil, sandeq yang berbadan rendah lebih memiliki kecepatan dibandingkan dengan perahu sandeq yang saya tumpangi.

Keberuntungan tidak juga berpihak. Karena itu, di dua etape sebelumnya, perlombaan terasa monoton, tidak ada aksi akrobatik dari para passandeq dan perahunya dalam meniti gelombang. Hambar saja rasanya melalui kedua etape ini. Karena itu, etape Majene - Polewali yang dikenal memiliki angin kencang merupakan tempat favorit bagi para passandeq dan tempat mendokumentasikan lomba yang paling menarik.

Namun tidak semua punggawa sandeq mengizinkan orang lain ikut pada etape ini. Selain dapat mengacaukan konsentrasi akibat terjatuh di laut, mereka juga mengkhawatirkan peralatan dokumentasi yang dibawa akan rusak. “Kalau mau naik, panitia tidak bisa fasilitasi, tanya ke punggawanya langsung,” ujar Iwan. Walaupun mendapat izin, paling tidak orang yang mau ikut sandeq harus berlatih dahulu. Sesi latihan biasanya dilakukan jauh hari sebelum lomba. Beruntung pada sesi latihan, saya berhasil lolos, dan diperbolehkan naik di atas sandeq pada etape Majene - Polewali. Itu pun dengan pinggang dan pergelangan kaki yang terikat rapat supaya tidak terjatuh.

Adrenalin saya sudah terpacu beberapa menit sebelum bunyi letusan pistol mengawali etape Majene - Polewali. Kaki saya kesemutan akibat tali yang begitu kuat mengikat. Berulang kali Kama Muin, dan para sawi lainnya mengingatkan saya untuk berhati-hati. Namun gerakan sandeq yang melakukan gerakan timbang – gerakan akrobatik berdiri di tepi cadik untuk menyeimbangkan laju perahu agar tidak terbalik – lebih menarik untuk saya. Kamera saya terus merekam adegan tersebut. Konsentrasi pun terpecah antara mempertahankan arah kamera dengan keseimbangan tubuh yang terganggu akibat cipratan ombak.

Belum sadar sepenuhnya, tiba-tiba bayangan putih melesat tepat sejengkal dari kepala. Astaga, ujung cadik perahu sandek lawan hampir memecahkan kepala saya dan merobek layar perahu. Keseimbangan jadi terganggu, kamera pun basah terkena ombak. Blank! Punah sudah harapan saya. Kamera yang tidak terbalut lapisan anti-air itu tiba-tiba padam.

Namun satu hal yang menakjubkan, perahu kami memimpin etape ini. Meninggalkan jauh sandeq lainnya di belakang. Para sawi itu seperti gila, berloncatan ke sana kemari meniti cadik yang tipis dengan hanya bergatung pada seutas tali. Inilah adegan mattimbang lima. Adengan yang paling dinanti oleh para pencinta sandeq. Sesekali tubuh mereka di atas cadik berada sekitar 2 meter dari permukaan laut sebelum terhempas kembali ke dalam gulungan ombak. Hidup dan keselamatan mereka sepenuhnya hanya bergantung pada seutas tali itu, dan bertumpu pada kekuatan cengkraman kaki mereka yang kuat pada cadik yang licin. Pemandangan ini begitu mengerikan sekaligus eksotis. Sayang kamera saya telah rusak belaka.

Kami semua diliputi rasa bangga, begitu perahu melaju meninggalkan peserta yang lain. Untuk mencari angin yang lebih kencang, punggawa membelokkan haluan semakin ke tengah lautan. Daratan tampak kian mengecil. Beberapa sandeq di belakang kami rupanya mengambil langkah serupa. Dari jauh, perahu panita dan kapal pengiring kami kelihatan mengecil. Sepertinya mereka kesulitan mengiringi, sehingga lama-kelamaan mereka pun tidak kelihatan lagi.

Selama satu jam perjalanan, sandeq kami masih memimpin. Ujung cadik melayang di atas air. Para sawi sudah melakukan formasi timbang enam, yakni formasi langka yang jarang dilakukan oleh passandeq. Di tengah ketakjuban itu, tiba-tiba terdengar bunyi berderak. Saya tidak sempat berpikir. Para sawi terpental ke laut, sandeq oleng, dan separuh badan saya sudah berada di dalam laut. Ketika menengadah, tampaklah tiang layar yang terbelah dua. Saya pasrah saja, badan terikat dan tiang layar yang patah jatuh dari atas. Beruntung tidak mengenai badan atau mematahkan cadik yang menyeimbangkan perahu.

Sekali lagi saya menyaksikan, para sawi yang terlempar ke laut itu dengan mudah kembali berenang menuju sandeq. Luar biasa! Dengan mengandalkan bekas tiang layar yang ada, punggawa dan para sawi membuat tiang layar baru. Namun arus selat Makassar yang kuat membawa kami terombang-ambing di lautan luas, bukan menuju ke arah Polewali tapi malah mengarah ke perairan Mamuju.

Selepas asar, ketika matahari mulai condong ke barat dan pantai mulai terlihat, satu kapal nelayan melintas. Saya yang sejak tadi sibuk mengingat Tuhan akhirnya bergembira. Ada harapan untuk merapat ke pantai. Sandeq kami pun ditarik ke pantai. Persisnya di pantai kampung Rangas, 8 km dari kota Majene. Belakangan kami tahu, ternyata bukan sandeq kami saja yang mengalami kerusakan. Sedikitnya di pantai Rangas itu ada 6 sandeq yang rusak dan batal mengikuti etape Majene - Polewali. Meminjam hand phone seorang penduduk, saya mengabarkan kejadian itu ke Iwan. Tidak lama menunggu, panggilan darurat ini pun bersambut.

Sebelumnya, Iwan hanya bisa tercekat. Sebab, dari jauh ia menyaksikan perahu sandeq Bintang Sejarah yang melaju tiba-tiba berhenti di tengah laut. Namun ia tidak bisa berbuat banyak, kapal motor panitia yang ditumpanginya tidak berani menempuh resiko untuk lebih ke tengah laut. Namun ia sepenuhnya percaya, para awak Bintang Sejarah bukan peserta lomba biasa. Mereka adalah nelayan tangguh yang bertanggung jawab dan terbiasa dengan ancaman seperti itu. Sehingga walapun sedikit berat, ia terpaksa melanjutkan perjalanan menyusuri tepi pantai Majene menuju Polewali.

Sementara di perahu logistik, Saiful sedikit cemas. Sejak tadi kamera PD sudah menggelatak di sampingnya. Dari kejauhan ia tidak melihat lagi tangan saya mengacungkan camera coder. Ketika perahu sandeq terhenti tiba-tiba di lautan, ia bertambah khawatir. Karena itu Miming berusaha mendekati Bintang Sejarah, ia khawatir walaupun para sawi dan punggawa telah berjanji untuk menjaga “orang lain yang terikat” agar tidak terjatuh. Namun sandeq yang terhenti di tengah laut secara tiba-tiba itu membuat dirinya cemas. Ombak terlalu besar untuk dilalui apalagi salah satu mesin kapal mati. Saiful dan Miming hanya bisa pasrah. Sementara itu, kapal panitia sudah tidak terlihat lagi.

Pukul 4 sore, hand phone Iwan berbunyi, satu SMS dengan kode CM masuk. Itulah panggilan darurat dari saya. Ia segera menghubungi kembali nomor tersebut. Mendadak wajahnya berseri. Iwan bilang, “Ya tunggu saja di Rangas, panitia akan menjemput di situ. Berapa sandeq yang merapat di situ?” Ia kedengaran sedikit bersemangat. Mungkin ia semakin yakin, orang Mandar memang orang laut. Entahlah.[ASFRIYANTO]


Suku Talang Mamak, Hidup Miskin di Tengah Alam nan Kaya


Kamilah mamak (paman) dari semua suku sejak dari hulu Kuantan sampai hulu Gangsal,” ujar Pak Katak dengan dialek Melayu yang kental. Selain sebagai kemantan atau dukun utama suku Talang Mamak, ia juga merupakan Batin atau kepala suku di pedalaman kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Provinsi Riau.

Kuantan dan Gangsal sendiri adalah dua sungai purba yang masih mengalir sampai sekarang di Riau. Peran penting sungai ini pada masa lalu ditunjukkan dengan banyaknya reruntuhan situs masa Hindu-Budha seperti candi dan petilasan-petilasan purba yang tersebar di sisi kiri dan kanan tebing sungai. Cerita tutur masyarakat Talang Mamak dan suku-suku penghuni kawasan pedalaman Jambi dan Riau percaya bahwa dua sungai ini merupakan titik tolak peradaban mereka yang paling purba.

Namun saat ini kawasan kehidupan suku Talang Mamak telah jauh meningalkan dua sungai tersebut. Akibat perkembangan zaman, perlahan mereka terdesak jauh dan lebih ke pedalaman lagi menuju jantung pulau Sumatera yang saat inipun mulai tergusur oleh para pemegang izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan perkebunan kelapa sawit. Praktis di tengah pergulatan itu, sisa-sisa suku Talang Mamak saat ini hanya ditemukan di sekitar kawasan Taman Nasioanal Bukit Tiga Puluh saja. Hanya sedikit yang mau bermukim kembali di bibir sungai Gangsal, muasal kehidupan nenek moyang mereka.

Mengunjungi Pak Katak di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh merupakan perjalanan yang melelahkan. Izin harus diperoleh dari pengelola kawasan Taman Nasional di kota Rengat, ibukota kabupaten Inderagiri Hulu. Tanpa izin dari mereka, mustahil bisa memasuki kawasan ini dengan aman. Hal itu disebabkan, masih banyaknya binatang buas semisal harimau Sumatera yang lapar dan ancaman dari para pembalak liar yang akan sangat mungkin ditemui ketika memasuki kawasan itu.

Beredar cerita di kalangan para pendaki, para pembalak di kawasan tersebut tidak segan-segan membunuh orang asing yang memasuki kawasan hutan apalagi jika diketahui membawa kamera. Konon mereka, para pembalak itu juga mempersenjatai diri dengan senjata api. Karena itu, permohonan izin dari kantor taman nasional Bukti Tiga Puluh sekaligus juga berarti meminta pengawalan bersenjata untuk memasuki kawasan tersebut.

Dengan jagawana bersenjata, saya beserta rombongan dari mahasiswa jurusan sosiologi Universitas Riau memasuki kawasan tersebut dengan menggunakan mobil bergardan ganda.

Melewati jalanan bekas HPH dan perkebunan sawit merupakan pengalaman yang baru bagi saya. Walaupun dengan resiko, badan terasa nyeri terhempas kiri kanan ke lantai mobil pick up yang 100 persen besi itu, tapi saya senang, sebab kali ini saya terhindar dari berjalan kaki. Namun bayangan saya salah, bekas jalan HPH ternyata kerap mengundang longsor sehingga perjalanan dengan mobil, tidak lebih cepat jika dibandingkan dengan berjalan kaki.

Apalagi terkadang rombongan harus bersedia turun dari mobil, sekadar untuk mendorong ban mobil yang terjebak ke dalam lumpur atau untuk meringankan beban mobil ketika menyeberangi sungai kering ketika harus lewat titian kayu.

Mahasiswa sosiologi itu bercerita, pembalakan sangat marak terjadi di kawasan Bukit Tiga Puluh ketika reformasi bergulir. Dengan alasan kebebasan, perkebunan sawit milik putri mantan orang nomor satu di Indonesia dikapling-kapling, dan hutan pun dibabat. Semua itu dengan alasan reformasi yang disalahtafsirkan oleh masyarakat. Sehingga, bayangan akan lokasi suku Talang Mamak di hutan yang rimbun menjadi sirna dalam sekejap.

Namun dari bisik-bisik mahasiswa sosiologi di atas mobil, upaya pengawalan dari pihak jagawana pada dasarnya untuk mengawasi kami untuk tidak mengambil gambar di sembarang lokasi dan memastikan bahwa kami memang berfokus untuk menuju kawasan suku Talang Mamak saja. Karena itu saya menjadi paham, berulang kali beberapa dari petugas itu kerap mendelik atau mendengus ketika kamera mengarah ke tumpukan kayu dipinggir jalan yang kelihatan masih baru itu.

Setelah bersusah payah seharian, perjalanan kami terhenti. Tebangan kayu melintang di jalanan. Dari bekasnya, sepertinya pepohonan itu sengaja ditebang untuk menghalangi perjalanan dan itu merupakan tebangan yang baru berlangsung sekitar seminggu yang lalu. Panjang tebangan yang melintang jalan itu sekitar tiga kilometer.

Karena itu, berjalan kaki adalah alternatif satu-satunya untuk melanjutkan perjalanan menuju kampung Datai, kampung suku Talang Mamak yang masih berjarak sekitar 30 km. Dapat di tebak, setelah meninggalkan seorang jagawana yang tidak bersenjata, para jagawana lainnya kembali ke Rengat.

Bekas-bekas pembalakan menyisakan akibat yang luar biasa, walaupun pada peta rupa bumi yang saya pegang menunjukkan banyaknya sungai dikawasan ini, namun puluhan sungai-sungai dalam kawasan taman nasional saat ini telah mengering mengering. Ilalang telah menggantikan rimbunnya pepohonan, sehingga sinar matahari di kawasan yang persis tepat di jalur garis khatulsitiwa itu semakin terik saja.

Walhasil, walaupun jaraknya relatif tidak terlalu jauh, dan medannya relatif rata dibandingkan dengan kawasan Sulawesi, sisa perjalanan itu sungguh sangat berat untuk dilewati. Karena itu, dengan terpaksa, beberapa ransel atau bawaan lainnya ditinggalkan di tengah hutan, dengan harapan sesampainya esok di kampung Datai, sebagian orang Talang Mamak bersedia menjemputnya.

Malam, kami akhirnya sampai di kampung Datai. Letih dengan perjalanan seharian menyebabkan pertemuan dengan Pak Katak jadi terasa hambar. Walau demikian, saya masih menyempatkan diri menerima suguhan sirih dengan pinang muda yang di tawarkannya. Rumah Pak Katak yang kami tempati malam ini, merupakan bekas gereja yang dibangun oleh misionaris yang pernah berusaha menyebarkan injil ke dalam kawasan ini lima tahun yang lalu.

Karena itu, saya menjadi paham, di tengah hutan dengan akses yang jauh dari keramaian kota, rumah Pak Katak beratap seng, demikian juga dengan beberapa rumah lainnya. “Dia masok ke sini bao agamo, tapi awak di sini dak mau, kalau dah baagamo bukan lagi Talang Mamak tapi Melayu,” ujarnya. “Kalau ba agamo dak boleh tinggal, harus pegi dari kampong,” lanjutnya.

Walapun demikian, banyak juga orang Talang Mamak yang memeluk agama Kristen, tetapi tidak menjalankan ibadah seperti penganut agama Kristiani lainnya. Sebagian dari orang Talang Mamak, juga telah menganut agama Islam. Dengan agama yang satu ini, setidaknya hubungan sejarahnya lebih intim, sebab Kesultanan Rengat masa silam dan sampai sekarang masih merupakan tempat patron mereka dalam ritus.

Jadi, walapun sistem kesultanan sudah di hapuskan dalam negara kesatuan RI, mereka masih kerap membawa sesajian ke pinggir sungai Kuantan atau Inderagiri itu, dimana bekas lokasi istana Sultan Rengat masa lalu masih dingat oleh mereka. Bahkan Pak Katak sendiri, cukup awam dengan nama Nabi Muhammad, walapun dengan nama yang satu ini, bagi dirinya sudah dibalut dengan sinkritisme ritus dan mitos.

Tapi setidaknya, pengaruh ajaran Islam pernah cukup kuat di kawasan ini. Walaupun tidak semua warga memiliki KTP, namun jangan sesekali Anda meminta mereka untuk memperlihatkannya, sebab anda akan kaget dengan ulah pamong kita! Jangan kaget, entah diperoleh dari mana, yang jelas di KTP milik seorang warga yang bernama Cak Wing, tertulis : beragama Hindu!

Jauh dari hiruk pikik kota, orang Talak Mamak tetap saja belum tersentuh pembangunan. Bangunan sekolah berdinding bambu, telah rubuh 10 tahun yang lalu. Upaya pendidikan bagi anak-anak warga suku Talang Mamak justru diberikan oleh para pendatang semisal oleh Misionaris, LSM atau oleh mahasiswa yang berkunjung ke kawasan ini.

Awalnya, kegiatan pengajaran ini dipicu karena seringnya warga suku Talang Mamak ditipu ketika menjual karet atau getah jernang di pasar. Sejak saat itu, Pak Katak kerap meminta setiap LSM, Misionaris atau mahasiswa yang datang berkunjung ke Datai untuk mengajar masyarakat sekedar mengenali uang atau berhitung agar tidak ditipu ketika menjual hasil kebun mereka.

Jauh dari akses kota juga menyebabkan pemerintah dan dinas kesehatan terlambat untuk mengetahui, bahwa setahun yang lalu, wabah cacar telah membunuh lebih dari separuh anak-anak di kawasan ini, salah satunya adalah anak Pak Katak. Memang untuk menuju kampung Datai memiliki dua jalur alternatif, selain jalan darat tadi ada jalur sungai, yakni dengan menghulu sungai Gangsal. Melalui jalur sungai, menuju kampung Datai dari desa terdekat berjarak dua hari menghulu dengan rakit. Karena itu, dapat dimaklumi, petugas pemerintah mana yang berani mengambil resiko mempertaruhkan gaji untuk menghulu sungai Gangsal yang deras itu.

Terlebih lagi, hujan di hulu sepuluh tahun terakhir ini sulit diprediksi. Sebab hutan telah gundul. Karena itu, jika hujan sedikit saja di hulu, maka banjir besar di muara. Itu resikonya!

***
Ketika keesokan harinya, setelah mengitari kampung Datai bersama Pak Katak, suasana sepi begitu terasa. Para lelaki dan perempuan sedang sibuk mencari jernang, komoditi hutan yang berharga mahal, mirip dengan gaharu. Ada aura kemiskinan dari jejeran rumah di kampung itu pasca menipisnya hutan di sekitar kawasan adat Talang Mamak.

Mungkin ada benarnya juga, dalam satu kumpulan makalah konferensi masyarakat adat yang di adakan oleh salah satu LSM,yang bukunya ada ditangan saya, tertulis : Seringkali ketika suaka margasatwa atau taman nasional dibangun, pemerintah lebih memperhatikan satwa dan floranya dibandingkan dengan manusia yang menghuninya. Dan itu benar! Mereka, suku Talang Mamak di taman nasional itu bernasib serupa, padahal mereka bermukim di salah satu propinsi paling kaya di Indonesia.

Sementara itu, di tengah kebun kosong, para mahasiswa sosiologi Universitas Riau sedang mengadakan kelas darurat membaca dan berhitung bagi anak-anak suku Talang Mamak.

Saya dan Pak Katak kemudian ikut pula bergabung. Kelas darurat itu begitu interaktif, komunikasi dengan dialek Melayu antara mahasiswa itu dengan anak-anak Talang Mamak dan para orang tuanya begitu mengasyikkan.

Namun di tengah kegembiraan itu, tiba-tiba saya menjadi terbahak keras, di ujung pertanyaan yang dilontarkan oleh para mahasiswa itu ”Siapo yang tau namo presiden Indonesia sekarang?” warga suku Talang Mamak itu hanya melongo. Ya, melongo! Tak ada jawaban![ASFRIYANTO]

Oktober 14, 2009

KISAH SEORANG BISSU YANG TERTUSUK KERIS SENDIRI


Malam itu, di tengah upacara mabbissu, tiba-tiba wajah Puang Matoa Bissu Saidi tercekat dan berpeluh. Ia meringis, sembari tangan kirinya mencoba menjangkau tiang tengah rumah. Tangannya yang satu lagi masih memegang hulu keris yang ujungnya menembus perut tetua bissu ini. Bissu yang lain tampak terkejut. Puang Matoa dengan keris masih menghunjam tubuhnya, kemudian berbalik, masuk ke dalam kamar arajang (altar).

Setelah sekian lama, ia keluar lagi. Keris itu masih tetap tertancap. Ketika Puang Matoa mencabutnya dengan sedikit memaksa, menyemburatlah cairan merah membasahi baju bissu keemasannya. Darah segar sepanjang kira-kira 7 cm itu menggumpal di ujung keris, dan segera dijilati oleh Puang Matoa. “Kejadian ini sering dialami oleh Puang Matoa, kalau syarat dalam melakukan upacara Mabbissu tidak lengkap,” ujar Amrullah, aktivitis LSM yang selama ini peduli masalah Bissu.

Dua jam sebelum peristiwa tersebut, di atas rumahnya yang tidak jauh dari Pasar Sentral Pangkep, Puang Saidi dengan pakaian putih-putih sibuk mengatur segala peralatan upacara dan sesajian yang akan dilakukakanya malam itu. Handphone bermerek yang dimilikinya selalu berbunyi. Dari pembicaraan yang terdengar, tampaknya ia sedikit marah. Ia bahkan mengancam seorang bissu di ujung telepon, agar segera datang. Bissu yang diteleponnya itu diperlukan kedatangannya untuk melengkapi syarat minimal jumlah bissu, agar upacara yang akan diadakan sebentar lagi bisa dimulai.

Sementara itu, Muharram, bissu termuda yang baru berusia 17 tahun tampak kecut di sudut ruangan. Ia lupa memakai tutup kepala dan masih berpakaian perempuan. Jemari tangannya bergetar saat menyusun tumpukan ketan tiga warna. Beberapa kali Puang Saidi memukul tangan Muharram ketika ia salah menyusun tumpukan ketan tersebut. Masse, bissu tertua yang ada di dalam ruangan tersebut, juga tampak tegang. Sesekali ia melongok ke luar jendela, berharap satu orang bissu yang sejak tadi ditunggu segera datang untuk meredakan kemarahan Puang Saidi. Namun yang ditunggu tidak juga muncul. Maka jadilah malam itu upacara mabbisu yang telah dijanjikannya tetap dilanjutkan, meski jauh dari syarat minimal.

Tidak seperti biasa, mereka tampak tegang. Kami para tamu yang tidak tahu menahu tentang soal itu malah duduk dengan tenang dan nyaman.

Lima belas menit pertama, Puang Saidi dan tiga orang bissu dengan pakaian berwarna keemasan dengan bilah-bilah keris panjang menari memutari sesajian di tengah ruangan. Alunan mantra mitis yang menggunakan bahasa To Rilangi – sejenis bahasa kuno Bugis yang hanya dimengerti oleh komunitas Bissu dalam memimpin upacara sakral – mengalun ditingkahi gendang. Ketika alunan gendang semakin keras dan cepat, gerakan para bissu tersebut semakin melambat. Terlihat jelas mereka mulai trance.

Muharram, sang bissu muda, kemudian mulai membuka gerakan maggiri yang pertama. Keris panjang yang terselip di pinggangnya dilepaskannya, dengan gerakan pelan mengikuti irama gendang. Keris tersebut ditancapkannya ke telapak tangannya. Walau ditekan berkali-kali dengan keras, keris itu tidak juga bisa merobek telapak tangannya. Bahkan ketika ia dibaringkan di tengah ruangan dan Puang Saidi kemudian menancapkan keris ke tenggorakannya, tak sedikit pun kulit leher Muharram tergores. Kuatnya tekanan keris Puang Saidi ke leher Muharram ditunjukkan dengan bunyi berderak pada tiang sandaran. Seketika saya bergidik. Para Bissu yang dalam kesehariannya feminim itu, tiba-tiba malam itu tampak gagah, jauh dari kesan lemah-lembut yang lekat dengan kehidupan kesehariannya.

Di tengah ruangan, upacara mabbissu semakin liar. Para bissu muda kemudian menyingkir ke sudut ruangan, menjaga dupa agar terus menyala. Tepat ketika harum cendana semakin menguat, Puang Saidi melangkah ke depan. “Adengan ini hanya untuk bissu yang sudah senior. Yang muda belum diizinkan untuk melakukannya,” ujar Amrullah menjelaskan.

Bersama dengan Puang Saidi, Masse ikut berputar-putar. Ia tampak gagah. Ia meletakkan keris ke lantai rumah, dengan ujung keris yang menghunus ke atas. Lalu Masse menjatuhkan dirinya ke ujung keris itu. Alas kayu yang dijadikan tumpuan kerisnya berderak patah. Gerakan ini ia lakukan berulang-ulang. Bahkan beberapa kali ia menjatuhkan dirinya dengan sangat keras.

Keramaian bertambah ketika dengan keris terhunus, Puang Saidi menggorok lehernya sendiri. Ia lalu menyandarkan ujung keris tersebut ke tiang rumah, dan menekan-nekankan keris tersebut ke lehernya. Bunyi gendang semakin kuat. Puang Matoa Saidi melenguh, ia kemudian menancapkan keris panjangnya ke bagian perut. Ia menghentakkannya ke lantai, dan seketika bambu yang menjadi alas kersinya patah. Ia semakin liar. Namun, ketika ia bangkit dan menghujamkan kembali keris ke perutnya, matanya mendelik. Masse dan Muharram di sudut ruangan memucat wajahnya. Puang Saidi sempoyongan, dengan langkah tertatih ia berbalik ke dalam ruangan. Bunyi gendang terhenti. Kami tersenyum puas dan bertepuk tangan. Namun, sekembali dari ruangan, Puang Saidi ternyata masih memegang hulu keris yang masih menghujam ke perutnya, berkali-kali jempol tangan yang telah diludahinya diusapkan ke bagian perut. Kami tercekat, perut Puang Saidi berdarah. Terlihat darah segar!

Satu minggu sebelum perisitiwa tersebut, kami telah melakukan survey kecil-kecilan tentang bissu dan tradisinya di Kabupaten Pangkep. Kami memilih komunitas bissu di daerah itu sebab keberadaannya sebagai salah satu kelompok bissu di Sulawesi Selatan cukup kuat. Kelompok bissu di Pangkep merupakan kelompok Bissu Dewata, yang secara hierarkis merupakan kelompok bissu dengan tugas religius yang penting. Kelompok bissu yang lain tersebar di Kabupaten Soppeng, Wajo dan Bone. Komunitas bissu di Soppeng dikenal dengan nama Bissu Pattudang, di Wajo disebut Bissu Paddupa, sedangkan di Bone disebut dengan Bissu Mappakasengeng. Nah pimpinan dari semua kelompok bissu tersebut bergelar Puang Matoa, yang saat ini dipimpin oleh Puang Matoa Saidi dari kelompok Bissu Dewata, Segeri, Pangkep.

Catatan arkeologis menguatkan bahwa komunitas bissu memiliki fungsi yang cukup penting dalam struktur kerajaan di Sulawesi Selatan pada masa lalu. Sisa-sisa makam bissu dan sumur bissu di berbagai daerah, semisal di Bulukumba, Sindenreng, Bantaeng dan Luwu, masih bisa ditemukan walaupun komunitas di daerah itu sudah tidak lagi mengenal bissu dan tradisinya. Hal itu terkait dengan penghancuran bissu beserta simbol-simbolnya oleh gerakan DI/TII.

Walaupun diberangus, bissu-bissu tua dalam penyamaran dan pelariannya tetap mempraktekkan “kebissuannya” secara diam-diam dan tetap melakukan proses pengkaderan. Puang Saidi misalnya, merasakan pengalaman terusir dari rumah dan lari berpindah-pindah dari Pangkep, Soppeng dan Bone. Ia menjadi bissu ketika berumur 25 tahun, tepatnya tahun 1974. Ia dididik oleh Sanro Saide (alm), seorang Puang Matoa Bissu yang tersisa. Dalam kehidupannya, ia mengalami operasi pemberantasan "penyakit masyarakat" oleh salah satu instansi dengan sandi “operasi tobat”. Namun ia berhasil lolos dari peristiwa tersebut.

Bissu mulai terlupakan oleh publiknya sendiri justru di tanah kelahirannya. Namun lewat catatan para peneliti asing, mulai zaman Mathes pada abad 19, sampai pada masa Pelras, Andaya, Gilbert Hamonic serta banyak peneliti lainnya, bissu mulai dikenal kembali. Ketertarikan mereka disebabkan karena bissu merupakan jejak dari agama-agama orang Bugis kuno yang bersumber dari ajaran La Galigo. Karena itu, sampai saat ini, bissu seperti Puang Saidi paling tidak mengenal tiga varian bahasa Bugis kuno, yakni bahasa To Rilangi (bahasa Bugis sakral untuk dewa), bahasa La Galigo (bahasa Bugis kuno) dan bahasa Bugis yang awam seperti saat ini.

Uniknya, walaupun dari banyak sumber peneliti menyebut mereka sebagai kelanjutan agama kuno orang Bugis jauh sebelum agama Islam dikenal, namun Puang Saidi akan sangat marah jika disebutkan bahwa upacara mabbisu merupakan bagian dari musyrik. Bahkan ketika ia mencoba menjelaskan makna cermin, ia mempersamakannya dengan istilah Nur Muhammad yang kerap digunakan oleh para sufi Islam. “Itu merupakan sinkritisme antara ajaran leluhur dan agama Islam di Sulawesi Selatan. Sekaligus membuktikan bahwa Islam ketika kali pertama datang telah merupakan bagian dari adat, simbolisasi betapa adat dan agama melebur menjadi satu yang kemudian menjadi bagian dari kebudayaan di Sulawesi Selatan,” jelas Halilintar Latief, salah satu pakar Bissu.

Lewat Halilintar pula, pada tahun 1997, LSM lokal yang kelak bernama Latar Nusa memediasi bissu untuk pentas pertama kali di hadapan publik di Bali. Sejak saat itu, perlahan bissu mulai dikenal kembali dan mendapat tempat yang terhormat dalam masyarakat. Bahkan saat ini, Puang Matoa Saidi adalah bagian dari pementasan teater La Galigo untuk pentas keliling di panggung-panggung teater terkenal di dunia.

Uang hasil pentas keliling dunia yang diterima Puang Matoa Saidi itu kemudian dipergunakannya untuk melengkapi peralatan-peralatan dan untuk membiayai upacara-upacara bissu. Misalnya, acara mapparebba, upacara untuk pelantikan seseorang menjadi bissu. ”Saya sendiri tidak pernah diparebba oleh guru saya. Masse juga tidak pernah. Hanya Muharram. Uangnnya dari pentas La Galigo,” ujar Puang Saidi. Menurut tradisinya, seorang bissu harus memiliki seorang kader yang dididik secara khusus. Upacara mapparebba untuk Muharram, sang murid, berlangsung selama setengah bulan dengan biaya sekitar Rp50 juta, dilakukan pada tahun 2001 yang lalu.

“Dulu ketika masih zaman kerajaan, bissu punya tanah sendiri yang diberikan oleh kerajaan. Dari hasil tanah tersebutlah bissu mendapat nafkah. Namun saat ini, tanah tersebut sudah tidak ada,” jelas Amrullah. Menghilangnya sumber penghasilan menyebabkan bissu mencari alternatif lain. Seiring dengan meningkatnya persepsi masyarakat saat ini terhadap kelompok bissu, berangsur-angsur taraf kehidupan mereka mulai terangkat. “Tidak sempurna kalau ada pengantin, bukan bissu yang meriasnya,” ujar Muharram yang juga dikenal dengan nama Hasnah. Penghasilan sebagai indo botting (perias pegantin) biasanya digunakan membiayai upacara bissu yang penting.

Selain itu, kelompok bissu yang dipimpin oleh Puang Matoa Bissu juga sedikit demi sedikit mulai membuka beberapa upacara bissu yang dulunya sakral. Syaratnya, yang mengundang harus membiayai persyaratan-persyaratan upacara yang cukup besar serta sekadar uang honor yang sifatnya sukarela bagi yang berminat untuk menonton atraksi bissu tersebut.

Itulah juga yang kami lakukan ketika menyaksikan adegan terlukanya Puang Saidi. Sehabis menonton pertunjukan itu, saya tidaklah menganggap uang biaya upacara sebagai sesuatu yang mahal. Risiko yang dihadapi para bissu ini amatlah besar, sebagaimana terjadi pada Puang Saidi. Mungkin dengan alasan itu pula, dalam setiap pementasan teater La Galigo yang diikutinya itu, konon Puang Saidi terpaksa harus merelakan dirinya mengucurkan darah. Dan itu selalu terjadi, karena syaratnya tidak lengkap!

“Itulah, Nak, kalau sudah berjanji. Saya sudah tahu pasti akan begini,” kata Puang Saidi sambil sesekali meraba bekas tusukan di perutnya. “Tapi mau diapa, ini sudah janji saya kepada kita, ya risikonya harus saya tanggung sendiri”.[ASFRIYANTO]

TUNGUNAGA DAN KEJUTAN SHALAT JUMAT DI BUTON


Namanya Halifu, sudah sepuluh tahun ia bertugas menjadi tunggunaga atau penjaga mesjid yang salah satu tugasnya adalah pemukul beduk di mesjid keraton Kesultanan Buton. Ia mulai mengabdikan dirinya sbegai tunggunaga setelah ia memasuki masa pensiun sebagai PNS di lingkup pemerintahan Kabupaten Buton. Diusianya yang ke-66 ini, ia tidak banyak berharap “Ya, kewajiban untuk menjadi tunggunaga di mesjid keraton ini turun temurun, sayang saya baru bisa memenuhinya ketika saya pensiun” ujarnya.

Jumat masih pagi ketika Halifu saya temui di pelataran mesjid keraton Buton. Sehari sebelumnya ia telah berjanji akan memperkenalkan kepada saya tentang sudut-sudt mesjid dan makna simbolik dari arsitektur mesjid tua itu. Sambil berkeliling ia menyebutkan ”anak tangga mesjid yang jumlahnya sembilan belas itu melambangkan 17 rakaat dalam salat wajib dan 2 rakaat salat sunat” jelasnya. “Sedangkan 12 pintu mesjid melambangkan 12 lubang pada tubuh manusia” lanjutnya lagi. Puas menerima penjelasan mengenai bentuk fisik mesjid yang sedikit berbau mistik tersebut, saya sedikit percaya, simbolisasi tubuh manusia, mulai rusuk dan simbol kemaluan laki-laki yang terdapat dalam mesjid itu, dalam pemahaman etnografis adalah bukti nyata bagaimana agama Islam kali pertama datang di satu daerah lebih pada akulturasi yang sangat intim dengan kebudayaan-kebudayaan lokal.

Pertemuan saya dengan Halifu semakin mengasikkan, Beberapa orang perangkat mesjid dari syara hukumu Kesultanan Buton mulai berdatangan ke mesjid. Peristiwa seperti ini tidak akan kita temukan, selain pada hari Jumat. Di antara kaum lelaki yang hendak salat Jumat di tempat tersebut, para perangkat syara hukumu itu sangat mencolok, yang dapat dikenali karena jubah putih mereka yang panjang, sorban melilit di kepala, seuntai tasbih berbulir besar dan sebatang tongkat kebesaran yang tidak pernah terlepas dari tangan. Melihat kedatangan mereka, Hafilu pun bergegas menyambut mereka di ujung tangga, dan itu berarti selesai jumatan Hafilu baru bisa saya temui lagi.

Tepat pukul sepuluh, seuntai kain panjang putih disusun Hafilu bersama tunggunaga yang lain, telah menghampar dari ujung mihrab ke pintu utama mesjid. Konon itulah jalan menuju Arsy Tuhan yang akan dilalui oleh sang iman mesjid. Di ujung kain putih itu mihrab telah pula dihiasi dengan kain-kain bernuansa putih. Sementara itu, salah seorang tunggunaga yang lain bergegas menabuh gendang besar. ”Tradisi Islam di Buton begitu. Beduk hanya dipukul tiga kali. Beduk itu bukan untuk tanda salat tapi tanda peralihan tiga waktu,” ujar Ansari, seorang tokoh masyarakat menjelaskan. Walaupun masih pukul 10 pagi, Halifu dan ketiga orang temannya lantas bersimpuh di depan pintu mesjid bersiap-siap menyambut kaum lelaki yang hendak salat Jumat di mesjid tersebut.

Secara arsitektural, bentuk mesjid ini tidak banyak berbeda dengan bangunan mesjid kuno lainnya yang ada di Sulawesi Selatan, Atapnya berbentuk limas dengan dua atau tiga tingkatan, dibangun diatas ketinggian, dan tentu saja selalu dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistik dan keramat. Mesjid Keraton Buton sendiri juga memilki pola-pola yang serupa, bedanya hanya, ritual salat Jumat yang menggambarkan perpaduan antara ajaran-ajaran lokal dengan agama Islam lebih mencolok di tempat ini. Misalnya, sebelum salat Jumat tidak dikenal adanya azan pertama seperti yang biasa kita temukan di mesjid-mesjid lain. Hal unik lainnya, jika di mesjid lain yang mengumandangkan azan hanya seorang saja, maka kumandang azan di mesjid ini dilakukan oleh empat orang sekaligus, dengan irama yang tentu saja berbeda satu sama lainnya.

Salat Jumat di Buton memiliki sejarah yang cukup panjang. Hal ini berkaitan dengan masuknya tradisi Islam dan tasawauf ke daerah ini sekitar lima abad yang lalu oleh seorang ulama yang dipercaya datang dari negeri arab yang bernama Syekh Abdul Wahid. Karena itu, orang Buton percaya, bahwa jauh sebelum kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi, Kerajaan Buton telah menjadikan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Menariknya, dari jejak naskah kuno beraksara Jawi (Arab Melayu) yang berbahasa Buton dan Melayu, kitab-kitab kuno tasawuf semisal Hamzah Fanusuri dan berbagai risalah tasawuf dari dunia melayu banyak ditemukan di daerah ini. Karena itu, orang juga beranggapan tradisi Islam di Buton mendapat pengaruh dari Aceh atau Johor. Namun terlepas dari perdebatan tersebut bagi Mujazy (68), yang selama ini dipercaya menyimpan kepustakaan Kesultanan Buton menyebutkan ”Itu berasal dari salinan tangan Sultan Dayanu Ikhsanuddin”.

Melengkapi kejayaan Kesultanan Buton, bukti arkeologis menunjukkan bahwa tata kota ini dulunya dibangun dengan pertimbangan yang cukup matang. Hampir seluruh kawasan ibukota kerajaan dikelilingi oleh benteng yang kukuh. Apalagi setelah ekspansi kerajaan Gowa terhadap kerajaan ini semakin kuat pasca pelarian Arung Palakka ke Buton pada pada abad ke-17. Sepanjang pantai timur dan barat pulau Buton, juga di gugusan kepulauan Wakatobi, benteng-benteng Kerajaan Buton pada masa lalu betebaran. Selain untuk mempertahankan diri dari serangan kerajaan Gowa, hal itu juga untuk menghambat ekspedisi militer kerajaan Ternate. Di kota Bau-bau, wilayah pemekaran dari Kabupaten Buton, paling tidak tecatat 45 benteng batu, baik yang masih utuh maupun yang tinggal bagian pondasi saja. Bahkan kota itupun sebenarnya di bangun di atas reruntuhan bangunan benteng Buton tersebut. Di sudut-sudut kota, kita dengan mudah mendapatkan sepotong meriam besar lengkap dengan pelurunya tergeletak begitu saja, tidak terawat.

Tepat pukul 12 siang. Dikawal oleh Halifu, sang imam memasuki pintu mesjid dan melangkah di atas bentangan kain putih dan langsung menuju tempatnya di bagian terdepan mesjid. Di bagian ini, ditutupi oleh sejadah yang berwarna putih, konon disitulah terletak pusar bumi, penghubung antara dunia langit dan dunia bawah. Karena itu, posisi imam menjadi sangat penting dalam struktur Kesultanan Buton. Imam tidak hanya pemimpin spritual tetapi juga pelindung negeri. Atau bagi orang Buton, seorang Imam adalah Sultan batin, penjaga dunia gaib. Karenanya, selain dipenuhi nuansa mitis dan sakral, pemilihan seoarang imam mesjid juga didasarakan pada pengetahuannya yang cukup dalam tentang aspek syariat, hakikat dan makrifat dalam tradisi sufistik Islam. Tetapi, walapun mendekati status sosial yang tinggi, imam mesjid dapat dipecat karena alasan-alasan yang sepele saja, semisal lupa membawa tasbih, atau hanya kesalahan dalam memegang tongkat.

Shaf terdepan dalam Jumat kali ini diisi oleh syara hukumu Kesulatanan Buton dengan jubah-jubah putihnya dan beberapa orang berbaju batik. Walaupun tidak di posisi terdepan, saya cukup nyaman berhasil mengikuto salat dari lantai dua di sudut kiri. Dari situ saya dapat melihat seluruh jemaah Jumat di lantai dasar dengan leluasa, kaum lelaki yang terlambat berusah untuk masuk ke dalam mesjid, suasana agak kacau sedikit. Halifu saya lihat masih saja duduk di muka pintu, berdesakan Suasana itu berubah ketika imam mulai memimpin salat. Alunan suaranya yang berat membangun suanana mistis. Suaranya menggema terpantul di dinding dan pengaruh tiupan angin dari sela-sela ventilasi mungkin sengaja dirancang untuk untuk menimbulkan efek gema tersebut. Sehingga bagi saya, salat Jumat ini terasa berbeda. “Dulu ketika lantai mesjid belum di tegel, desah suara imam bisa terdengar, bahkan dulu gema bunyi beduk mesjid bisa terdengar sampi ke pulau Kabaena.” Demikian Halifu menjelaskan seusai selesai shalat Jummat.

Ketika saya hendak beranjak pulang, Halifu kembali ke dalam mesjid. Seperti biasa, setiap Jumat di mesjid keraton ini, para syara hukumu yang berjumlah 20 orang itu dan imam mesjid akan mengadakan ritual tolak bala. Prosesi itu diadakan tepat di tengah mesjid. Dipimpin oleh imam, mereka melingkar mengelilingi pedupaan dengan asap yang mengepul. Zikir dan puji-pujian kepada Allah menyatu. Saya sangat menikmati pesona mistis itu, namun ada satu yang cukup mengherankan saya: di depan imam, duduk seseorang dengan pakaian batik dan mengenakan peci hitam. Dia terlihat menjabat erat tangan imam, sementara itu syara hukumu yang lain tetap asyik melantunkan puji-pujian. Tidak ada yang aneh sampai prosesi itu berakhir dan saya menyalami mereka semua di pintu keluar mesjid. Namun setelah di halaman mesjid, saya jadi terpana dan terkejut. Lelaki yang berbaju batik tadi dengan peci hitam itu saya hapal sekali. Ya saya telah melihat banyak posternya terpajang di sudut kota Bau-Bau dengan berpakaian seragam angkatan laut, ya dia salah satu calon kandidat gubernur Sulawesi Tenggara untuk tahun 2008!!!. Saya jadi teringat kembali, dia termasuk orang yang juga tadi salat di shaf terdepan, Ia orang penting yang meski datang belakangan, mampu menggeser tempat jemaah lainnya yang datang duluan ke mesjid.[ASFRIYANTO]

N KAPAN PERANCIS, SEJARAH BARU KAMPUNG ARA


Dengan ketelitian tingkat tinggi, berbalut dengan asap kemenyan yang mengepul, sambil berkomatkamit mengucapkan mantra suci, Haji Muslim Baso (65) tampak terampil memangkas potongan kayu besi yang tersisa, dengan bantuan alat pahat. “Orang Perancis yang memesan kapal ini sangat cerewet. Salah satu senti kita bisa dikomplen,” ujarnya sambil mengibaskan peluh di dahinya.

Sudah dua bulan lelaki itu berjibaku mengerjakan pesanan kapal tersebut. Bentuk kapal yang dipesan orang Perancis itu tidak lazim. Dari desain gambar yang diperlihatkan Muslim Baso kepada saya, tampak bentuk kapal itu mirip dengan kapal perang Eropa zaman dahulu, dengan lunas yang tinggi, bentuk haluan yang lebar dan sedikit pepat, serta buritan yang rata dengan air. Selama dua bulan itu pula, Muslim Baso dibantu 20 orang sahi (pekerja), bekerja sedikit demi sedikit mengikuti desain kapal yang didatangkan langsung dari perancis itu , untuk mewujudkan sebuah perahu yang eksotis namun juga sangat kokoh.

Muslim Baso merupakan salah satu punggawa (pemilik modal) sekaligus berperan sebagai panrita lopi atau ahli dalam membuat kapal berbahan kayu. Bukan hanya perahu layar motor (PLM) dan pinisi saja yang bisa dibuatnya, tapi ia juga mampu mengerjakan kapal dengan desain yang disodorkan oleh para pemesan atau yang biasa ia sebut sebagai sambalu.

”Saya sudah mengerjakan sekitar 200 perahu mulai dari tonase 1 ton sampai 1000 ton,” katanya menjelaskan keterlibatannya sejak tahun 1967 sebagai panrita lopi di kawasan pantai Tanah Beru kabupaten Bulukumba, Sulsel. Daerah yang terletak kurang lebih 200 km ke arah selatan Makassar ini, kesohor sebagai sentra pembuatan perahu.

Ia sudah lupa tanggalnya, namun yang pasti ia masih ingat bahwa ia lahir tahun 1952 di kampung Ara, sebuah desa yang terletak sekitar 45 km dari kota Bulukumba. Di kampung Ara itu, ketika Muslim berusia 15 tahun ia sudah dilibatkan oleh orang tuanya untuk membantu pekerjaan membuat perahu pinisi. Lewat ayahnya pula, ia banyak belajar mengenai aturan-aturan adat dan teknis yang berkaitan dengan seluk beluk pembuatan perahu.

”Dulu saya masih ingat, kalau ada yang datang membuat perahu pada ayah saya, mereka cuma bilang saya mau perahu yang bisa menampung 200 pikul beras. Hanya itu. Tidak ada desain kapalnya,” Muslim mengenang masa awal keterlibatannya dalam pembuatan perahu.

Lewat pengalaman-pengalaman itu pula, di galangan kapal sederhana yang disebut bantilang, keinginan pemesan diwujudkan. Hanya dengan naluri alam sebagai pengrajin kapal, ia bersama ayahnya menyusun kepingan-kepingan papan menjadi sebentuk kapal yang diinginkan pembeli. Lama kelamaan, ia mulai dipercaya oleh ayahnya untuk mengerjakan sendiri pembuatan kapal-kapal yang dipesan.

Pada tahun 70-an, ketika bahan baku mulai menyusut di kawasan Bulukumba, seperti para pembuat perahu Ara lainnya, ia kemudian merantau ke Kalimantan dan ke Labuan Bajo, yang merupakan daerah sentra pembuatan perahu kayu tradisonal selain di kawasan Ara dan Tanah Beru. Tiga tahun setelah perantauannya itu, ia kemudian dipanggil pulang ke Ara dan menikah. Menariknya, ia kemudian beralih menjadi pedagang kain Bira dan emas. Pengalaman hidupnya selama diperantauan mengajarkan Muslim bahwa berdagang emas dan kain Bira jauh lebih menguntungkan. Apalagi ketika itu, pesanan perahu kayu mulai digantikan oleh perahu dari bahan fiberglass dan besi. Pilihan itu tidak salah, usaha perdagangannya berkembang dengan pesat sampai saat ini.

Walaupun demikian, ayahnya tidak setuju dengan pilihan hidupnya itu, dan tetap menyarankannya untuk menekuni prosesi sebagai panrita lopi, pertentangan ayah dan anak itu semakin tajam, namun Muslim Baso tetap pada pilihannya, “Sampai saat ini, hasil usaha saya berdagang jauh menguntungkan dibandingkan membuat perahu, apalagi saat ini kayu semakin sulit akibat adanya larangan illegal loging, ” katanya.


Menjual emas, membuka bantilang
Perjalan hidupnya kemudian mengalami titik balik. Tahun 1990-an, kampung Ara mengalami satu fenomena yang menarik. Tiba-tiba saja kaum laki-laki Ara yang selama ini di perantauan, muncul dan berkeliaran di tengah kampung. Ini satu hal yang tidak lazim, sebab biasanya- dan sampai saat ini pun- biasanya hanya kaum perempuan saja yang banyak di tengah kampung, sebab kaum laki-lakinya merantau ke daerah lain bekerja sebagai pembuat perahu.

Muslim tersadar, ia teringat pada pesan ayahnya, dan kehadiran para migran dadakan itu menyadarkannya, bahwa laki-laki Ara, walaupun ahli sebagai pembuat perahu namun hanya bertindak sebagai pekerja (sahi) saja, belum ada orang Ara ketika itu yang bertindak sebagai punggawa yang bisa berperan sebagai pemilik modal untuk mengerjakan perahu. “Saya menjual sebagian emas yang saya miliki, dan mengumpukan mereka, kemudian membuat bantilang kembali. Bagaimana saya tidak sedih, orang Ara dikenal sebagai pembuat perahu tapi sangat susah mendapatkan orang Ara membuat perahu di kampungnya sendiri,” katanya.

Sejak saat itu pula, ia menjadi punggawa perahu sekaligus panrita lopi. Bintang keberuntungan dan ramalan ayahnya terbukti, selain usaha emas dan kainnya, usaha pembuatan kapalnya juga berkembang dengan pesat.

Demi pesanan
Orang Ara percaya, kemampuan mereka membuat perahu lebih karena kedekatan mereka terhadap alam dan sukma laut. Melalui mitos perjalanan Sawerigading, ke tanah Cina orang Ara percaya, bahwa Sawerigading secara tidak langsung telah mengajarkan mereka keahlian membuat perahu melalui kepingan papan kapal Sawerigading yang pecah dalam pelayarannya kembali ke tanah Luwu.

Jika kerangka kapal terdampar di Ara, maka kemudi dan layar kapal Sawerigading yang pecah itu terdampar di Waniaga (nama Bira dahulu), makanya orang-orang Bira ahli dalam berlayar. Terlepas dari mitos tersebut, melalui pelacakan dokumen Belanda, Edward Poelinggomang sejarawan Unhas menyebutkan “Bira adalah nama Sungai Tallo sekarang, Bira dahulu dikenal sebagai sentra pembuat armada perahu kerajaan Gowa, ketika bahan baku semakin sulit, maka pusat pembuatan perahu armada Gowa yang ada di sungai Bira itu kemudian dialihkan ke daerah Waniaga. Lambat laun Waniaga berubah nama menjadi Bira saat ini”.

Terlepas dari fakta sejarah dan mitos tersebut, keahlian para panrita lopi dari Ara sudah terkenal sampai ke mancanegara. “Delapan puluh persen kapal yang saya kerjakan dipesan oleh orang Eropa. Orang-orang kita lebih suka pakai perahu fiberglass,” jelas Muslim.

Rasanya tidak berlebihan penjelasan yang dilontarkan lelaki ini. Buktinya, tahun ini saja, ia sudah menyelesaikan dua kapal motor dan dua kapal pinisi pesanan salah satu LSM luar negeri. Namun ia lantas menambahkan “ Kapal-kapal tradisi semisal padewakang, lambo, palari sudah tidak ada lagi yang membuatnya, pinisi saja jarang dipesan, yang lebih banyak saya buat cuma kapal motor saja.,”

Kapal yang dibuat oleh orang Ara memiliki teknik pembuatan yang tidak lazim dalam seluk beluk teknik perkapalan. Jika pada pembuatan perahu moderen, yang dibuat terlebih dahulu adalah rangka kapal kemudian diberi dinding, maka perahu yang dibuat orang Ara justru kebalikannya. Mereka membuat dinding dahulu, baru kemudian diberi kerangka atau solloro. Namun anehnya ketika proses pengapungan kapal di lautan, desain kapal yang biasanya tanpa gambar dan hanya mengikuti naluri itu, memilki keseimbangan yang luar biasa.

”Perahu kami lebih kuat dan tahan ombak dibandingkan dengan perahu yang dibangun mulai dari rangkanya dulu,” Muslim menjelaskan dengan bangga.

Nah, kapal pesanan orang Perancis yang sedang dikerjakannya itu dibuat dengan cara moderen. Kata Muslim pengerjaannya sangat boros kayu. “Wah, selisih ukuran satu sentimereter langsung dikomplen, makanya banyak kayu yang terbuang.” Namun, karena ini pesanan, ia tidak dapat menolak. Harga perahu ini Rp1,5 miliar dan kata Muslim telah menghabiskan bahan baku senilai Rp500 juta. Pembuatan perahu cara moderen seperti itu baru pertama kali dilakukan di Tanah Beru. Dari sekian banyak panrita lopi yang ada di Tanah Beru, Muslim merupakan orang pertama yang diberi kepecayaan untuk membuatnya.

Kapal kayu pesanan orang Perancis yang dibuat di galangan kapal sederhana milik Muslim itu, tidak lama lagi akan menghias salah satu museum bahari di kota Paris.

Sambil menikmati kelapa muda yang disodokan ahli perahu itu kepada saya, khayalan saya pun terbang membayangkan, di museum itu, para orang kulit putih (dan mungkin juga ada yang berkulit sawo matang dari Indonesia) berjejal dan terkagum-kagum mengamati bentuk kapal buatan Muslim Baso. Celakanya, saya tidak bisa mencegah diri saya mengkhayalkan bahwa sang pemandu museum itu akan berkata dengan bangganya, “Inilah karya nenek moyang orang Perancis yang pernah menjadi bangsa bahari di lautan, menguasai sepertiga samudera, ahli berlayar dan pembuat perahu yang ulung.”

Ah, khayalan yang membuat galau.[ASFRIYANTO]


ORANG SAMA, ORANG LAUT, DI MANAKAH KAU BERADA?


Empat jam di atas perahu motor, tiga kali melintasi tasik yang berair bening, barulah kami bertemu dengan Langkepe (70 tahun). Seminggu sebelumnya, kami telah mencarinya di Teluk Bone namun tanpa hasil, sampai tiga hari yang lalu ada nelayan yang memberitahu bahwa Langkepe berada di sekitar Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Ketika akhirnya bertemu, ia tampak ketakutan dan bersiap-siap melompat dari perahunya. Pemandu kami, yang kebetulan masih memiliki pertalian keluarga dengannya, menyapa dalam bahasa Sama. Terjadi perdebatan sedikit, sampai akhirnya Langkepe mengiyakan. Ia pun mengajak kami merapat ke pantai. “Dulu saya pernah ditangkap oleh petugas yang datang bersama sepupu saya ini,” kata Langkepe.

Mungkin Langkepe adalah satu-satunya orang Sama yang masih melakoni hidup sebagai manusia perahu. Sebab setelah adanya pembagian dana kompensasi BBM pada tahun 2004, orang-orang Sama yang tadinya masih melakoni kehidupan sebagai manusia perahu, lebih memilih memiliki alamat tetap sebagai prasayarat untuk mendapatkan dana tersebut.

Dibandingkan dengan fotonya di tahun 1995 yang kami peroleh dari seorang peneliti, Langkepe saat ini tampak semakin tua. Rambutnya telah memutih. Cuma satu hal yang masih bertahan, mungkin kebiasaannya bertelanjang dada dan kulitnya yang gelap. Lewat foto itu pula kami menjadi akrab. “Meninggalmi itu Baso, pak; dikuburkanmi di Lasusua,” katanya menjelaskan anak kecil yang ada di pangkuannya, dalam foto lama itu.

Secara fisik, orang-orang Sama yang melakoni hidup sebagai manusia perahu, memiliki dada yang lebih bidang, badan yang tipis, sehingga bentuk badannya dari pusar sampai ke bahu akan berbentuk segitiga terbalik. Badan dan lengan beorotot namun otot kaki tidak begitu berkembang. Para ahli memperkirakan bentuk fisik itu disebabkan kaki orang Sama jarang beraktivitas. Nah, Langkepe memenuhi ciri-ciri itu, suatu hal yang sudah sangat jarang ditemukan pada orang-orang Sama yang telah bermukim di daratan.

Dalam tulisan ilmiah, orang Sama, orang Bajo, atau orang laut adalah istilah yang sama untuk komunitas sea nomadic. Tahun 1980 keberadaan mereka kian terancam oleh program Departemen Sosial yang ingin merumahkan mereka di darat. Ketika itu, banyak rumah perahu (soppe) orang Sama yang dibakar dan penghuninya dipaksa untuk menetap. Namun sebagian lagi masih berusaha untuk kucing-kucingan.”Perahu soppe saya sudah tidak ada lagi. Sekarang saya pakai perahu biasa. Dua kali sudah dibakar pamarenta perahu soppe saya,” begitu kata Langkepe ketika ditanya tentang perahu soppenya seperti yang ada di foto itu..

Langkepe bercerita, pada tahun 1998 ia ditangkap oleh tim dari Departemen Sosial, kemudian dirumahkan di salah seorang kerabatnya. “Sakit-sakitan badanku, nak, kalau di darat. Tidak nyenyak tidurku”. Ia bahkan sempat dituduh gila setelah istrinya meninggal dunia. Di antara tekanan seperti itu ia kemudian berusaha merakit kembali perahu dari papan-papan bekas. Setelah itu, bisa ditebak, ia lari dan kembali melakoni hidupnya sebagai manusia perahu. Sejak peristiwa itu, ia sangat takut bila bertemu dengan rombongan berperahu motor dengan penumpang yang berbaju coklat dan berambut cepak.

Walaupun kembali melakoni hidup sebagai manusia perahu, namun karakteristik perahu soppe orang Sama yang khas, tidak dimilikinya lagi. Perahu soppe orang-orang Sama sangat unik. Perahu itu bentuknya seperti kuali yang mengapung, memiliki dasar yang lebar dan sisi perahu yang sangat rendah dari permukaan laut. Perahu ini sangat stabil dari hempasan ombak dan sulit untuk tenggelam. Namun untuk menjalankan perahu semacam itu tidak mudah sebab jika dikayuh, akan berputar-putar dan tidak bergerak maju. “Susahmi cari pohon besar untuk bikin perahu soppe sekarang. Habis semuami ditebang,” katanya.

Mitos dan fakta

Saat ini orang-orang Sama telah memeluk agama Islam, namun jejak-jejak religi purba mereka masih dapat ditemui terutama dalam senandung iko-iko (tradisi lisan). Mereka percaya telah ditakdirkan untuk menghuni lautan.

Konon ketika Sawerigading (tokoh dalam cerita La Galigo) hendak membuat perahu mengunjungi Tana Cina untuk mencari permaisuri, dibutuhkan perahu yang sangat besar. Berdasarkan petunjuk para Bissu, pendeta suci orang Bugis, letak pohon itu ada di sebuah bukit yang bernama Mangkutuk, di suatu tempat yang beranam Ussuq di sekitar Luwu Timur sekarang. Pohon itu bernama Walenrenge, yang akarnya menghunjam ke pusar bumi dan dahannya menggapai awan. Di dahannya bermukim jutaan burung yang dijaga ribuan mambang dan peri.

Alkisah, ratusan anak bangsawan dan raja-raja yang dikerahkan oleh Sawerigading untuk menebang pohon itu gagal. Pohon itu tidak bisa ditebang dengan kapak biasa. Kemudian Sawerigading menuju botting langi, negeri para dewa untuk meminjam kapak. Dengan menggunakan kapak pemberian dewa, Sawerigading berhasil menebang pohon Walenrenge. Robohnya pohon itu mengguncangkan penghuni dunia atas dan dunia bawah, ribuan telur burung yang ada di pohon itu kemudian berjatuhan dan pecah.

Demikian dahsyatnya peristiwa itu, telur-telur burung yang pecah mendatangkan banjir besar, menyapu penduduk yang dilandanya. Mereka yang terbawa banjir kemudian bermuara di lautan. Yang tidak bisa bertahan hidup menjadi gugusan karang tempat dunia arwah. Sedangkan yang bisa bertahan hidup itulah kemudian dikenal sebagai tu ri je’ne atau orang yang hidup di laut. Orang Sama percaya itulah cikal bakal mereka; yang tidak akan pernah mati tenggelam di lautan. Laut telah ditakdirkan untuk mereka. Cumi-cumi, hiu, pasik (gusung) adalah sahabat dalam satu harmoni, sukma laut. Bahkan dalam satu kronik Makassar orang-orang Sama pernah dipakai oleh Raja Gowa sebagai pasukan penyelam yang ditugasi melubangi kapal-kapal perang Belanda pada Perang Makassar abad ke-16.

Bahasa Sama berbeda dengan bahasa Bugis atau Makasar. Dalam konteks lingustik, bahasa Sama sangat dekat dengan bahasa Melayu yang pernah menjadi lingua franca di Nusantara. “Biasanya kalau kami ketemu orang Sama dari Sumatera, kami pakai baong (bahasa) Melayu atau baong Sama. Baik Sama dari Filipina maupun Sama dari Timor pasti mengerti,” kata Kidung, seorang Lolo Sama yang pernah melakoni kehidupan perahu selama 40 tahun.

Namun uniknya, dahulu setiap Orang Sama paling tidak mengusai dua atau tiga bahasa selain bahasa Sama. Pertama, bahasa suku-suku yang menjadi perlintasan armada perahu mereka. Misalnya orang-orang Sama yang ada di Teluk Bone juga memahani bahasa Bugis, atau orang Sama yang ada di sekitar kepulauan Bitung juga menguasai bahasa setempat. Bahasa kedua adalah baong Melayu. Bahasa ini justru menjadi bahasa yang dipakai ketika bertemu dengan komunitas sea nomadic lainnya. Menariknya bahasa Melayu orang Sama berbeda dengan bahasa Melayu seperti yang dipakai penutur di Riau dan Semenajung Malaysia. Walaupun demikian, beberapa kata semisal saluar, pinggan, masuk dalam kosakata baong Melayu orang Sama. Tidak menutup kemungkinan bahasa Melayu yang masih dipakai oleh komunitas Sama itulah yang merupakan bahasa lingua franca di Nusantara pada masa lalu. Peran ahli etnolingustik tentu sangat membantu penyelidikan ini ke depan

Memasuki tahun 1980-an orang-orang Sama sudah tidak tinggal di laut lagi. Mereka dirumahkan. Namun pekerjaan mereka sebagai nelayan masih tetap dilakoni. Perubahan dan pemaksaan pola kehidupan mereka dari lautan ke darat ternyata harus dibayar mahal. Dahulu laut dan isinya menjadi guru yang bijak. Mereka tahan dingin, angin laut dan bebas dari tekanan minimnya air tawar dengan mengosumsi kima, sejenis kerang besar yang banyak mengandung air tawar. Dahulu mereka dapat menyelam belasan menit di kedalaman 20 meter untuk menombak ikan tanpa tabung udara. Kini mereka bisa bertahan selama belasan jam tanpa muncul ke permukaaan. Hanya yang terakhir ini mengandalkan kompresor yang biasa dipakai oleh tukang tempel ban. Akibat kompresor itu pula, banyak di antara mereka yang lumpuh dan meninggal di dasar laut akibat dekompresi dan keracunan oksigen.

Kini setelah beberapa abad, laut dan orang-orang Sama menjadi dua kutub yang berbeda, tidak lagi berdamai. Juga dalam jurnal ilmiah, mereka menjadi subyek dalam pelatihan budidaya laut, pelatihan menangkap ikan yang ramah lingkungan. Bahkan tidak dapat dibantah mereka dikategorikan sebagai pelaku yang paling bertanggung jawab sebagai perusak terumbu karang dan aktivitas pengeboman ikan.

Sore itu setelah Langkepe memandu kami menyusuri terumbu karang yang masih tersisa. Dari sisi kanan perahu motor, tiba-tiba ia melompat ke dalam air. Cukup lama sehingga membuat kami cemas. Namun di saat sebagian anggota tim bermaksud menyusul dan telah mengenakan kembali peralatan selam, Langkepe muncul ke permukaan. Di pangkuannya tergolek seekor ikan kerapu berbobot 30 kg, masih hidup namun tampak sangat tenang seperti bayi yang dipangku oleh sang ibu.

Ah Langkepe, kau perlihatkan kembali kehebatan budaya yang masih tersisa dalam dirimu.[ASFRIYANTO]

September 28, 2009

GADO-GADO SANG JURNALIS

Suatu ketika saya diminta berbicara teknik produksi feature oleh sebuah lembaga pendidikan di Gorontalo. Lantas seorang peserta bertanya tentang perasaan saya menjadi jurnalis televisi. Pertanyaan yang teramat sederhana. Dan, wartawan pemula sekali pun akan mudah menjawabnya. Bahkan lengkap dengan segala remeh-temehnya. Saya menduga, pertanyaan itu pun sekedar uji nyali sang peserta agar terbiasa menjadi berani di berbagai forum pertemuan. Karena mereka memang calon-calon jurnalis.

Saat itu, saya pun mencoba menjawabnya seringan mungkin. Dalam artian, saya hanya memaparkan apa-apa yang bisa mereka lihat secara jelas. Misal, kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh ternama, kesempatan berpergian ke berbagai daerah dengan segala fasilitasnya, dan tentu saja kesempatan menghimpun pelajaran tentang hidup. Dua jawaban terdepan adalah kenyataan yang nyaris didapatkan oleh kalangan wartawan dari media massa mana pun. Bahkan, siapa pun bisa menyepakatinya tanpa berpikir panjang. Jawaban terakhir? Ups, apa tidak mengada-ada? Atau, sekadar menghiperbolakan persoalan?

Saya sempat berpikir panjang tentang makna “pelajaran hidup” dari pernyataan yang pernah saya ungkapkan itu. Saya sangat yakin jawaban itu tidak salah. Karena, toh saya melontarkan jawaban itu berdasarkan apa-apa yang terekam otak kiri-kanan saya selama bertahun-tahun. Sebaliknya, apakah mahasiswa yang mendengarkan jawaban itu akan memahami dan memaknainya seperti yang saya maksudkan? Belum tentu. Biar bagaimana pun, pengetahuan dan pengalaman mereka masih teramat sedikit untuk memahami pelajaran tentang hidup. Terutama, memaknai pesan-pesan yang didapat dari kehidupan itu sendiri.

Berbekal dari konflik batin itu, saya jadi bersemangat untuk menuliskan cerita tentang profesi jurnalis televisi dan pelajaran hidup yang terekam di dalamnya. Niatan awalnya, karena ingin membuktikan kebenaran atas keyakinan saya itu. Sehingga, konflik batin itu bisa tersalurkan secara positif. []

CATATAN KECIL


Membuat film dokumenter atau news feature sama dengan membangun sebuah bangunan indah. Ia bukan hanya membutuhkan "tukang-tukang" yang cerdas dan berpengalaman, tapi juga perlu dukungan pemilik bangunan, mandor, serta bahan baku yang memadai. Sulit jadinya, memang. Tapi, itulah konsekuensi berkesenian.

Bagian tersulit adalah ketika premis dibangun bersama pemilik dan mandor bangunan -- yang tidak cerdas dan berpengalaman. Hasilnya, bukan hanya membuat proses kerja jadi tidak bermakna. Tapi, hasilnya pun senantiasa tidak membahagiakan sang pemilik bangunan dan mandor. Maka, sia-sialah, buah yang harus dipetik.

Bagian tersulit lain adalah ketika "tukang" atau "kenek" juga bertanya; pemilik bangunan dan mandor tahu nggak sih kita kerja? Dosa rasanya, membangunkan keyakinan pada harapan yang belum pasti. Padahal, sebagai “tukang” handal, kita mesti mengabaikan pujian atau harapan-harapan yang pasti. Namun, menikmati proses itu sendiri jauh lebih berarti.

Di luar pemilik bangunan dan mandor, rancangan premis yang ngawur, kesungguhan hati yang sia-sia, keyakinan yang terabaikan, kami cuma memiliki satu modal; berwasiatlah tentang kesabaran dan kebenaran. Akhirnya, hasil bangunan pun berat jadinya. Tapi, inilah buah dari kesungguhan, keyakinan, dan keterperihan hati.

Terima kasih buat para "tukang" dan "kenek" yang masih ingin dibuai wasiat tentang kesabaran dan kebenaran. Gusti Allah akan senantiasa menyinggahi fawaid kita. Subhanallah...

Agustus 25, 2009

HADITS QUDSI PUASA


"Demi keagunganKu, kebesaranKu, kemuliaanKu, cahayaKu, dan ketinggian kedudukanKu, tidaklah seorang hamba mendahulukan kehendaknya di atas kehendakKu kecuali aku cerai-beraikan urusannya, Aku kacaukan dunianya, Aku sibukkan hatinya dengan dunianya. Dan dunia tidak mendatanginya kecuali yang sudah Aku tentukan baginya. Demi keagunganKu dan ketinggian kedudukanKu, tidaklah seorang hamba mendahulukan kehendakKu di atas kehendaknya kecuali akan aku perintahkan para malaikat untuk menjagaNya. Aku akan jaminkan langit dan bumi sebagai rezekinya. Aku akan menyertai setiap usaha yang dilakukannya. Dan dunia akan datang sambil merendahkan diri kepadanya."
[Jalaluddin Rakhmat, Madrasah Ruhaniah, 2006]

Juli 16, 2009

THE MAKING OF KISAH SANG RAJAWALI

Ketika menggarap musibah yang dialami almarhum Muhammad Guntur Syaifullah – kamerawan SCTV yang tenggelam bersama kapal Levina I – saya menampilkan simbol burung rajawali untuk menggantikan karakter almarhum. Kenapa harus sang raja burung? Kenapa harus bersimbol-simbol? Dan, kenapa jadi demikian “berat” di mata dan telinga?

Protes soal beratnya naskah episode “Kisah Sang Rajawali” memang harus diakui, sebagai kesengajaan. Pertama, untuk menghindari keseragaman dengan berbagai program lain, termasuk infotainment, yang ramai-ramai menggarap topik itu. Kedua, ini yang paling penting, karena topik kali saya dedikasikan untuk sahabat yang cukup sering berpatner dengan daya di lapangan. Sehingga, ketika ada protes kiri-kanan soal pesan yang demikian “berat”, ah biar!

Sumpah. Kali ini, saya tidak peduli kritik atau pujian apa pun. Namun, semua lillahi ta’ala, untuk menghormati perjalanan seorang sahabat ke alam baqa melalui karya.

Namun, tahukah bahwa tidak mudah bagi saya untuk memilih simbol itu ke dalam cerita. Tiga hari di lapangan, bergaul bersama masalah dan kepanikan teman-teman yang meliput atau ikut mencari, tidak mampu membangun kecerdasan. Dalam artian, tidak seperti biasa, saya tidak memiliki bekal premis atau ide cerita. Apalagi, struktur cerita berbentuk treatment script. Itu terjadi, karena hati sedang galau!

Di malam menjelang deadline, persis tengah malam, saya terbangun. Lalu, kumkum untuk berniat shalat tahajud. Saat mandi malam itu, di kepala saya terdengar lagu “Eagle and Horse”nya John Denver. Lirik dan melodinya menari-nari di kepala. Seketika, tanpa sadar, air mata membaur dengan guyuran air. Bahkan, dilatasi di rongga hidung tidak terasa lagi. Akhirnya, tangis di tengah malam meledak.

Tiba-tiba, saya ingat pernah berjalan bersama di pegunungan Tangkuban Perahu, Bandung, ketika meliput pelatihan SAR bersama rekan-rekan dari PT Dirgantara Indonesia. Meski agak berumur, ia terlihat tetap fit dan bersemangat mengikuti perjalanan.

Pada akhirnya, kelelahan memporak-porandakan kesabarannya. Ia sempat emosi dan naik pitam, ketika berdiskusi di tengah malam. Bahkan, ia sempat menantang berkelahi. Astaghfirullah.

Saya yang merasa lebih sadar, buru-buru minta maaf dan meredakan emosinya. Saya harus berada di depan soal kesabaran, karena sebagai reporter, saya bertanggungjawab untuk berbagai hal di lapangan. Saat itu, kami tidur berpisah. Namun, saya hanya berdoa, semoga saja, ia berubah. Karena, tidak ada persoalan besar yang harus dipertengkarkan. Diskusi recehan yang dibumbui kelelahan saja.

Meski peristiwa itu begitu membekas, dan sempat jadi perbincangan di kantor, ternyata kami bisa baikan kembali. Waktu, tanpa menunggu lama, ternyata bisa mengelus kesadarannya dan membuat lupa “cekcok” tempo hari. Kami berbaikan. Bahkan, saya menjadi kawan bicara pertamanya, ketika ia pulang dengan “cacad” dari liputan berdarah di Ambon. Dikatakan “cacad”, meski ia mempersembahkan gambar-gambar cantik dan momen dasyat, ketika emosinya tak terkendali, ia justru menuntut pulang.

“Cacad” itulah yang membuatnya terdempak dari percaturan para "rajawali", seakan ia bukan "rajawali". Padahal, hasil kerja di Ambon, tentu saja, kelas "rajawali". Bahkan, “cacad’ itu terus berbuntut pada nasib – gaji dan tunjangan lain. Subhanallah.

Luka itu saya dengar berkali-kali di telinga saya. Dan, sekarang, kembali terdengar seakan menjadi narasi dengan lagu “Eagle and Horse” sebagai musik latar. Dramatis. Beruntung tangisan itu hanya milik saya. Karena, istri dan anak-anak masih tidur.

Meski begitu, saya urung menggunakan lagu itu untuk POTRET. Karena, menghormati royalti dan proximity. Tiba-tiba, lagu “Rajawali” milik Kantata Takwa tiba-tiba mengemuka. Maka, saya langsung menulis sambil mengingat-ingat bait demi bait lagu itu.

Di paragraf awal saya tulis; rajawali adalah raja dari seluruh jenis burung di angkasa. Dengan sayap lebarnya, ia senantiasa menjelajahi seluruh ruang angkasa, untuk mengikuti kodratnya, hadir di bumi, mengisi sejarah kehidupan, dan bersiaga mencapai keabadian di alam kekal. Dengan cakar tajamnya, ia membuat sarang dan mencari makan, untuk menghidupi betina dan anak-anaknya.

Rajawali juga merupakan perlambang jiwa nan perkasa, tangguh, tak kenal lelah, dan merdeka. Ia bisa menjelma dalam diri setiap insan, karena anugrah kodrati atau tuntutan keadaan. Dan, ia bisa lahir dari trah mana pun. Bahkan, dengan kalangan sudra atau rakyat jelata. Dan, ia akan menjadi bagian dari sejarah agung, karena keperkasaan kepakan sayap dan cengkeraman jemarinya.

Cerita jurnalis dan sepotong berita adalah kisah rajawali dan sekerat daging. Ia akan menjelajah ke ruang angkasa mana pun, tanpa berpikir rasa lelah dan bahaya. Di benaknya hanya tersimpan sebuah keinginan, memenuhi rasa ingin tahu dan mengabarkannya untuk khalayak.

Seorang jurnalis, yang semula bisa saja berupa seekor burung nuri atau burung pipit, dalam beberapa saat, keadaan menuntutnya menjadi seekor rajawali. Dan, sang raja burung nan perkasa itu pun, senantiasa bersiap mencengkeram berkilo-kilogram daging di mana pun. Sayap-lebarnya akan terus mengepak menjelajah seluruh tempat kejadian. Dan, naluri membimbingnya untuk terus terbang, mencengkeram, pulang ke serang, dan kembali terbang.

Pameran metafora itu mengalir bukan tanpa kendali. Uraian filosofis rajawali saya dapati secara sempurna dari tujuh jilid buku “Syaikh Siti Jenar” karya Agus Sunyoto. Penempatan sang raja burung, dengan keperkasaannya, ketangguhannya, dengan maqom yang mesti didapatnya, sejujurnya ide penulis buku itu. Namun, saya meramunya sebagai bahasa televisi, sekaligus menempatkannya sebagai roh almarhum.

Pemilihan filosofi bercampur “pemaksaan” karakter semakin menjadi yakin, ketika saya melihat fakta nyata di lingkungan para “rajawali”. Saya kadang berpikir, lingkungan dunia jurnalistik tak ubahnya kerajaan burung. Karena, banyak spesies burung di lingkungan pekerjaan itu.

Bedanya dengan alam nyata, “kerajaan burung” nyata itu justru tidak dengan otomatis menempatkan rajawali sebagai raja para burung, meski di dalam kerajaan itu lebih banyak burung jenis itu. Lucu? Iya. Tapi, jangan tertawa. Karena, sesungguhnya menyayat kalbu.

Di “kerajaan burung” yang ditulis sebuah buku bertemakan inspiring stories, burung rajawali bisa menjadi raja. Burung gagak juga bisa menjadi raja. Burung beo juga bisa menjadi raja. Buruk merak pun bisa jadi raja. Pokoknya, burung apa pun bisa. Kecuali “burung” itu!

Maka, gemah ripah loh jinawi yang terlihat, tentu berbeda pula. Idealnya, yang menjadi raja di “kerajaan burung” berasal dari kalangan rajawali. Jadi, bila ini terjadi, ideal sekali. Tapi, bila dewa menghendaki gagak yang menjadi raja? Jangan heran, bila tiba-tiba gagak-gagak lain naik pangkat. Hakekat gagak yang cuma berteriak tanpa bekerja keras, liar, licik, dan rakus, ya tercermin di mana-mana. Akhirnya, burung-burung lain, siap-siap menjadi gagak juga atau terlempar ke sangkar kayu.

Sementara, yang dirinya merasa rajawali, siap-siap terbang tinggi untuk menghindari benturan atau merendahkan terbangnya agar bisa diraih sang raja. Lalu, merendahkan harga dirinya agak masuk dalam lingkaran sang raja. Rajawali yang merana, jadinya. Kalau memberontak, maka ia harus ikhlas terbang di luar lingkaran. Ya, rajawali liar jadinya.

Hasil akhir semua itu, amburadul! Jangan bicara sistem, aturan, norma, atau peraturan. Karena semua itu milik sang Gagak. Dia pasti betul. Apa yang diputuskan bawahannya pun pasti betul. Kita? Elu aja kali, gue nggak!

Kalau burung merak yang menjadi raja, maka suasananya jadi lain lagi. Karena, ia belum tentu akan merekrut merak-merak lain menjadi pendampingnya atau ikut naik jabatan. Tapi, burung-burung yang malas terbang, mulut dan kukunya tak tajam, bisa masuk barisan. Lho? Lha, kan merak hanya kepengin memamerkan bulu-bulunya. One man show, maksudnya. Orang lain nggak boleh. Nah, burung-burung lain, seperti pipit, nuri, atau cicakrowo, ya paling pas jadi pengikut setia. Sekaligus, jadi mentri-mentrinya.

Burung rajawali? Ya, bisa terbang setinggi-tingginya atau masuk kandang besi. Karena, terbang melayang sebebas-bebasnya bakal bikin gerah sang ratu. Atau, nanti dicurigai bakal makar. Maka, biar aman, ya masuk kandang saja. Biar saja ia menangis dan meraung-raung. Yang penting, sang ratu aman.

Walhasil, wal akhiri nasib para rajawali. Sistem, aturan, norma, atau apa lagi yang biasanya ada di lingkungan kerajaan, pupus sudah. Yang ada, ya wangi parfum bercampur asam kemenyan sang ratu. Maklum, sang ratu merokoknya kemenyan. Hi!

Kalau yang yang jadi raja burung beo? Ah, tebak sendiri alurnya. Atau, cari bukunya, deh. Salah-salah kutip, nanti malah dianggap bikin fitnah. Berabe, kan?

Supaya ngggak terlalu ngelantur, kita balik ke cerita penulisan “Kisah Sang Rajawali”. Di paragraf lain, saya menulis; Namun alam fana yang ditinggalkannya seakan tidak ikhlas. Ratusan burung-burung lain, termasuk juga Rajawali-Rajawali yang lebih gagah dan sakti, ikut larut dalam kesedihan. Entah karena merasa iba akan sejarah dan nasib sang rajawali, atau jangan-jangan, sekedar pura-pura simpati. Yang pasti, sanak-famili sang Rajawali merasa bersyukur, masih bisa melihat jasad sang Rajawali dan bisa berlama-lama memandang wajah agungnya.

Keharuan dan rasa iba terus berhamburan, tatkala jasad sang Rajawali diagungkan di hadapan burung-burung lain. Seiring dengan itu, ungkapan-ungkapan rasa duka pun tak henti terhembus ke udara, dan memayungi jasad sang rajawali. Pada hakekatnya, mangkatnya sang Rajawali bukanlah akhir dari kisah kehidupannya. Karena, ia hanya mengakhiri kodratnya sebagai umat di alam fana. Dengan begitu, ia pun berhenti membuat sarang dan mencari sekerat daging untuk sanak-familinya.

Selanjutnya, ia justru mendapati kehidupan lain yang lebih tentram, nyaman, dan abadi. Dan, bagi sang Rajawali, kematian justru merupakan pintu untuk menghantarkan jiwa perkasa, jiwa tangguh, jiwa tak kenal lelah, dan jiwa merdekanya, untuk menyatu dengan cahaya-Nya.

Semula kalimat yang dibold itu ada, tapi video editor justru merayu saya untuk menghapusnya. Khawatir ada yang tersinggung, katanya, nanti elo masuk kandang besi! Karena tidak berpikir apa-apa lagi, selain letih dan galau, saya setuju saja dengan pendapat itu. Yang penting, saya berhasil menuntaskan naskah dan bisa menyaksikan tayangan “berat” itu.

Pada akhirnya, dari cerita di atas saya ingin memberi gambaran, betapa sulitnya merangkai cerita untuk sebuah program. Meski sudah berada di lapangan tidak berarti akan mudah meramu ide, meluruskan teman, apalagi menjadikannya kerangka cerita. Bahkan, waktu yang mendesak pun bukan jaminan. Terlebih lagi, bila emosi terlalu bermain di dalamnya.

Maka, jurus memanfaatkan lagu-lagu populer memang tak bisa dihindari. Lalu, mengingat dan mengontemplasi buku-buku yang pernah dibaca, juga jadi jurus kedua yang perlu dimainkan. Dengan cara itu, kejaran deadline bisa teratasi dan program tetap bisa tayang. Selain itu, secara kulitas, paling tidak berbeda dibandingkan infotainment atau program lain yang digarap secara televisi. Yang paling penting, sebagai filmmaker, kita senantiasa dituntut menampilkan sesuatu yang berbeda dan fresh. Terlebih lagi, bila topik itu terlalu panas.[]

Note:
Tulisan itu didedikasikan setahun kepergian seorang sahabat, sang Rajawali, Muhammad Guntur Syaifullah. Semoga Allah SWT menyediakan tempat terindah di alam barzakh. Amien.