Empat jam di atas perahu motor, tiga kali melintasi tasik yang berair bening, barulah kami bertemu dengan Langkepe (70 tahun). Seminggu sebelumnya, kami telah mencarinya di Teluk Bone namun tanpa hasil, sampai tiga hari yang lalu ada nelayan yang memberitahu bahwa Langkepe berada di sekitar Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Ketika akhirnya bertemu, ia tampak ketakutan dan bersiap-siap melompat dari perahunya. Pemandu kami, yang kebetulan masih memiliki pertalian keluarga dengannya, menyapa dalam bahasa Sama. Terjadi perdebatan sedikit, sampai akhirnya Langkepe mengiyakan. Ia pun mengajak kami merapat ke pantai. “Dulu saya pernah ditangkap oleh petugas yang datang bersama sepupu saya ini,” kata Langkepe.
Mungkin Langkepe adalah satu-satunya orang Sama yang masih melakoni hidup sebagai manusia perahu. Sebab setelah adanya pembagian dana kompensasi BBM pada tahun 2004, orang-orang Sama yang tadinya masih melakoni kehidupan sebagai manusia perahu, lebih memilih memiliki alamat tetap sebagai prasayarat untuk mendapatkan dana tersebut.
Dibandingkan dengan fotonya di tahun 1995 yang kami peroleh dari seorang peneliti, Langkepe saat ini tampak semakin tua. Rambutnya telah memutih. Cuma satu hal yang masih bertahan, mungkin kebiasaannya bertelanjang dada dan kulitnya yang gelap. Lewat foto itu pula kami menjadi akrab. “Meninggalmi itu Baso, pak; dikuburkanmi di Lasusua,” katanya menjelaskan anak kecil yang ada di pangkuannya, dalam foto lama itu.
Secara fisik, orang-orang Sama yang melakoni hidup sebagai manusia perahu, memiliki dada yang lebih bidang, badan yang tipis, sehingga bentuk badannya dari pusar sampai ke bahu akan berbentuk segitiga terbalik. Badan dan lengan beorotot namun otot kaki tidak begitu berkembang. Para ahli memperkirakan bentuk fisik itu disebabkan kaki orang Sama jarang beraktivitas. Nah, Langkepe memenuhi ciri-ciri itu, suatu hal yang sudah sangat jarang ditemukan pada orang-orang Sama yang telah bermukim di daratan.
Dalam tulisan ilmiah, orang Sama, orang Bajo, atau orang laut adalah istilah yang sama untuk komunitas sea nomadic. Tahun 1980 keberadaan mereka kian terancam oleh program Departemen Sosial yang ingin merumahkan mereka di darat. Ketika itu, banyak rumah perahu (soppe) orang Sama yang dibakar dan penghuninya dipaksa untuk menetap. Namun sebagian lagi masih berusaha untuk kucing-kucingan.”Perahu soppe saya sudah tidak ada lagi. Sekarang saya pakai perahu biasa. Dua kali sudah dibakar pamarenta perahu soppe saya,” begitu kata Langkepe ketika ditanya tentang perahu soppenya seperti yang ada di foto itu..
Langkepe bercerita, pada tahun 1998 ia ditangkap oleh tim dari Departemen Sosial, kemudian dirumahkan di salah seorang kerabatnya. “Sakit-sakitan badanku, nak, kalau di darat. Tidak nyenyak tidurku”. Ia bahkan sempat dituduh gila setelah istrinya meninggal dunia. Di antara tekanan seperti itu ia kemudian berusaha merakit kembali perahu dari papan-papan bekas. Setelah itu, bisa ditebak, ia lari dan kembali melakoni hidupnya sebagai manusia perahu. Sejak peristiwa itu, ia sangat takut bila bertemu dengan rombongan berperahu motor dengan penumpang yang berbaju coklat dan berambut cepak.
Walaupun kembali melakoni hidup sebagai manusia perahu, namun karakteristik perahu soppe orang Sama yang khas, tidak dimilikinya lagi. Perahu soppe orang-orang Sama sangat unik. Perahu itu bentuknya seperti kuali yang mengapung, memiliki dasar yang lebar dan sisi perahu yang sangat rendah dari permukaan laut. Perahu ini sangat stabil dari hempasan ombak dan sulit untuk tenggelam. Namun untuk menjalankan perahu semacam itu tidak mudah sebab jika dikayuh, akan berputar-putar dan tidak bergerak maju. “Susahmi cari pohon besar untuk bikin perahu soppe sekarang. Habis semuami ditebang,” katanya.
Mitos dan fakta
Saat ini orang-orang Sama telah memeluk agama Islam, namun jejak-jejak religi purba mereka masih dapat ditemui terutama dalam senandung iko-iko (tradisi lisan). Mereka percaya telah ditakdirkan untuk menghuni lautan.
Konon ketika Sawerigading (tokoh dalam cerita La Galigo) hendak membuat perahu mengunjungi Tana Cina untuk mencari permaisuri, dibutuhkan perahu yang sangat besar. Berdasarkan petunjuk para Bissu, pendeta suci orang Bugis, letak pohon itu ada di sebuah bukit yang bernama Mangkutuk, di suatu tempat yang beranam Ussuq di sekitar Luwu Timur sekarang. Pohon itu bernama Walenrenge, yang akarnya menghunjam ke pusar bumi dan dahannya menggapai awan. Di dahannya bermukim jutaan burung yang dijaga ribuan mambang dan peri.
Alkisah, ratusan anak bangsawan dan raja-raja yang dikerahkan oleh Sawerigading untuk menebang pohon itu gagal. Pohon itu tidak bisa ditebang dengan kapak biasa. Kemudian Sawerigading menuju botting langi, negeri para dewa untuk meminjam kapak. Dengan menggunakan kapak pemberian dewa, Sawerigading berhasil menebang pohon Walenrenge. Robohnya pohon itu mengguncangkan penghuni dunia atas dan dunia bawah, ribuan telur burung yang ada di pohon itu kemudian berjatuhan dan pecah.
Demikian dahsyatnya peristiwa itu, telur-telur burung yang pecah mendatangkan banjir besar, menyapu penduduk yang dilandanya. Mereka yang terbawa banjir kemudian bermuara di lautan. Yang tidak bisa bertahan hidup menjadi gugusan karang tempat dunia arwah. Sedangkan yang bisa bertahan hidup itulah kemudian dikenal sebagai tu ri je’ne atau orang yang hidup di laut. Orang Sama percaya itulah cikal bakal mereka; yang tidak akan pernah mati tenggelam di lautan. Laut telah ditakdirkan untuk mereka. Cumi-cumi, hiu, pasik (gusung) adalah sahabat dalam satu harmoni, sukma laut. Bahkan dalam satu kronik Makassar orang-orang Sama pernah dipakai oleh Raja Gowa sebagai pasukan penyelam yang ditugasi melubangi kapal-kapal perang Belanda pada Perang Makassar abad ke-16.
Bahasa Sama berbeda dengan bahasa Bugis atau Makasar. Dalam konteks lingustik, bahasa Sama sangat dekat dengan bahasa Melayu yang pernah menjadi lingua franca di Nusantara. “Biasanya kalau kami ketemu orang Sama dari Sumatera, kami pakai baong (bahasa) Melayu atau baong Sama. Baik Sama dari Filipina maupun Sama dari Timor pasti mengerti,” kata Kidung, seorang Lolo Sama yang pernah melakoni kehidupan perahu selama 40 tahun.
Namun uniknya, dahulu setiap Orang Sama paling tidak mengusai dua atau tiga bahasa selain bahasa Sama. Pertama, bahasa suku-suku yang menjadi perlintasan armada perahu mereka. Misalnya orang-orang Sama yang ada di Teluk Bone juga memahani bahasa Bugis, atau orang Sama yang ada di sekitar kepulauan Bitung juga menguasai bahasa setempat. Bahasa kedua adalah baong Melayu. Bahasa ini justru menjadi bahasa yang dipakai ketika bertemu dengan komunitas sea nomadic lainnya. Menariknya bahasa Melayu orang Sama berbeda dengan bahasa Melayu seperti yang dipakai penutur di Riau dan Semenajung Malaysia. Walaupun demikian, beberapa kata semisal saluar, pinggan, masuk dalam kosakata baong Melayu orang Sama. Tidak menutup kemungkinan bahasa Melayu yang masih dipakai oleh komunitas Sama itulah yang merupakan bahasa lingua franca di Nusantara pada masa lalu. Peran ahli etnolingustik tentu sangat membantu penyelidikan ini ke depan
Memasuki tahun 1980-an orang-orang Sama sudah tidak tinggal di laut lagi. Mereka dirumahkan. Namun pekerjaan mereka sebagai nelayan masih tetap dilakoni. Perubahan dan pemaksaan pola kehidupan mereka dari lautan ke darat ternyata harus dibayar mahal. Dahulu laut dan isinya menjadi guru yang bijak. Mereka tahan dingin, angin laut dan bebas dari tekanan minimnya air tawar dengan mengosumsi kima, sejenis kerang besar yang banyak mengandung air tawar. Dahulu mereka dapat menyelam belasan menit di kedalaman 20 meter untuk menombak ikan tanpa tabung udara. Kini mereka bisa bertahan selama belasan jam tanpa muncul ke permukaaan. Hanya yang terakhir ini mengandalkan kompresor yang biasa dipakai oleh tukang tempel ban. Akibat kompresor itu pula, banyak di antara mereka yang lumpuh dan meninggal di dasar laut akibat dekompresi dan keracunan oksigen.
Kini setelah beberapa abad, laut dan orang-orang Sama menjadi dua kutub yang berbeda, tidak lagi berdamai. Juga dalam jurnal ilmiah, mereka menjadi subyek dalam pelatihan budidaya laut, pelatihan menangkap ikan yang ramah lingkungan. Bahkan tidak dapat dibantah mereka dikategorikan sebagai pelaku yang paling bertanggung jawab sebagai perusak terumbu karang dan aktivitas pengeboman ikan.
Sore itu setelah Langkepe memandu kami menyusuri terumbu karang yang masih tersisa. Dari sisi kanan perahu motor, tiba-tiba ia melompat ke dalam air. Cukup lama sehingga membuat kami cemas. Namun di saat sebagian anggota tim bermaksud menyusul dan telah mengenakan kembali peralatan selam, Langkepe muncul ke permukaan. Di pangkuannya tergolek seekor ikan kerapu berbobot 30 kg, masih hidup namun tampak sangat tenang seperti bayi yang dipangku oleh sang ibu.
Ah Langkepe, kau perlihatkan kembali kehebatan budaya yang masih tersisa dalam dirimu.[ASFRIYANTO]
Mungkin Langkepe adalah satu-satunya orang Sama yang masih melakoni hidup sebagai manusia perahu. Sebab setelah adanya pembagian dana kompensasi BBM pada tahun 2004, orang-orang Sama yang tadinya masih melakoni kehidupan sebagai manusia perahu, lebih memilih memiliki alamat tetap sebagai prasayarat untuk mendapatkan dana tersebut.
Dibandingkan dengan fotonya di tahun 1995 yang kami peroleh dari seorang peneliti, Langkepe saat ini tampak semakin tua. Rambutnya telah memutih. Cuma satu hal yang masih bertahan, mungkin kebiasaannya bertelanjang dada dan kulitnya yang gelap. Lewat foto itu pula kami menjadi akrab. “Meninggalmi itu Baso, pak; dikuburkanmi di Lasusua,” katanya menjelaskan anak kecil yang ada di pangkuannya, dalam foto lama itu.
Secara fisik, orang-orang Sama yang melakoni hidup sebagai manusia perahu, memiliki dada yang lebih bidang, badan yang tipis, sehingga bentuk badannya dari pusar sampai ke bahu akan berbentuk segitiga terbalik. Badan dan lengan beorotot namun otot kaki tidak begitu berkembang. Para ahli memperkirakan bentuk fisik itu disebabkan kaki orang Sama jarang beraktivitas. Nah, Langkepe memenuhi ciri-ciri itu, suatu hal yang sudah sangat jarang ditemukan pada orang-orang Sama yang telah bermukim di daratan.
Dalam tulisan ilmiah, orang Sama, orang Bajo, atau orang laut adalah istilah yang sama untuk komunitas sea nomadic. Tahun 1980 keberadaan mereka kian terancam oleh program Departemen Sosial yang ingin merumahkan mereka di darat. Ketika itu, banyak rumah perahu (soppe) orang Sama yang dibakar dan penghuninya dipaksa untuk menetap. Namun sebagian lagi masih berusaha untuk kucing-kucingan.”Perahu soppe saya sudah tidak ada lagi. Sekarang saya pakai perahu biasa. Dua kali sudah dibakar pamarenta perahu soppe saya,” begitu kata Langkepe ketika ditanya tentang perahu soppenya seperti yang ada di foto itu..
Langkepe bercerita, pada tahun 1998 ia ditangkap oleh tim dari Departemen Sosial, kemudian dirumahkan di salah seorang kerabatnya. “Sakit-sakitan badanku, nak, kalau di darat. Tidak nyenyak tidurku”. Ia bahkan sempat dituduh gila setelah istrinya meninggal dunia. Di antara tekanan seperti itu ia kemudian berusaha merakit kembali perahu dari papan-papan bekas. Setelah itu, bisa ditebak, ia lari dan kembali melakoni hidupnya sebagai manusia perahu. Sejak peristiwa itu, ia sangat takut bila bertemu dengan rombongan berperahu motor dengan penumpang yang berbaju coklat dan berambut cepak.
Walaupun kembali melakoni hidup sebagai manusia perahu, namun karakteristik perahu soppe orang Sama yang khas, tidak dimilikinya lagi. Perahu soppe orang-orang Sama sangat unik. Perahu itu bentuknya seperti kuali yang mengapung, memiliki dasar yang lebar dan sisi perahu yang sangat rendah dari permukaan laut. Perahu ini sangat stabil dari hempasan ombak dan sulit untuk tenggelam. Namun untuk menjalankan perahu semacam itu tidak mudah sebab jika dikayuh, akan berputar-putar dan tidak bergerak maju. “Susahmi cari pohon besar untuk bikin perahu soppe sekarang. Habis semuami ditebang,” katanya.
Mitos dan fakta
Saat ini orang-orang Sama telah memeluk agama Islam, namun jejak-jejak religi purba mereka masih dapat ditemui terutama dalam senandung iko-iko (tradisi lisan). Mereka percaya telah ditakdirkan untuk menghuni lautan.
Konon ketika Sawerigading (tokoh dalam cerita La Galigo) hendak membuat perahu mengunjungi Tana Cina untuk mencari permaisuri, dibutuhkan perahu yang sangat besar. Berdasarkan petunjuk para Bissu, pendeta suci orang Bugis, letak pohon itu ada di sebuah bukit yang bernama Mangkutuk, di suatu tempat yang beranam Ussuq di sekitar Luwu Timur sekarang. Pohon itu bernama Walenrenge, yang akarnya menghunjam ke pusar bumi dan dahannya menggapai awan. Di dahannya bermukim jutaan burung yang dijaga ribuan mambang dan peri.
Alkisah, ratusan anak bangsawan dan raja-raja yang dikerahkan oleh Sawerigading untuk menebang pohon itu gagal. Pohon itu tidak bisa ditebang dengan kapak biasa. Kemudian Sawerigading menuju botting langi, negeri para dewa untuk meminjam kapak. Dengan menggunakan kapak pemberian dewa, Sawerigading berhasil menebang pohon Walenrenge. Robohnya pohon itu mengguncangkan penghuni dunia atas dan dunia bawah, ribuan telur burung yang ada di pohon itu kemudian berjatuhan dan pecah.
Demikian dahsyatnya peristiwa itu, telur-telur burung yang pecah mendatangkan banjir besar, menyapu penduduk yang dilandanya. Mereka yang terbawa banjir kemudian bermuara di lautan. Yang tidak bisa bertahan hidup menjadi gugusan karang tempat dunia arwah. Sedangkan yang bisa bertahan hidup itulah kemudian dikenal sebagai tu ri je’ne atau orang yang hidup di laut. Orang Sama percaya itulah cikal bakal mereka; yang tidak akan pernah mati tenggelam di lautan. Laut telah ditakdirkan untuk mereka. Cumi-cumi, hiu, pasik (gusung) adalah sahabat dalam satu harmoni, sukma laut. Bahkan dalam satu kronik Makassar orang-orang Sama pernah dipakai oleh Raja Gowa sebagai pasukan penyelam yang ditugasi melubangi kapal-kapal perang Belanda pada Perang Makassar abad ke-16.
Bahasa Sama berbeda dengan bahasa Bugis atau Makasar. Dalam konteks lingustik, bahasa Sama sangat dekat dengan bahasa Melayu yang pernah menjadi lingua franca di Nusantara. “Biasanya kalau kami ketemu orang Sama dari Sumatera, kami pakai baong (bahasa) Melayu atau baong Sama. Baik Sama dari Filipina maupun Sama dari Timor pasti mengerti,” kata Kidung, seorang Lolo Sama yang pernah melakoni kehidupan perahu selama 40 tahun.
Namun uniknya, dahulu setiap Orang Sama paling tidak mengusai dua atau tiga bahasa selain bahasa Sama. Pertama, bahasa suku-suku yang menjadi perlintasan armada perahu mereka. Misalnya orang-orang Sama yang ada di Teluk Bone juga memahani bahasa Bugis, atau orang Sama yang ada di sekitar kepulauan Bitung juga menguasai bahasa setempat. Bahasa kedua adalah baong Melayu. Bahasa ini justru menjadi bahasa yang dipakai ketika bertemu dengan komunitas sea nomadic lainnya. Menariknya bahasa Melayu orang Sama berbeda dengan bahasa Melayu seperti yang dipakai penutur di Riau dan Semenajung Malaysia. Walaupun demikian, beberapa kata semisal saluar, pinggan, masuk dalam kosakata baong Melayu orang Sama. Tidak menutup kemungkinan bahasa Melayu yang masih dipakai oleh komunitas Sama itulah yang merupakan bahasa lingua franca di Nusantara pada masa lalu. Peran ahli etnolingustik tentu sangat membantu penyelidikan ini ke depan
Memasuki tahun 1980-an orang-orang Sama sudah tidak tinggal di laut lagi. Mereka dirumahkan. Namun pekerjaan mereka sebagai nelayan masih tetap dilakoni. Perubahan dan pemaksaan pola kehidupan mereka dari lautan ke darat ternyata harus dibayar mahal. Dahulu laut dan isinya menjadi guru yang bijak. Mereka tahan dingin, angin laut dan bebas dari tekanan minimnya air tawar dengan mengosumsi kima, sejenis kerang besar yang banyak mengandung air tawar. Dahulu mereka dapat menyelam belasan menit di kedalaman 20 meter untuk menombak ikan tanpa tabung udara. Kini mereka bisa bertahan selama belasan jam tanpa muncul ke permukaaan. Hanya yang terakhir ini mengandalkan kompresor yang biasa dipakai oleh tukang tempel ban. Akibat kompresor itu pula, banyak di antara mereka yang lumpuh dan meninggal di dasar laut akibat dekompresi dan keracunan oksigen.
Kini setelah beberapa abad, laut dan orang-orang Sama menjadi dua kutub yang berbeda, tidak lagi berdamai. Juga dalam jurnal ilmiah, mereka menjadi subyek dalam pelatihan budidaya laut, pelatihan menangkap ikan yang ramah lingkungan. Bahkan tidak dapat dibantah mereka dikategorikan sebagai pelaku yang paling bertanggung jawab sebagai perusak terumbu karang dan aktivitas pengeboman ikan.
Sore itu setelah Langkepe memandu kami menyusuri terumbu karang yang masih tersisa. Dari sisi kanan perahu motor, tiba-tiba ia melompat ke dalam air. Cukup lama sehingga membuat kami cemas. Namun di saat sebagian anggota tim bermaksud menyusul dan telah mengenakan kembali peralatan selam, Langkepe muncul ke permukaan. Di pangkuannya tergolek seekor ikan kerapu berbobot 30 kg, masih hidup namun tampak sangat tenang seperti bayi yang dipangku oleh sang ibu.
Ah Langkepe, kau perlihatkan kembali kehebatan budaya yang masih tersisa dalam dirimu.[ASFRIYANTO]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar