Di Dusun Jepang, lokasi komunitas itu, bermukim 216 kepala keluarga dengan 572 jiwa. Bila setiap keluarga menggelar tradisi itu, maka mereka benar-benar tidak memiliki waktu untuk melakukan pekerjaan lain.
"Puncak acara biasanya pada dua hari sebelum puasa," kata Muhammad Miran, tokoh masyarakat di dusun itu. Selain membaca doa bersama-sama, katanya, tradisi itu ditutup dengan pemberian buah tangan kepada setiap tamunya saat pulang.
Miran termasuk tokoh masyarakat yang sering diminta memimpin doa dalam tradisi itu. Dulu, ia pernah "nyantri" di Pondok Pesantren Magelang, Jawa Tengah.
"Beberapa tahun terakhir, sudah banyak warga yang bisa memimpin doa. Termasuk dari kalangan pemuda. Bahkan, mereka juga sudah mampui menjadi imam sahalat tarawih," kata Miran.
Suasana bulan puasa di dusun itu, kata Miran, bukan hanya saat menggelar tradisi megengan. "Jamaah shalat tarawih juga terus bertambah, termasuk anak-anak," katanya.
Pada 1995, warga komunitas itu melaksanakan shalat tarawih di Masjid Al Huda. Masjid itu dibangun atas dukungan Hardjo Kardi, trah terakhir pendiri komunitas adat Samin, Samin Surosentiko. Sekarang, dusun itu telah memiliki dua tempat ibadah lain, yang juga menyelenggarakan ibadah di bulan Ramadhan itu.
"Rata-rata setiap masjid atau mushalla diikuti 20 hingga 30 jamaah", kata Miran. "Namun untuk shalat ied dilaksanakan di Masjid Al Huda.(SHA/LIPUTAN6)