Perairan Teluk Bone adalah hamparan nafkah bagi warga pesisir di Kabupaten Bone dan Sinjai. Karena laut di kawasan itu menyediakan tumbuhan dan hewan, yang bisa terus dikais dan menjadi sumber kehidupan. Dan, bagan apung merupakan salah satu alat pengumpul ikan terbesar, yang masih tersisa di perairan tersebut. Bagan apung juga masih mengabadikan tradisi punggawa-sahi ala nelayan Suku Bugis.
Haji Bedu merupakan salah seorang warga Suku Bugis, yang melanjutkan tradisi punggawa-sahi. Ia memiliki dua bagan apung yang berada di tengah perairan Teluk Bone. Karena, setiap sore, ia harus melaut untuk mengawasi kegiatan para sahi atau pekerjanya, yang tengah mengumpulkan ikan.
Tradisi punggawa-sahi menggambarkan sistem kerja antara juragan dan bawahan, atau pemilik bagan apung dan pekerjanya. Tradisi itu memberikan kekuasaan penuh seorang punggawa, untuk memberdayakan para sahinya. Punggawa menjadi sentral kebijakan seluruh kegiatan di atas bagan apung. Termasuk soal penggajian.
Seperti juga nelayan Suku Bugis lainnya, hubungan punggawa-sahi ini biasanya terjadi karena persaudaraan. Misalnya saja, Haji Bedu, yang memilih keponakan dan anak-anak sanak familinya. Umumnya mereka masih dalam usia sekolah.
Geliat kegiatan bagan apung dimulai, ketika matahari tenggelam di ufuk barat. Persisnya, ketika seorang sahi menghidupkan alat pembangkit listrik. Dulu, Haji Bedu menggunakan lampu petromaks untuk pemancing ikan-ikan di bawah bagan apung. Seiring dengan perkembangan zaman, kini ia menggunakan berbagai jenis lampu listrik. Karena itu, biaya kegiatan pencarian ini pun menjadi lebih mahal. Paling tidak, setiap hari ia harus menyediakan uang hingga 200 ribu rupiah per hari.
Meskipun demikian, Haji Bedu harus memilih cara terakhir. Karena ia percaya, cahaya dari lampu listrik akan mengundang banyak plakton. Dan itu artinya, akan lebih banyak ikan yang masuk ke atas jaringnya. Setelah jaring diturunkan dan lampu listrik dihidupkan, para sahi harus menunggu saat pengangkatan jaring sekitar empat jam. Sehingga, mereka pun memiliki waktu luang untuk bercengkerama bersama teman-temannya atau beristirahat.
Waktu beristirahat terasa begitu cepat. Maka, Haji Bedu pun kembali mengerahkan para sahinya, untuk melakukan pengangkatan jaring.
Tidak banyak ikan yang didapat haji bedu pada putaran pertama tersebut. Ia yakin, hal ini akibat datangnya musim angin timur. Meskipun demikian, ia harus tetap melaut bersama bagan apungnya. Karena, selain mempertimbangkan nafkah keluarga, ia juga harus bertanggungjawab atas penghasilan para sahinya.
Setelah ikan-ikan dikumpulkan di loa, para sahi pun kembali menurunkan jaring-jaring ke bawah air. Kini, mereka bersiap-siap menunggu pengangkatan ikan putaran kedua.
Haji Bedu terbilang merupakan punggawa yang disegani para sahinya. Karena, selain merupakan pemilik bagan apung seharga sekitar 100 juta rupiah tersebut, ia juga memiliki keterampilan yang telah teruji. Dengan bekal pengalaman 40 tahun mengais nafkah di perairan
Pesisir Teluk Bone di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, adalah tempat bermukimnya para nelayan Suku Bugis. Setiap warga di kampung ini akan memilih laut sebagai tumpuan terakhir hidupnya. Bahkan, anak-anak usia sekolah pun lebih memilih laut dibandingkan bangku sekolah. Dan, bagan apung seakan menjadi sekolah dasar mereka.
Kenyataan tersebut, juga terlihat di bagan apung milik Haji Bedu. Beberapa sahinya memang masih dalam usia sekolah. Dan dengan kesadarannya sendiri, mereka lebih memilih menjadi sahi dan terapung di atas bagan apung selama empat bulan, hanya untuk upah sekitar 500 ribu rupiah. Padahal, resiko yang harus dipikul oleh mereka terbilang tidak kecil.
Dalam semalam, paling tidak para sahi harus melakukan mengangkatan jaring sebanyak tiga kali. Hasil tangkapan itulah yang langsung dibawa Haji Bedu ke kampung Cappa Ujung, untuk dijual ke para tengkulak ikan. Kelak para tengkulak ikan inilah yang akan membawanya ke pasar.
Kegiatan bagan apung tidak pernah terhenti di satu titik. Bagan apung milik Haji Bedu akan bergerak, ketika dirasakan lokasi itu tidak lagi memberikan banyak ikan. Seiring dengan itu, putaran kehidupan di atas bagan apung ini pun terus bergulir. Di saat seperti itu, para sahi akan melanjutkan rutinitasnya. Tanpa pernah merasa takut dan menimbang resiko bahaya, yang senantiasa mengincarnya.
Laut dan bagan apung adalah dunia sempit para sahi, dengan punggawa sebagai pimpinan adatnya. Tradisi itu sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Dan, mereka ikhlas menjadi bagian dari perjalanan sebuah budaya maritim. Atau, karena tidak adanya keberanian untuk mencoba kehidupan lain?
Sekolah dasar maritim milik punggawa Haji Bedu itu adalah pembuka jalan bagi kegiatan kelautan lainnya. Pada babak selanjutnya, mereka bisa kelak akan membangun bagan tancap atau menjadi nelayan biasa. Bahkan, mereka pun bisa menjadi bagian dari penyelam-penyelam alam di perairan Teluk Bone, yang menyediakan kekayaan laut yang melimpah.
TIM PRODUKSI:
"Kisah Punggawa Bagan Apung"; Syaiful Halim (Penulis Naskah); Budi Sukmadianto (Penata Gambar); Agus Salim Harahap (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono & Asfriyanto (Periset); M. Jaffar, Burhan Gobin, Tamrin Soppeng, dan Guntur (Pendukung Produksi); H Bedu & Kru Bagan Apung (Talent). Diproduksi di Bone, Sulsel, pada 4-20 Maret 2006. Ditayangkan di Program Potret SCTV pada 15 April 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar