Juli 16, 2009

CUT TO BLACK

"Sedih, akhirnya dunia kita benar-benar hilang..."
(Pesan singkat dari seorang sahabat, Jumat 07 November 2008 pukul 19:19 WIB)

Sabtu, 15 November 2008 menjadi gong terakhir penayangan program POTRET di layar SCTV (paling tidak dengan kemasan dan tema yang akrab di hati pemirsa selama enam tahun terakhir). Tidak ada surat pemberitahuan resmi. Tidak ada kata perpisahan khusus. Bahkan, tidak ada lagi keharuan. Karena, semua lepas bebas laksana kapas tersapu angin.

Bahkan, saya tidak bisa membalas SMS itu lantaran tidak tahu lagi, apa yang harus dikatakan. Perasaan sedih? Itu sudah terjadi sejak saya berada di dalam tim, tiga tahun yang silam. Air mata? Paling tidak, dua kali saya harus melelehkan air mata. Pertama, ketika menulis tentang almarhum M. Guntur Syaifullah, kamerawan dan sahabat di Liputan6. Dan kedua, ketika Asfriyanto, periset saya di Makassar, terapung-apung hingga enam jam di atas Selat Makassar karena tiang sandeq yang patah. Peristiwa itu juga seakan menjadi firasat, dengan layar sandeq bergambarkan bumper POTRET yang harus masuk ke laut. Ingat lagu rap, "Ke laut aje!"

Karena itu, saya tidak memiliki stok air mata untuk urusan POTRET di"cut to black".

Saya coba ingat catatan kecil ketika berada di dalam tim itu. Atau, ulah para "penggede" yang laksana tuhan (atau lebih tepat disebut Fir'aun) hingga saya bertutur dalam artikel bertajuk "Slamet Gundono Jadi Tuhan". Lantas, ada juga cerita lucu soal penggunaan positioning yang tanpa permisi. Lucu. Hingga, saya tidak memiliki jawaban paling asyik untuk membalas SMS itu, selain "Ya, ikut sedih aja."[]

Tidak ada komentar: