Suatu ketika saya diminta berbicara teknik produksi feature oleh sebuah lembaga pendidikan di Gorontalo. Lantas seorang peserta bertanya tentang perasaan saya menjadi jurnalis televisi. Pertanyaan yang teramat sederhana. Dan, wartawan pemula sekali pun akan mudah menjawabnya. Bahkan lengkap dengan segala remeh-temehnya. Saya menduga, pertanyaan itu pun sekedar uji nyali sang peserta agar terbiasa menjadi berani di berbagai forum pertemuan. Karena mereka memang calon-calon jurnalis.
Saat itu, saya pun mencoba menjawabnya seringan mungkin. Dalam artian, saya hanya memaparkan apa-apa yang bisa mereka lihat secara jelas. Misal, kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh ternama, kesempatan berpergian ke berbagai daerah dengan segala fasilitasnya, dan tentu saja kesempatan menghimpun pelajaran tentang hidup. Dua jawaban terdepan adalah kenyataan yang nyaris didapatkan oleh kalangan wartawan dari media massa mana pun. Bahkan, siapa pun bisa menyepakatinya tanpa berpikir panjang. Jawaban terakhir? Ups, apa tidak mengada-ada? Atau, sekadar menghiperbolakan persoalan?
Saya sempat berpikir panjang tentang makna “pelajaran hidup” dari pernyataan yang pernah saya ungkapkan itu. Saya sangat yakin jawaban itu tidak salah. Karena, toh saya melontarkan jawaban itu berdasarkan apa-apa yang terekam otak kiri-kanan saya selama bertahun-tahun. Sebaliknya, apakah mahasiswa yang mendengarkan jawaban itu akan memahami dan memaknainya seperti yang saya maksudkan? Belum tentu. Biar bagaimana pun, pengetahuan dan pengalaman mereka masih teramat sedikit untuk memahami pelajaran tentang hidup. Terutama, memaknai pesan-pesan yang didapat dari kehidupan itu sendiri.
Berbekal dari konflik batin itu, saya jadi bersemangat untuk menuliskan cerita tentang profesi jurnalis televisi dan pelajaran hidup yang terekam di dalamnya. Niatan awalnya, karena ingin membuktikan kebenaran atas keyakinan saya itu. Sehingga, konflik batin itu bisa tersalurkan secara positif. []