Kota Palembang, saat mendekati bulan Ramadhan di awal September 2007. Ribuan warga kota ini dan para habaib dari berbagai kota, berkumpul menjadi satu dan membentuk barisan panjang. Mereka menyebutnya sebagai ziarah kubro, yakni kegiatan mendatangi makam para wali atau auliya di kota ini secara massal. Tujuannya, adalah untuk menaburkan doa-doa, sambil mengenang perjuangan dan kemuliaan para fisabilillah, atau orang-orang yang berjuang untuk Yang Mahatinggi.
Fenomena berziarah ke makam para wali atau keluarga dekat, kerap dianggap sebagai warisan pra-Islam. Karena itu, fenomena itu bisa ditemui di negara Islam mana pun. Termasuk, tempat asal-muasal agama Islam dikembangkan, yakni kawasan Timur Tengah, dengan Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wassalam, sebagai tokoh sentralnya. Setelah sang Rasul wafat, para keturunannya yang disebut ahlul ba’it, memegang peranan penting dalam penyebaran agama Islam. Sisi lain, mereka juga kerap dianggap sebagai pewaris spiritual Rasulallah, dan berhak mencantumkan gelar-gelar syarif atau sayyid sebagai simbol bangsawan spiritual.
Garis keturunan secara lahiriah ini, kerap diangap sebagi jembatan langsung untuk menjangkau sang Nabi terakhir. Bahkan, mereka pun dianggap sebagai wali, sang pelindung, yang mencintai dan dicintai oleh Dzat Yang Mahasempurna. Karena itu, makam para wali, atau secara jamak disebut auliya, dianggap memiliki barokah untuk mendapatkan syafaat dari Rasulallah. Sehingga, ziarah ke makam para wali pun menjadi tradisi tahunan sejak tahun 70-an.
Hampir setiap mendekati Ramadhan, kota ini menjadi pusat perhatian umat Islam dari mana pun. Lebih khusus lagi, para habaib, atau orang-orang yang memiliki garis keturunan dari Rasulallah. Karena, komunitas habaib itulah yang merasa paling berkepentingan untuk mengunjungi makam-makam para wali, yang ternyata merupakan para leluhurnya sendiri.
Kota Palembang di masa silam adalah kejayaan Kerajaan Sriwijaya di masa pra-Islam, dan kebesaran Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-13. Kesultanan Palembang Darussalam berkembang, setelah kehancuran Kerajaan Sriwijaya dan kekosongan kekuasaan selama sekitar dua abad. Pimpinan Islam yang pertama kali berkuasa di Palembang adalah Sultan Mughni. Saat itu, Palembang juga masih bagian dari Kerajaan Majapahit.
Kesultanan Palembang Darussalam makin semarak, setelah Sultan Mahmud Badaruddin I berkuasa. Genderang syiar Islam terus terdengar, dan tatanan budaya yang bersendikan Islam di kota ini pun, kian kokoh. Nama besar sang Sultan, ternyata masih berkaitan dengan wali songo dan sultan-sultan di Kesultanan Demak Bintoro.
Begitu kuatnya hubungan darah keluarga Kesultanan Palembang Darussalam dengan wali songo hingga Rasulallah salallahu ‘alaihi wassalam, maka mereka pun dekat dengan kaum pedagang atau ulama dari jazirah Arab. Sebagian besar dari para ulama itu berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan, tempat salah seorang keturunan sang Rasul bermukim. Mereka dikenal sebagai komunitas Keluarga Allawiyin, yakni keturunan ke-12 dari Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wassalam. Dan, sebagian besar warga keturunan arab yang bermukim di kota Palembang, umumnya berasal dari Keluarga Allawiyin.
Eratnya hubungan antara keluarga Kesultanan Palembang Darussalam dan para habib dari Hadramaut, adalah diangkatnya para habib itu sebagai guru di lingkungan istana. Penghormatan keluarga kesultanan terhadap keturunan ahlul bait itu, juga ditunjukkan dengan kehadiran makamnya yang dekat dengan makam sang Sultan. Kesatuan antara makam guru dan murid.
Pada akhirnya, para habib itu memang menjadi imam kubur, ulama yang seakan mendampingi muridnya yang sultan, sejak hidup hingga ke liang lahat. Imam kubur di dekat makam Sultan Mahmud Badaruddin I adalah Al Habib Abdullah bin Idrus Alaidrus. Namun, selain sang imam kubur, nama Sultan Mahmud Badaruddin I pun memiliki kemuliaan tersendiri di mata para penziarah. Karena, selain masih keturunan ahlul bait, sang Sultan merupakan ulama dan pemimpin yang arif bijaksana. Bahkan, para sejarahwan menjulukinya sebagai tokoh pembangunan Palembang modern.
Ikatan lahir dan batin antara Hadramaut dan Palembang, adalah buah sejarah panjang yang digelar para habib, ulama, atau wali, asal Hadramaut di kota Palembang, berabad-abad yang silam. Kehadiran para auliya membuat warna Islam di kota Palembang kian semarak, dan memperkuat perjuangan para wali songo dan ulama-ulama lain, untuk mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan kedamaian.
Semakin siang, suasana ziarah kubro kian semarak. Iring-iringan para penziarah terus bergerak. Kali ini, tujuan mereka mengarah ke areal Pemakaman Kambang Koci, tempat dimakamnya puluhan wali dan keluarga Kesultanan Palembang Darussalam.
Meski areal pemakamannya lebih sederhana, namun para penziarah merasa yakin, di tempat inilah jasad para ulama besar asal Hadramaut dimakamkan. Para habaib masih menyimpan nama-nama besar dan kemuliaan yang ditorehkan oleh para wali ini. Sejarah mencatat, para ulama yang kini namanya tengah diagungkan ini berjuang dan bergerak ke seluruh pelosok Sumatera Selatan, untuk menyiarkan Islam.
Dan, perjuangan dan kemuliaan mereka itulah, yang kini terus disimpan oleh keturunannya yang bermukim di kota Palembang dan kota-kota lain. Sehingga, mereka pun seakan menjadikan palembang seperti Hadramaut, kota penuh sejarah, makam para waliyullah, dan juga tempat kelahiran para leluhurnya.
Sehingga, mereka merasa wajib untuk terus berdatangan setiap menjelang bulan Ramadhan, meski sekedar menemui makam dan mendoakan arwah auliya. Yakni, orang-orang terpilih, yang mampu melindungi islam dan umatnya, serta senantiasa mencintai dan dicintai oleh Yang Maha Memiliki Cinta.
Palembang sebagai Hadramaut Kedua, bukan hanya tempat peristirahatan terakhir para wali dan keturunan ahlul bait. Tapi, juga tempat berseminya nuansa cinta, kaum muslim terhadap Rasul pilihannya dan para pejuang-pejuang Islam.
"Negeri Para Wali"; Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Dwi Nindyas Putra (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Syamsul Fajri (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono (Periset); Diproduksi di Palembang, Sumsel, pada 31 Agustus s/d 5 September 2007. Ditayangkan di Program POTRET SCTV pada 15 September 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar