Tiga tahun yang lalu – ketika masih harus mengarungi laut demi laut, melintasi sungai demi sungai, menaiki gunung demi gunung, menapaki hutan demi hutan, dan menghampiri satu demi satu suku terasing di tanah air – sempat membuat catatan kecil di laman blog saya. Bukan sekedar catatan, sebenarnya. Buat saya, hal itu merupakan monumen untuk mengingat sebuah situasi atau perjalanan hidup. Persisnya, ketika bekerja di program POTRET. Isinya seperti ini:
Membuat film dokumenter atau feature TV sama dengan membangun sebuah bangunan indah. Ia bukan hanya membutuhkan "tukang-tukang" yang cerdas dan berpengalaman, tapi juga perlu dukungan pemilik bangunan, mandor, serta bahan baku yang memadai. Sulit jadinya, memang. Tapi, itulah konsekuensi berkesenian.
Bagian tersulit adalah ketika premis dibangun bersama pemilik dan mandor bangunan -- yang tidak cerdas dan berpengalaman. Hasilnya, bukan hanya membuat proses kerja jadi tidak bermakna. Tapi, hasilnya pun senantiasa tidak membahagiakan sang pemilik bangunan dan mandor. Maka, sia-sialah, buah yang harus dipetik.
Bagian tersulit lain adalah ketika "tukang" atau "kenek" juga bertanya; pemilik bangunan dan mandor tahu nggak sih kita kerja? Dosa rasanya, membangunkan keyakinan pada harapan yang belum pasti. Padahal, sebagai “tukang” handal, kita mesti mengabaikan pujian atau harapan-harapan yang pasti. Namun, menikmati proses itu sendiri jauh lebih berarti.
Di luar pemilik bangunan dan mandor, rancangan premis yang ngawur, kesungguhan hati yang sia-sia, keyakinan yang terabaikan, kami cuma memiliki satu modal; berwasiatlah tentang kesabaran dan kebenaran. Akhirnya, hasil bangunan pun berat jadinya. Tapi, inilah buah dari kesungguhan, keyakinan, dan keterperihan hati.
Terima kasih buat para "tukang" dan "kenek" yang masih ingin dibuai wasiat tentang kesabaran dan kebenaran. Gusti Allah akan senantiasa menyinggahi fawaid kita. Subhanallah...
"Bisa bertahan saja sudah merupakan kemenangan". (Xinran, Sky Burial, Serambi)
Ketika catatan itu ditulis, saya tidak pernah memikirkan dampak atau resiko yang harus diambil. Karena, tulisan itu hanyalah monumen untuk diri-pribadi dan tidak ada kaitannya dengan siapa pun. Meski tidak ada reaksi langsung di hadapan saya, sejumlah teman sempat mengingatkan akan ketersinggungan pihak-pihak yang kemungkinan dimaksud sebagai mandor atau pemilik bangunan. Jawaban saya, haknya mereka untuk tersinggung atay marah. Tapi, haknya saya juga untuk mengenang segala perlakukan dan “apreasiasi” yang didapat dari mandor atau pemilik bangunan itu.
Tapi, saya tidak akan berpanjang-panjang tentang siapa yang dimaksud sebagai mandor atau pemilik bangunan dalam konteks itu. Serta, hal apa yang melatarbelakangi penulisan catatan kecil itu. Sekali monumen tetap monumen. Jadi, fungsinya tak lebih dari tugu peringatan. Jadi, tidak dikondisikan untuk “menghajar” atau mempermalukan pihak mana pun. Kenapa harus blog? Karena, hanya ruang itu yang saya miliki dan bisa dijumpai para “tukang” atau “kenek” sebebas-bebasnya. Ya, sebagai tugu peringatan juga buat mereka.
Akhir tahun lalu – setelah setahun lebih tidak lagi bekerja untuk program POTRET – saya mendapatkan pesan singkat dari seorang sahabat. Maka, saya pun kembali “membangun” monomen baru dib log saya untuk program dokumenter itu. Isinya seperti ini:
"Sedih, akhirnya dunia kita benar-benar hilang..."
(Pesan singkat dari seorang sahabat, Jumat 07 November 2008 pukul 19:19 WIB)
Sabtu, 15 November 2008 menjadi gong terakhir penayangan program POTRET di layar SCTV (paling tidak dengan kemasan dan tema yang akrab di hati pemirsa selama enam tahun terakhir). Tidak ada surat pemberitahuan resmi. Tidak ada kata perpisahan khusus. Bahkan, tidak ada lagi keharuan. Karena, semua lepas bebas laksana kapas tersapu angin.
Bahkan, saya tidak bisa membalas SMS itu lantaran tidak tahu lagi, apa yang harus dikatakan. Perasaan sedih? Itu sudah terjadi sejak saya berada di dalam tim, tiga tahun yang silam. Air mata? Paling tidak, dua kali saya harus melelehkan air mata. Pertama, ketika menulis tentang almarhum M. Guntur Syaifullah, kamerawan dan sahabat di Liputan6. Dan kedua, ketika Asfriyanto, periset saya di Makassar, terapung-apung hingga enam jam di atas Selat Makassar karena tiang sandeq yang patah. Peristiwa itu juga seakan menjadi firasat, dengan layar sandeq bergambarkan bumper POTRET yang harus masuk ke laut. Ingat lagu rap, "Ke laut aje!"
Karena itu, saya tidak memiliki stok air mata untuk urusan POTRET di"cut to black".
Saya coba ingat catatan kecil ketika berada di dalam tim itu. Atau, ulah para "penggede" yang laksana tuhan (atau lebih tepat disebut Fir'aun) hingga saya bertutur dalam artikel bertajuk "Slamet Gundono Jadi Tuhan". Lantas, ada juga cerita lucu soal penggunaan positioning yang tanpa permisi. Lucu. Hingga, saya tidak memiliki jawaban paling asyik untuk membalas SMS itu, selain "Ya, ikut sedih aja."
Beberapa hari yang lalu, kembali saya menerima pesan singkat tentang program POTRET. Katanya, “Setelah lama ditunggu-tunggu, akhirnya POTRET dapat penghargaan Panasonic Award…”
Kali ini saya bahagia, karena saya melihat rona bahagia dalam kalimat yang disampaikan teman saya tadi. Karena, dalam benaknya pasti terlintas sebuah pemikiran, ternyata sang “anak tiri” mendapatkan pengakuan dari dunia luar. Terlambat?
Tidak ada yang terlambat untuk sebuah kebaikan, kata orang-orang bijak. Pada 2006, POTRET menjadi salah satu nominasi dalam ajang penghargaan itu. Namun, seseorang menangggapi secara secara dingin seraya berkilah, “Wajar saja, POTRET kan program tua.” Artinya, ada ketidakikhlasan dari orang-orang yang sebut sebagai “mandor” atas prestasi itu. Kalimat itulah yang menjadi dasar “pembangunan” monumen pertama seperti diceritakan di atas. Bahkan, ketika program itu dilikuidasi – ketika sebagian besar teman berduka – ternyata para “mandor” tetap tertawa senang. Sehingga, saya pun merasa perlu “membangun” monumen kedua.
Bagi saya, penghargaan yang didapat secara terlambat – karena didapat setelah programnya ditutup – merupakan monumen abadi POTRET. Penghargaan itu menjadi bukti, POTRET pernah ada dan menjadi bagian dari penonton televisi di tanah air. Dan, kalau mau jujur, program itu juga menjadi inspirasi bagi program sejenis yang dibuat stasiun lain. Perkara rating dan share memang hantu-belao yang terus membayangi perjalanan sebuah program televisi. Sehingga, bila kedua hal itu tidak memenuhi target sangat wajar untuk digantikan infotainment atau reality-show yang tidak mendidik sekali pun. Karena, pendirian televisi di negeri kita memang tidak ditujukan untuk mendidik anak-anak bangsa(?)
Sebagai orang yang pernah bekerja di program itu, saya tetap bangga. Karena, kami pernah memberikan warna bagi wajah pertelevisian kita dan menawarkan kisah nyata negeri ini. Saat itu, kami juga bangga, dalam posisi sesulit apa pun masih tetap menghadirkan bentangan ragam budaya kita.[]
2 komentar:
Membaca ini saya terdiam. Ternyata apa yang saya alami masih belum apa2 dibanding rekan2 lain terutama di tim POTRET. Mudah2an saya bisa memanfaatkan keadaan yang cukup kondusif di tempat kerja saya. Sekali lagi, selamat untuk kemenangan POTRET. Saya percaya dokumenter (klasik) tak akan pernah mati.
Sekali lagi, catatan-catatan itu hanya monumen kecil di hati. Dan, teman-teman di POTRET sangat berterima kasih untuk seluruh apresiasi.
Posting Komentar