Namanya Halifu, sudah sepuluh tahun ia bertugas menjadi tunggunaga atau penjaga mesjid yang salah satu tugasnya adalah pemukul beduk di mesjid keraton Kesultanan Buton. Ia mulai mengabdikan dirinya sbegai tunggunaga setelah ia memasuki masa pensiun sebagai PNS di lingkup pemerintahan Kabupaten Buton. Diusianya yang ke-66 ini, ia tidak banyak berharap “Ya, kewajiban untuk menjadi tunggunaga di mesjid keraton ini turun temurun, sayang saya baru bisa memenuhinya ketika saya pensiun” ujarnya.
Jumat masih pagi ketika Halifu saya temui di pelataran mesjid keraton Buton. Sehari sebelumnya ia telah berjanji akan memperkenalkan kepada saya tentang sudut-sudt mesjid dan makna simbolik dari arsitektur mesjid tua itu. Sambil berkeliling ia menyebutkan ”anak tangga mesjid yang jumlahnya sembilan belas itu melambangkan 17 rakaat dalam salat wajib dan 2 rakaat salat sunat” jelasnya. “Sedangkan 12 pintu mesjid melambangkan 12 lubang pada tubuh manusia” lanjutnya lagi. Puas menerima penjelasan mengenai bentuk fisik mesjid yang sedikit berbau mistik tersebut, saya sedikit percaya, simbolisasi tubuh manusia, mulai rusuk dan simbol kemaluan laki-laki yang terdapat dalam mesjid itu, dalam pemahaman etnografis adalah bukti nyata bagaimana agama Islam kali pertama datang di satu daerah lebih pada akulturasi yang sangat intim dengan kebudayaan-kebudayaan lokal.
Pertemuan saya dengan Halifu semakin mengasikkan, Beberapa orang perangkat mesjid dari syara hukumu Kesultanan Buton mulai berdatangan ke mesjid. Peristiwa seperti ini tidak akan kita temukan, selain pada hari Jumat. Di antara kaum lelaki yang hendak salat Jumat di tempat tersebut, para perangkat syara hukumu itu sangat mencolok, yang dapat dikenali karena jubah putih mereka yang panjang, sorban melilit di kepala, seuntai tasbih berbulir besar dan sebatang tongkat kebesaran yang tidak pernah terlepas dari tangan. Melihat kedatangan mereka, Hafilu pun bergegas menyambut mereka di ujung tangga, dan itu berarti selesai jumatan Hafilu baru bisa saya temui lagi.
Tepat pukul sepuluh, seuntai kain panjang putih disusun Hafilu bersama tunggunaga yang lain, telah menghampar dari ujung mihrab ke pintu utama mesjid. Konon itulah jalan menuju Arsy Tuhan yang akan dilalui oleh sang iman mesjid. Di ujung kain putih itu mihrab telah pula dihiasi dengan kain-kain bernuansa putih. Sementara itu, salah seorang tunggunaga yang lain bergegas menabuh gendang besar. ”Tradisi Islam di Buton begitu. Beduk hanya dipukul tiga kali. Beduk itu bukan untuk tanda salat tapi tanda peralihan tiga waktu,” ujar Ansari, seorang tokoh masyarakat menjelaskan. Walaupun masih pukul 10 pagi, Halifu dan ketiga orang temannya lantas bersimpuh di depan pintu mesjid bersiap-siap menyambut kaum lelaki yang hendak salat Jumat di mesjid tersebut.
Secara arsitektural, bentuk mesjid ini tidak banyak berbeda dengan bangunan mesjid kuno lainnya yang ada di Sulawesi Selatan, Atapnya berbentuk limas dengan dua atau tiga tingkatan, dibangun diatas ketinggian, dan tentu saja selalu dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistik dan keramat. Mesjid Keraton Buton sendiri juga memilki pola-pola yang serupa, bedanya hanya, ritual salat Jumat yang menggambarkan perpaduan antara ajaran-ajaran lokal dengan agama Islam lebih mencolok di tempat ini. Misalnya, sebelum salat Jumat tidak dikenal adanya azan pertama seperti yang biasa kita temukan di mesjid-mesjid lain. Hal unik lainnya, jika di mesjid lain yang mengumandangkan azan hanya seorang saja, maka kumandang azan di mesjid ini dilakukan oleh empat orang sekaligus, dengan irama yang tentu saja berbeda satu sama lainnya.
Salat Jumat di Buton memiliki sejarah yang cukup panjang. Hal ini berkaitan dengan masuknya tradisi Islam dan tasawauf ke daerah ini sekitar lima abad yang lalu oleh seorang ulama yang dipercaya datang dari negeri arab yang bernama Syekh Abdul Wahid. Karena itu, orang Buton percaya, bahwa jauh sebelum kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi, Kerajaan Buton telah menjadikan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Menariknya, dari jejak naskah kuno beraksara Jawi (Arab Melayu) yang berbahasa Buton dan Melayu, kitab-kitab kuno tasawuf semisal Hamzah Fanusuri dan berbagai risalah tasawuf dari dunia melayu banyak ditemukan di daerah ini. Karena itu, orang juga beranggapan tradisi Islam di Buton mendapat pengaruh dari Aceh atau Johor. Namun terlepas dari perdebatan tersebut bagi Mujazy (68), yang selama ini dipercaya menyimpan kepustakaan Kesultanan Buton menyebutkan ”Itu berasal dari salinan tangan Sultan Dayanu Ikhsanuddin”.
Melengkapi kejayaan Kesultanan Buton, bukti arkeologis menunjukkan bahwa tata kota ini dulunya dibangun dengan pertimbangan yang cukup matang. Hampir seluruh kawasan ibukota kerajaan dikelilingi oleh benteng yang kukuh. Apalagi setelah ekspansi kerajaan Gowa terhadap kerajaan ini semakin kuat pasca pelarian Arung Palakka ke Buton pada pada abad ke-17. Sepanjang pantai timur dan barat pulau Buton, juga di gugusan kepulauan Wakatobi, benteng-benteng Kerajaan Buton pada masa lalu betebaran. Selain untuk mempertahankan diri dari serangan kerajaan Gowa, hal itu juga untuk menghambat ekspedisi militer kerajaan Ternate. Di kota Bau-bau, wilayah pemekaran dari Kabupaten Buton, paling tidak tecatat 45 benteng batu, baik yang masih utuh maupun yang tinggal bagian pondasi saja. Bahkan kota itupun sebenarnya di bangun di atas reruntuhan bangunan benteng Buton tersebut. Di sudut-sudut kota, kita dengan mudah mendapatkan sepotong meriam besar lengkap dengan pelurunya tergeletak begitu saja, tidak terawat.
Tepat pukul 12 siang. Dikawal oleh Halifu, sang imam memasuki pintu mesjid dan melangkah di atas bentangan kain putih dan langsung menuju tempatnya di bagian terdepan mesjid. Di bagian ini, ditutupi oleh sejadah yang berwarna putih, konon disitulah terletak pusar bumi, penghubung antara dunia langit dan dunia bawah. Karena itu, posisi imam menjadi sangat penting dalam struktur Kesultanan Buton. Imam tidak hanya pemimpin spritual tetapi juga pelindung negeri. Atau bagi orang Buton, seorang Imam adalah Sultan batin, penjaga dunia gaib. Karenanya, selain dipenuhi nuansa mitis dan sakral, pemilihan seoarang imam mesjid juga didasarakan pada pengetahuannya yang cukup dalam tentang aspek syariat, hakikat dan makrifat dalam tradisi sufistik Islam. Tetapi, walapun mendekati status sosial yang tinggi, imam mesjid dapat dipecat karena alasan-alasan yang sepele saja, semisal lupa membawa tasbih, atau hanya kesalahan dalam memegang tongkat.
Shaf terdepan dalam Jumat kali ini diisi oleh syara hukumu Kesulatanan Buton dengan jubah-jubah putihnya dan beberapa orang berbaju batik. Walaupun tidak di posisi terdepan, saya cukup nyaman berhasil mengikuto salat dari lantai dua di sudut kiri. Dari situ saya dapat melihat seluruh jemaah Jumat di lantai dasar dengan leluasa, kaum lelaki yang terlambat berusah untuk masuk ke dalam mesjid, suasana agak kacau sedikit. Halifu saya lihat masih saja duduk di muka pintu, berdesakan Suasana itu berubah ketika imam mulai memimpin salat. Alunan suaranya yang berat membangun suanana mistis. Suaranya menggema terpantul di dinding dan pengaruh tiupan angin dari sela-sela ventilasi mungkin sengaja dirancang untuk untuk menimbulkan efek gema tersebut. Sehingga bagi saya, salat Jumat ini terasa berbeda. “Dulu ketika lantai mesjid belum di tegel, desah suara imam bisa terdengar, bahkan dulu gema bunyi beduk mesjid bisa terdengar sampi ke pulau Kabaena.” Demikian Halifu menjelaskan seusai selesai shalat Jummat.
Ketika saya hendak beranjak pulang, Halifu kembali ke dalam mesjid. Seperti biasa, setiap Jumat di mesjid keraton ini, para syara hukumu yang berjumlah 20 orang itu dan imam mesjid akan mengadakan ritual tolak bala. Prosesi itu diadakan tepat di tengah mesjid. Dipimpin oleh imam, mereka melingkar mengelilingi pedupaan dengan asap yang mengepul. Zikir dan puji-pujian kepada Allah menyatu. Saya sangat menikmati pesona mistis itu, namun ada satu yang cukup mengherankan saya: di depan imam, duduk seseorang dengan pakaian batik dan mengenakan peci hitam. Dia terlihat menjabat erat tangan imam, sementara itu syara hukumu yang lain tetap asyik melantunkan puji-pujian. Tidak ada yang aneh sampai prosesi itu berakhir dan saya menyalami mereka semua di pintu keluar mesjid. Namun setelah di halaman mesjid, saya jadi terpana dan terkejut. Lelaki yang berbaju batik tadi dengan peci hitam itu saya hapal sekali. Ya saya telah melihat banyak posternya terpajang di sudut kota Bau-Bau dengan berpakaian seragam angkatan laut, ya dia salah satu calon kandidat gubernur Sulawesi Tenggara untuk tahun 2008!!!. Saya jadi teringat kembali, dia termasuk orang yang juga tadi salat di shaf terdepan, Ia orang penting yang meski datang belakangan, mampu menggeser tempat jemaah lainnya yang datang duluan ke mesjid.[ASFRIYANTO]
Jumat masih pagi ketika Halifu saya temui di pelataran mesjid keraton Buton. Sehari sebelumnya ia telah berjanji akan memperkenalkan kepada saya tentang sudut-sudt mesjid dan makna simbolik dari arsitektur mesjid tua itu. Sambil berkeliling ia menyebutkan ”anak tangga mesjid yang jumlahnya sembilan belas itu melambangkan 17 rakaat dalam salat wajib dan 2 rakaat salat sunat” jelasnya. “Sedangkan 12 pintu mesjid melambangkan 12 lubang pada tubuh manusia” lanjutnya lagi. Puas menerima penjelasan mengenai bentuk fisik mesjid yang sedikit berbau mistik tersebut, saya sedikit percaya, simbolisasi tubuh manusia, mulai rusuk dan simbol kemaluan laki-laki yang terdapat dalam mesjid itu, dalam pemahaman etnografis adalah bukti nyata bagaimana agama Islam kali pertama datang di satu daerah lebih pada akulturasi yang sangat intim dengan kebudayaan-kebudayaan lokal.
Pertemuan saya dengan Halifu semakin mengasikkan, Beberapa orang perangkat mesjid dari syara hukumu Kesultanan Buton mulai berdatangan ke mesjid. Peristiwa seperti ini tidak akan kita temukan, selain pada hari Jumat. Di antara kaum lelaki yang hendak salat Jumat di tempat tersebut, para perangkat syara hukumu itu sangat mencolok, yang dapat dikenali karena jubah putih mereka yang panjang, sorban melilit di kepala, seuntai tasbih berbulir besar dan sebatang tongkat kebesaran yang tidak pernah terlepas dari tangan. Melihat kedatangan mereka, Hafilu pun bergegas menyambut mereka di ujung tangga, dan itu berarti selesai jumatan Hafilu baru bisa saya temui lagi.
Tepat pukul sepuluh, seuntai kain panjang putih disusun Hafilu bersama tunggunaga yang lain, telah menghampar dari ujung mihrab ke pintu utama mesjid. Konon itulah jalan menuju Arsy Tuhan yang akan dilalui oleh sang iman mesjid. Di ujung kain putih itu mihrab telah pula dihiasi dengan kain-kain bernuansa putih. Sementara itu, salah seorang tunggunaga yang lain bergegas menabuh gendang besar. ”Tradisi Islam di Buton begitu. Beduk hanya dipukul tiga kali. Beduk itu bukan untuk tanda salat tapi tanda peralihan tiga waktu,” ujar Ansari, seorang tokoh masyarakat menjelaskan. Walaupun masih pukul 10 pagi, Halifu dan ketiga orang temannya lantas bersimpuh di depan pintu mesjid bersiap-siap menyambut kaum lelaki yang hendak salat Jumat di mesjid tersebut.
Secara arsitektural, bentuk mesjid ini tidak banyak berbeda dengan bangunan mesjid kuno lainnya yang ada di Sulawesi Selatan, Atapnya berbentuk limas dengan dua atau tiga tingkatan, dibangun diatas ketinggian, dan tentu saja selalu dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistik dan keramat. Mesjid Keraton Buton sendiri juga memilki pola-pola yang serupa, bedanya hanya, ritual salat Jumat yang menggambarkan perpaduan antara ajaran-ajaran lokal dengan agama Islam lebih mencolok di tempat ini. Misalnya, sebelum salat Jumat tidak dikenal adanya azan pertama seperti yang biasa kita temukan di mesjid-mesjid lain. Hal unik lainnya, jika di mesjid lain yang mengumandangkan azan hanya seorang saja, maka kumandang azan di mesjid ini dilakukan oleh empat orang sekaligus, dengan irama yang tentu saja berbeda satu sama lainnya.
Salat Jumat di Buton memiliki sejarah yang cukup panjang. Hal ini berkaitan dengan masuknya tradisi Islam dan tasawauf ke daerah ini sekitar lima abad yang lalu oleh seorang ulama yang dipercaya datang dari negeri arab yang bernama Syekh Abdul Wahid. Karena itu, orang Buton percaya, bahwa jauh sebelum kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi, Kerajaan Buton telah menjadikan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Menariknya, dari jejak naskah kuno beraksara Jawi (Arab Melayu) yang berbahasa Buton dan Melayu, kitab-kitab kuno tasawuf semisal Hamzah Fanusuri dan berbagai risalah tasawuf dari dunia melayu banyak ditemukan di daerah ini. Karena itu, orang juga beranggapan tradisi Islam di Buton mendapat pengaruh dari Aceh atau Johor. Namun terlepas dari perdebatan tersebut bagi Mujazy (68), yang selama ini dipercaya menyimpan kepustakaan Kesultanan Buton menyebutkan ”Itu berasal dari salinan tangan Sultan Dayanu Ikhsanuddin”.
Melengkapi kejayaan Kesultanan Buton, bukti arkeologis menunjukkan bahwa tata kota ini dulunya dibangun dengan pertimbangan yang cukup matang. Hampir seluruh kawasan ibukota kerajaan dikelilingi oleh benteng yang kukuh. Apalagi setelah ekspansi kerajaan Gowa terhadap kerajaan ini semakin kuat pasca pelarian Arung Palakka ke Buton pada pada abad ke-17. Sepanjang pantai timur dan barat pulau Buton, juga di gugusan kepulauan Wakatobi, benteng-benteng Kerajaan Buton pada masa lalu betebaran. Selain untuk mempertahankan diri dari serangan kerajaan Gowa, hal itu juga untuk menghambat ekspedisi militer kerajaan Ternate. Di kota Bau-bau, wilayah pemekaran dari Kabupaten Buton, paling tidak tecatat 45 benteng batu, baik yang masih utuh maupun yang tinggal bagian pondasi saja. Bahkan kota itupun sebenarnya di bangun di atas reruntuhan bangunan benteng Buton tersebut. Di sudut-sudut kota, kita dengan mudah mendapatkan sepotong meriam besar lengkap dengan pelurunya tergeletak begitu saja, tidak terawat.
Tepat pukul 12 siang. Dikawal oleh Halifu, sang imam memasuki pintu mesjid dan melangkah di atas bentangan kain putih dan langsung menuju tempatnya di bagian terdepan mesjid. Di bagian ini, ditutupi oleh sejadah yang berwarna putih, konon disitulah terletak pusar bumi, penghubung antara dunia langit dan dunia bawah. Karena itu, posisi imam menjadi sangat penting dalam struktur Kesultanan Buton. Imam tidak hanya pemimpin spritual tetapi juga pelindung negeri. Atau bagi orang Buton, seorang Imam adalah Sultan batin, penjaga dunia gaib. Karenanya, selain dipenuhi nuansa mitis dan sakral, pemilihan seoarang imam mesjid juga didasarakan pada pengetahuannya yang cukup dalam tentang aspek syariat, hakikat dan makrifat dalam tradisi sufistik Islam. Tetapi, walapun mendekati status sosial yang tinggi, imam mesjid dapat dipecat karena alasan-alasan yang sepele saja, semisal lupa membawa tasbih, atau hanya kesalahan dalam memegang tongkat.
Shaf terdepan dalam Jumat kali ini diisi oleh syara hukumu Kesulatanan Buton dengan jubah-jubah putihnya dan beberapa orang berbaju batik. Walaupun tidak di posisi terdepan, saya cukup nyaman berhasil mengikuto salat dari lantai dua di sudut kiri. Dari situ saya dapat melihat seluruh jemaah Jumat di lantai dasar dengan leluasa, kaum lelaki yang terlambat berusah untuk masuk ke dalam mesjid, suasana agak kacau sedikit. Halifu saya lihat masih saja duduk di muka pintu, berdesakan Suasana itu berubah ketika imam mulai memimpin salat. Alunan suaranya yang berat membangun suanana mistis. Suaranya menggema terpantul di dinding dan pengaruh tiupan angin dari sela-sela ventilasi mungkin sengaja dirancang untuk untuk menimbulkan efek gema tersebut. Sehingga bagi saya, salat Jumat ini terasa berbeda. “Dulu ketika lantai mesjid belum di tegel, desah suara imam bisa terdengar, bahkan dulu gema bunyi beduk mesjid bisa terdengar sampi ke pulau Kabaena.” Demikian Halifu menjelaskan seusai selesai shalat Jummat.
Ketika saya hendak beranjak pulang, Halifu kembali ke dalam mesjid. Seperti biasa, setiap Jumat di mesjid keraton ini, para syara hukumu yang berjumlah 20 orang itu dan imam mesjid akan mengadakan ritual tolak bala. Prosesi itu diadakan tepat di tengah mesjid. Dipimpin oleh imam, mereka melingkar mengelilingi pedupaan dengan asap yang mengepul. Zikir dan puji-pujian kepada Allah menyatu. Saya sangat menikmati pesona mistis itu, namun ada satu yang cukup mengherankan saya: di depan imam, duduk seseorang dengan pakaian batik dan mengenakan peci hitam. Dia terlihat menjabat erat tangan imam, sementara itu syara hukumu yang lain tetap asyik melantunkan puji-pujian. Tidak ada yang aneh sampai prosesi itu berakhir dan saya menyalami mereka semua di pintu keluar mesjid. Namun setelah di halaman mesjid, saya jadi terpana dan terkejut. Lelaki yang berbaju batik tadi dengan peci hitam itu saya hapal sekali. Ya saya telah melihat banyak posternya terpajang di sudut kota Bau-Bau dengan berpakaian seragam angkatan laut, ya dia salah satu calon kandidat gubernur Sulawesi Tenggara untuk tahun 2008!!!. Saya jadi teringat kembali, dia termasuk orang yang juga tadi salat di shaf terdepan, Ia orang penting yang meski datang belakangan, mampu menggeser tempat jemaah lainnya yang datang duluan ke mesjid.[ASFRIYANTO]
1 komentar:
numpang ralat.
Yang benar TUNGGUNAGANDA Bukan tungunaga.
Artikelnya bagus hanya saja kurang pendalaman dan terlalu banyak dogma dan kesalahan tulis
Rusman ode
Posting Komentar