Oktober 14, 2009

N KAPAN PERANCIS, SEJARAH BARU KAMPUNG ARA


Dengan ketelitian tingkat tinggi, berbalut dengan asap kemenyan yang mengepul, sambil berkomatkamit mengucapkan mantra suci, Haji Muslim Baso (65) tampak terampil memangkas potongan kayu besi yang tersisa, dengan bantuan alat pahat. “Orang Perancis yang memesan kapal ini sangat cerewet. Salah satu senti kita bisa dikomplen,” ujarnya sambil mengibaskan peluh di dahinya.

Sudah dua bulan lelaki itu berjibaku mengerjakan pesanan kapal tersebut. Bentuk kapal yang dipesan orang Perancis itu tidak lazim. Dari desain gambar yang diperlihatkan Muslim Baso kepada saya, tampak bentuk kapal itu mirip dengan kapal perang Eropa zaman dahulu, dengan lunas yang tinggi, bentuk haluan yang lebar dan sedikit pepat, serta buritan yang rata dengan air. Selama dua bulan itu pula, Muslim Baso dibantu 20 orang sahi (pekerja), bekerja sedikit demi sedikit mengikuti desain kapal yang didatangkan langsung dari perancis itu , untuk mewujudkan sebuah perahu yang eksotis namun juga sangat kokoh.

Muslim Baso merupakan salah satu punggawa (pemilik modal) sekaligus berperan sebagai panrita lopi atau ahli dalam membuat kapal berbahan kayu. Bukan hanya perahu layar motor (PLM) dan pinisi saja yang bisa dibuatnya, tapi ia juga mampu mengerjakan kapal dengan desain yang disodorkan oleh para pemesan atau yang biasa ia sebut sebagai sambalu.

”Saya sudah mengerjakan sekitar 200 perahu mulai dari tonase 1 ton sampai 1000 ton,” katanya menjelaskan keterlibatannya sejak tahun 1967 sebagai panrita lopi di kawasan pantai Tanah Beru kabupaten Bulukumba, Sulsel. Daerah yang terletak kurang lebih 200 km ke arah selatan Makassar ini, kesohor sebagai sentra pembuatan perahu.

Ia sudah lupa tanggalnya, namun yang pasti ia masih ingat bahwa ia lahir tahun 1952 di kampung Ara, sebuah desa yang terletak sekitar 45 km dari kota Bulukumba. Di kampung Ara itu, ketika Muslim berusia 15 tahun ia sudah dilibatkan oleh orang tuanya untuk membantu pekerjaan membuat perahu pinisi. Lewat ayahnya pula, ia banyak belajar mengenai aturan-aturan adat dan teknis yang berkaitan dengan seluk beluk pembuatan perahu.

”Dulu saya masih ingat, kalau ada yang datang membuat perahu pada ayah saya, mereka cuma bilang saya mau perahu yang bisa menampung 200 pikul beras. Hanya itu. Tidak ada desain kapalnya,” Muslim mengenang masa awal keterlibatannya dalam pembuatan perahu.

Lewat pengalaman-pengalaman itu pula, di galangan kapal sederhana yang disebut bantilang, keinginan pemesan diwujudkan. Hanya dengan naluri alam sebagai pengrajin kapal, ia bersama ayahnya menyusun kepingan-kepingan papan menjadi sebentuk kapal yang diinginkan pembeli. Lama kelamaan, ia mulai dipercaya oleh ayahnya untuk mengerjakan sendiri pembuatan kapal-kapal yang dipesan.

Pada tahun 70-an, ketika bahan baku mulai menyusut di kawasan Bulukumba, seperti para pembuat perahu Ara lainnya, ia kemudian merantau ke Kalimantan dan ke Labuan Bajo, yang merupakan daerah sentra pembuatan perahu kayu tradisonal selain di kawasan Ara dan Tanah Beru. Tiga tahun setelah perantauannya itu, ia kemudian dipanggil pulang ke Ara dan menikah. Menariknya, ia kemudian beralih menjadi pedagang kain Bira dan emas. Pengalaman hidupnya selama diperantauan mengajarkan Muslim bahwa berdagang emas dan kain Bira jauh lebih menguntungkan. Apalagi ketika itu, pesanan perahu kayu mulai digantikan oleh perahu dari bahan fiberglass dan besi. Pilihan itu tidak salah, usaha perdagangannya berkembang dengan pesat sampai saat ini.

Walaupun demikian, ayahnya tidak setuju dengan pilihan hidupnya itu, dan tetap menyarankannya untuk menekuni prosesi sebagai panrita lopi, pertentangan ayah dan anak itu semakin tajam, namun Muslim Baso tetap pada pilihannya, “Sampai saat ini, hasil usaha saya berdagang jauh menguntungkan dibandingkan membuat perahu, apalagi saat ini kayu semakin sulit akibat adanya larangan illegal loging, ” katanya.


Menjual emas, membuka bantilang
Perjalan hidupnya kemudian mengalami titik balik. Tahun 1990-an, kampung Ara mengalami satu fenomena yang menarik. Tiba-tiba saja kaum laki-laki Ara yang selama ini di perantauan, muncul dan berkeliaran di tengah kampung. Ini satu hal yang tidak lazim, sebab biasanya- dan sampai saat ini pun- biasanya hanya kaum perempuan saja yang banyak di tengah kampung, sebab kaum laki-lakinya merantau ke daerah lain bekerja sebagai pembuat perahu.

Muslim tersadar, ia teringat pada pesan ayahnya, dan kehadiran para migran dadakan itu menyadarkannya, bahwa laki-laki Ara, walaupun ahli sebagai pembuat perahu namun hanya bertindak sebagai pekerja (sahi) saja, belum ada orang Ara ketika itu yang bertindak sebagai punggawa yang bisa berperan sebagai pemilik modal untuk mengerjakan perahu. “Saya menjual sebagian emas yang saya miliki, dan mengumpukan mereka, kemudian membuat bantilang kembali. Bagaimana saya tidak sedih, orang Ara dikenal sebagai pembuat perahu tapi sangat susah mendapatkan orang Ara membuat perahu di kampungnya sendiri,” katanya.

Sejak saat itu pula, ia menjadi punggawa perahu sekaligus panrita lopi. Bintang keberuntungan dan ramalan ayahnya terbukti, selain usaha emas dan kainnya, usaha pembuatan kapalnya juga berkembang dengan pesat.

Demi pesanan
Orang Ara percaya, kemampuan mereka membuat perahu lebih karena kedekatan mereka terhadap alam dan sukma laut. Melalui mitos perjalanan Sawerigading, ke tanah Cina orang Ara percaya, bahwa Sawerigading secara tidak langsung telah mengajarkan mereka keahlian membuat perahu melalui kepingan papan kapal Sawerigading yang pecah dalam pelayarannya kembali ke tanah Luwu.

Jika kerangka kapal terdampar di Ara, maka kemudi dan layar kapal Sawerigading yang pecah itu terdampar di Waniaga (nama Bira dahulu), makanya orang-orang Bira ahli dalam berlayar. Terlepas dari mitos tersebut, melalui pelacakan dokumen Belanda, Edward Poelinggomang sejarawan Unhas menyebutkan “Bira adalah nama Sungai Tallo sekarang, Bira dahulu dikenal sebagai sentra pembuat armada perahu kerajaan Gowa, ketika bahan baku semakin sulit, maka pusat pembuatan perahu armada Gowa yang ada di sungai Bira itu kemudian dialihkan ke daerah Waniaga. Lambat laun Waniaga berubah nama menjadi Bira saat ini”.

Terlepas dari fakta sejarah dan mitos tersebut, keahlian para panrita lopi dari Ara sudah terkenal sampai ke mancanegara. “Delapan puluh persen kapal yang saya kerjakan dipesan oleh orang Eropa. Orang-orang kita lebih suka pakai perahu fiberglass,” jelas Muslim.

Rasanya tidak berlebihan penjelasan yang dilontarkan lelaki ini. Buktinya, tahun ini saja, ia sudah menyelesaikan dua kapal motor dan dua kapal pinisi pesanan salah satu LSM luar negeri. Namun ia lantas menambahkan “ Kapal-kapal tradisi semisal padewakang, lambo, palari sudah tidak ada lagi yang membuatnya, pinisi saja jarang dipesan, yang lebih banyak saya buat cuma kapal motor saja.,”

Kapal yang dibuat oleh orang Ara memiliki teknik pembuatan yang tidak lazim dalam seluk beluk teknik perkapalan. Jika pada pembuatan perahu moderen, yang dibuat terlebih dahulu adalah rangka kapal kemudian diberi dinding, maka perahu yang dibuat orang Ara justru kebalikannya. Mereka membuat dinding dahulu, baru kemudian diberi kerangka atau solloro. Namun anehnya ketika proses pengapungan kapal di lautan, desain kapal yang biasanya tanpa gambar dan hanya mengikuti naluri itu, memilki keseimbangan yang luar biasa.

”Perahu kami lebih kuat dan tahan ombak dibandingkan dengan perahu yang dibangun mulai dari rangkanya dulu,” Muslim menjelaskan dengan bangga.

Nah, kapal pesanan orang Perancis yang sedang dikerjakannya itu dibuat dengan cara moderen. Kata Muslim pengerjaannya sangat boros kayu. “Wah, selisih ukuran satu sentimereter langsung dikomplen, makanya banyak kayu yang terbuang.” Namun, karena ini pesanan, ia tidak dapat menolak. Harga perahu ini Rp1,5 miliar dan kata Muslim telah menghabiskan bahan baku senilai Rp500 juta. Pembuatan perahu cara moderen seperti itu baru pertama kali dilakukan di Tanah Beru. Dari sekian banyak panrita lopi yang ada di Tanah Beru, Muslim merupakan orang pertama yang diberi kepecayaan untuk membuatnya.

Kapal kayu pesanan orang Perancis yang dibuat di galangan kapal sederhana milik Muslim itu, tidak lama lagi akan menghias salah satu museum bahari di kota Paris.

Sambil menikmati kelapa muda yang disodokan ahli perahu itu kepada saya, khayalan saya pun terbang membayangkan, di museum itu, para orang kulit putih (dan mungkin juga ada yang berkulit sawo matang dari Indonesia) berjejal dan terkagum-kagum mengamati bentuk kapal buatan Muslim Baso. Celakanya, saya tidak bisa mencegah diri saya mengkhayalkan bahwa sang pemandu museum itu akan berkata dengan bangganya, “Inilah karya nenek moyang orang Perancis yang pernah menjadi bangsa bahari di lautan, menguasai sepertiga samudera, ahli berlayar dan pembuat perahu yang ulung.”

Ah, khayalan yang membuat galau.[ASFRIYANTO]


1 komentar:

MH mengatakan...

Semoga penulis artikel ini masih dalam keadaan sehat. Aaamiiin... Salam hormat Pak! saya sangat senang menemukan tulisan renyah seperti ini, jika berkenan berbagi informasi tentang Ara dan Pinisi mohon dibalas yaa Pak. Terima kasih