
Saya tidak bisa membalas SMS yang bisa memuaskan perasaan teman saya itu, selainn menjawabnya, "Ya, ikut sedih aja."[]
wartawan ecek-ecek
Konferensi bertema "The Road Ahead for Sustainable Palm Oil" itu digelar Dewan Palm Oil Malaysia dan Institute Asian Strategis and Leadership Malaysian palm Oil Council. Dalam acara itu, Indonesia diwakili Menteri Pertanian Anton Apriyantono, sedangkan Malaysia diwakili Menteri Industri Perladangan dan Komoditi Malaysia Datuk Peter Chin.
"Kami merasa, banyak sekali hal yang dirasakan negatif mengenai minyak kelapa sawit," kata Anton.
Selain berkampanye di Brussel, rombongan kedua negara juga mengunjungi Den Haag dan mengelar konperensi dunia bertema "World Sustainable Palm Oil Conference" di London. “Bagi Indonesia dan Malaysia, minyak kelapa sawit banyak keuntungannya dan menjadi komoditi yang sangat penting,” kata Anton.
Menurut Anton, Indonesia dan Malaysia merupakan pemasok minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Khusus ke Eropa, katanya, pasokan kedua negara mencapai 85 persen.
“Pada 2007, produksi minyak kelapa sawit di Indonesia 16,9 juta ton dan Malaysia 15,82 juta ton,” kata Anton. ”Selain itu, lebih dari lima juta tenaga kerja terlibat di perkebunan kelapa sawit mulai menanam, mengelola, sampai memasyarakatkan.”
Terkait tudingan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat tentang perusakan lingkungan, Anton menilainya sebagai kesalahpahaman. Termasuk, argumentasi total lahan atau daratan 190 juta hektar yang 130 hektar merupakan areal hutan.
”Dari 130 juta hektar areal hutan itu, sekitar 86 juta hektar masih utuh dan sisanya sudah tidak utuh lagi dan itu disebabkan ilegal loging,” kata Anton. “Areal pertanian masih di bawah 40 juta hektar, sementara kelapa sawit hanya menempati areal sebesar 6,3 juta hektar, dan bila dibandingkan sangat jauh pengunaan areal pertanian.”
Menurut Anton, Departemen Pertanian sangat konsen dengan koservasi hutan dan mendedikasikan 32,6 juta hektar sebagai hutan lindung orangutan dan hutan konservasi. "Jadi, tidak benar isu deforestasi itu dan mungkin ada juga unsur persaingan," katanya.
Selain itu, Anton menilai, tidak ada peraturan di Indonesia yang melarang pembukaan hutan untuk menanam kelapa sawit. Kecuali, katanya, hutan konversi yang memang didedikasikan untuk pertanian.
Untuk itu, selama setahun ini Malaysia dan Indonesia giat mengampanye pro-kelapa sawit ke beberapa negara, institusi, dan berdialog dengan pengusaha, untuk menjelaskan duduk perkara yang sesungguhnya. Pekan lalu, Indonesia dan Malaysia mengeluarkan Komunike Bersama berisi sanggahan terhadap kampanye negatif soal kelapa sawit, yang dianggap hanya berdasar data sekunder dan tidak berdasar studi ilmiah.
Kedua negara juga mendesak Parlemen Eropa untuk mau mendengar sikap Indonesia dan Malaysia. ”Misi yang diharapkan akan membawa manfaat bagi kedua negara,” kata Menteri Industri Perladangan dan Komoditi Malaysia Datuk Peter Chin.
Sementara itu Duta Besar RI untuk Kerajaan Inggeris Raya dan Republik Irlandia, Yuri Octavian Thamrin, mengatakan konperensi dunia mengenai kelanjutan kelapa sawit ini merupakan forum yang baik untuk mengklarifikasi salah pengertian mengenai CPO. Ia berharap, forum yang dihadiri lebih dari 500 peserta dari berbagai kalangan itu akan dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan seluruh masalah secara kooperatif.(SHA/LIPUTAN6.COM)
Note:
Dalam kisah "Orangutan di Kebun Kelapa Sawit" merupakan gambaran nyata di lapangan. Kok, bisa beda?
Akhirnya, tuntas sudah perjalanan memikul amanah. Desember 2005 hingga Desember 2007, saya berada di rumah bernama POTRET. Hasil kunjungan ke 20 provinsi, 31 kabupaten, dan entah berapa kabupaten dan kecamatan yang dilewati -- sekedar singgah atau istirahat -- adalah 41 episode, dengan berbagai topik dan kemasan.
Syukur alhamdulillah, akhirnya perjalanan itu bisa dilewati dengan selamat. Saya tidak berani menjamin, apakah isinya berguna atau tidak, apakah materinya bermanfaat atau tidak, dan apakah contentnya bermutu atau tidak. Banyak parameter yang bisa dibuat untuk mengukurnya. Tapi, banyak subyektivitas pula yang menjadi acuan. Sehingga, akhirnya "rasa"lah yang menjadi alat ukur terobyektif dan jujur. Karena itu, marilah kita sama-sama mengasah "rasa" hingga menjadi cita rasa nan tulus, mampu menembus setiap hijab dengan kesempurnaan, dan bisa memaknainya secara mendalam.
Rasa syukur nan terkira, bukan hanya karena saya berhasil menuntaskan amanah itu persis di dua tahun perjalanan dan hari jadi yang 40 tahun, tapi dengan kerendahan hati, saya berhasil mengabadikannya dalam dua buah buku. "MEMOTRET KHATULISTIWA" & "SUFI GAUL", judulnya. Isinya, catatan produksi di belakang komputer, di tengah lapangan, dan di ruang editing. Ada kisah petualangannya nan indah dan melelahkan, ada teknis pemilahan ide dan perumusan premis, dan ada cerita the making of... nya yang berlagak ilmiah. Buku itu bukan karya hebat dan bisa dibanggakan. Tapi, sekedar catatan kerja, yang diharapkan bisa memberikan inspirasi bagi siapa pun untuk berani memulai sebuah pekerjaan. Khususnya, menggagarp film dokumenter.
Sedangkan buku kedua bercerita tentang kisah-kisah inspiratif yang bisa dipetik dari kehidupan masyarakat adat dan seniman tradisional. Arahnya, bisa disebut menjadi semacam buku motivasi dan tasawuf populer. Hal ini jadi perlu dihadirkan, karena saya merasa menemukan banyak mutiara ketika mengunjungi berbagai lokasi produksi. Dan, sayang bila mutiara-mutiara itu tidak dibagikan kepada Anda.
Dalam waktu dekat, Insya Allah "MEMOTRET KHATUSLITIWA" & "SUFI GAUL" akan menjumpai Anda. Sabar menanti adalah memenuhi amanah Rasulallah dan firman Allah. Sabar, kami akan mengabarkan kabar penerbitannya.
Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu pemenuhan amanah tersebut. Semoga Allah Swt akan membalasnya dengan segala ketulusan dan kemuliaan. Salam hangat dan penuh kedamaian.[]
(Video: Teguh Prihantoro)
Original Narration
(Video: Halwi Temu)
Original Narration
Perahu sandeq Bintang Sejarah yang saya naiki, menyeruak ke depan, membuka jalan di antara padatnya perahu lawan. Detik pertama lomba, palattok atau katir cadiknya telah menghantam patah pallatok sandeq lain yang berusaha menghalangi derap majunya. Dapat diduga, sandeq lawan itu pun terhenti dan oleng. Namun sandeq Bintang Sejarah juga tidak luput dari ancaman serupa. Berulang kali, saya harus menundukkan kepala sebab palattok lawan yang berujung runcing, hampir saja merobek tiang layar dan nyaris melukai saya dan sawi lain yang ada di atasnya. Untung saja Muin, yang bertindak sebagai punggawa alias juru mudi, berhasil menghindarkan perahu kami dari segala ancaman.
Cukup lama berkutat dengan ketat, menghindari kesemrawutan seperti itu, namun perlahan tapi pasti, setelah bermanuver kiri kanan, perahu sandeq kami akhirnya berada di posisi terdepan. Walapun demikian, muka saya masih terasa memutih dan dingin dengan dada yang berdegup kencang. Berkali-kali cipratan air laut yang hangat membasahkuyupkan saya, namun saya seakan masih bermimpi perahu kami berhasil melewati kemelut pada start lomba. Saat ini, perahu kami melaju memimpin perlombaan.
M. Ridwan Alimuddin, ketua panitia Sandeq Race 2007, sudah berada di atas kapal panitia jauh sebelum pistol dibunyikan. Ia sudah di tengah laut, tepat berada di bagian kiri rute lomba. Di lehernya tergantung kamera foto dan tangannya menenteng kamera video. Selain bertugas sebagai ketua panitia ia juga mendokumentasikan seluruh kegiatan lomba pada ajang tahun ini. Sama halnya dengan Iwan, di atas perahu sandek, saya juga membawa satu unit perlengkapan dokumentasi untuk kepentingan salah satu stasiun televisi.
Ketika tanda start dibunyikan, di pinggir kapal itu, Iwan tampak tegang. Beberapa sandeq dengan ujung cadik yang runcing berulang kali mengancam kapal yang ditumpanginya sebab posisi kapalnya relatif dekat dengan rute lomba. Ombak yang tercipta akibat laju sandeq serta ombak pantai Majene membuat tangannya sedikit goyah, konsentrasinya buyar. Apalagi ketika Bintang Sejarah dan beberapa sandeq lainnya, membuka rute baru menuju bagian tengah laut, lokasi yang berombak besar namun memiliki angin yang kuat untuk memacu sandeq. Iwan dan beberapa panitia di atas kapal sadar, mereka tidak mungkin dapat mengawasi sandeq yang menempuh rute ”yang lain” itu. Kecepatan kapal motor yang ditumpanginya tidak mungkin mampu mengejar dan mendampingi sandeq-sandeq yang memilih jalur tersebut. Ia hanya bisa pasrah.
Rekan saya yang produser di salah satu TV swasta, Syaiful Halim, tinggal sendirian di pantai. Dua kameramen lainnya telah pulang ke
Sekitar 15 menit Syaiful terus merekam momen tersebut, sampai kemudian ia bergegas naik ke atas kapal. Kapal itu merupakan kapal logistik milik sandeq Bintang Sejarah yang dinahkodai oleh Miming. Dari atas kapal motor itu, nahkoda berusaha untuk mendekati Bintang Sejarah yang jauh di depan. Namun sandeq terlalu jauh, dan ombak besar menghadang kapal untuk maju. Miming tidak berani mengambil resiko. Syaiful hanya bisa kecewa, karena dari atas kapal yang oleng, merekam gambar sandeq yang terlalu jauh dari rekaman lensa adalah hal yang sia-sia saja. Lagi pula saat itu, ia mulai terserang rasa mual.
Itulah sandeq. Perahu tradisional khas suku Mandar. Sandeq sepertinya memang dirancang untuk menaklukkan gelombang besar. Tofografi pantai serta kawasan di mana komunitas nelayan Mandar bermukim merupakan kawasan pantai yang langsung berhadapan dengan luat dalam. Kondisi ini membedakannya dengan kawasan dimana komunitas nelayan lainnya di
Ridwan Alimuddin yang lama meneliti sandeq mengungkapkan bahwa berkembangnya evolusi perahu layar menjadi sandeq di awal tahun 1930-an, merupakan adaptasi para pelaut Mandar ketika berinteraksi dengan para pelaut-pelaut Eropa, terutama pada adatasi layar sehingga berbentuk segitiga. Namun tidak cukup dengan itu, bukti bahwa orang Mandar adalah pelaut dan bukan pelaut pedagang seperti suku lainnya di
Namun, terlepas dari beberapa artefak di situs-situs arkeologi potensial di tanah Mandar yang lebih berorientasi agraris, saat ini sandeq adalah satu-satunya pembuktian bahwa orang Mandar memang pelaut ulung. Tidak diketahui secara pasti kapan mereka meninggalkan tradisi agrarisnya menuju tradisi maritim yang kental. Karena itu, ajang Sandeq Race bagi para keluarga nelayan di tanah Mandar adalah bagian dari prestise keluarga. Hal itu dimungkinkan karena saat ini tidak semua warga nelayan memiliki dan mampu mengendalikan sandeq. Karena itu keikutsertaan dalam ajang lomba bagi warga nelayan adalah bagian dari gengsi dan status sosial kelurga. Dan bagi kami, adalah satu kehormatan bisa mengendarai perahu layar tradisional tercepat di dunia itu.
Sandeq Bintang Sejarah yang saya naiki, dalam rating yang dicatat panitia merupakan sandeq dengan rating 4, yang berarti dari ukuran prestasi merupakan favorit juara. Sandek itu milik Saini, seorang nelayan yang bermukim di kawasan teluk Mandar, di desa Tangnga-Tangnga, Tinambung, Sulawesi Barat. Seperti nelayan Mandar lainnya, sandeq miliknya hanya dipergunakan pada saat lomba. Itu terhitung sejak ia memiliki sebuah kapal bermesin motor untuk aktivitas melautnya.
Berbeda dengan sandeq lain dalam perlombaan kali ini, Bintang Sejarah masih mempertahankan bentuk sandeq khas nelayan. Sandeq lain, umumnya lebih panjang dan rendah sehingga bisa memiliki layar lebih lebar yang dapat menampung lebih banyak angin ketika melaju. Sebaliknya, Bintang Sejarah memiliki ukuran terpendek, namun rating dan prestasinya menunjukkan sandeq ini tidak kalah dengan sandeq lain. Hal itu terkait dengan kemampuan para awak atau sawi serta punggawanya yang memang berkutat dengan kehidupan sandeq sebelum kapal bermesin motor marak di tanah Mandar.
Namun di ajang lomba tahun ini, kejayaan Bintang Sejarah seakan memudar. Pada etape pertama (Mamuju) yang menempuh jarak 60 km dari pantai Manakarra menuju Malunda, sandeq ini berada di posisi ke-12. Sedangkan etape Malunda - Majene berada di peringkat 8. Kekalahan tersebut lebih disebabkan minimnya angin di kedua etape dan kelelahan fisik sebab di etape yang ditempuh selama dua hari itu, ke-53 perahu yang berlomba harus mendayung. Alhasil, sandeq yang berbadan rendah lebih memiliki kecepatan dibandingkan dengan perahu sandeq yang saya tumpangi.
Keberuntungan tidak juga berpihak. Karena itu, di dua etape sebelumnya, perlombaan terasa monoton, tidak ada aksi akrobatik dari para passandeq dan perahunya dalam meniti gelombang. Hambar saja rasanya melalui kedua etape ini. Karena itu, etape Majene - Polewali yang dikenal memiliki angin kencang merupakan tempat favorit bagi para passandeq dan tempat mendokumentasikan lomba yang paling menarik.
Namun tidak semua punggawa sandeq mengizinkan orang lain ikut pada etape ini. Selain dapat mengacaukan konsentrasi akibat terjatuh di laut, mereka juga mengkhawatirkan peralatan dokumentasi yang dibawa akan rusak. “Kalau mau naik, panitia tidak bisa fasilitasi, tanya ke punggawanya langsung,” ujar Iwan. Walaupun mendapat izin, paling tidak orang yang mau ikut sandeq harus berlatih dahulu. Sesi latihan biasanya dilakukan jauh hari sebelum lomba. Beruntung pada sesi latihan, saya berhasil lolos, dan diperbolehkan naik di atas sandeq pada etape Majene - Polewali. Itu pun dengan pinggang dan pergelangan kaki yang terikat rapat supaya tidak terjatuh.
Adrenalin saya sudah terpacu beberapa menit sebelum bunyi letusan pistol mengawali etape Majene - Polewali. Kaki saya kesemutan akibat tali yang begitu kuat mengikat. Berulang kali Kama Muin, dan para sawi lainnya mengingatkan saya untuk berhati-hati. Namun gerakan sandeq yang melakukan gerakan timbang – gerakan akrobatik berdiri di tepi cadik untuk menyeimbangkan laju perahu agar tidak terbalik – lebih menarik untuk saya. Kamera saya terus merekam adegan tersebut. Konsentrasi pun terpecah antara mempertahankan arah kamera dengan keseimbangan tubuh yang terganggu akibat cipratan ombak.
Belum sadar sepenuhnya, tiba-tiba bayangan putih melesat tepat sejengkal dari kepala. Astaga, ujung cadik perahu sandek lawan hampir memecahkan kepala saya dan merobek layar perahu. Keseimbangan jadi terganggu, kamera pun basah terkena ombak. Blank! Punah sudah harapan saya. Kamera yang tidak terbalut lapisan anti-air itu tiba-tiba padam.
Namun satu hal yang menakjubkan, perahu kami memimpin etape ini. Meninggalkan jauh sandeq lainnya di belakang. Para sawi itu seperti gila, berloncatan ke
Kami semua diliputi rasa bangga, begitu perahu melaju meninggalkan peserta yang lain. Untuk mencari angin yang lebih kencang, punggawa membelokkan haluan semakin ke tengah lautan. Daratan tampak kian mengecil. Beberapa sandeq di belakang kami rupanya mengambil langkah serupa. Dari jauh, perahu panita dan kapal pengiring kami kelihatan mengecil. Sepertinya mereka kesulitan mengiringi, sehingga lama-kelamaan mereka pun tidak kelihatan lagi.
Selama satu jam perjalanan, sandeq kami masih memimpin. Ujung cadik melayang di atas air.
Sekali lagi saya menyaksikan, para sawi yang terlempar ke laut itu dengan mudah kembali berenang menuju sandeq. Luar biasa! Dengan mengandalkan bekas tiang layar yang ada, punggawa dan para sawi membuat tiang layar baru. Namun arus selat
Selepas asar, ketika matahari mulai condong ke barat dan pantai mulai terlihat, satu kapal nelayan melintas. Saya yang sejak tadi sibuk mengingat Tuhan akhirnya bergembira.
Sebelumnya, Iwan hanya bisa tercekat. Sebab, dari jauh ia menyaksikan perahu sandeq Bintang Sejarah yang melaju tiba-tiba berhenti di tengah laut. Namun ia tidak bisa berbuat banyak, kapal motor panitia yang ditumpanginya tidak berani menempuh resiko untuk lebih ke tengah laut. Namun ia sepenuhnya percaya, para awak Bintang Sejarah bukan peserta lomba biasa. Mereka adalah nelayan tangguh yang bertanggung jawab dan terbiasa dengan ancaman seperti itu. Sehingga walapun sedikit berat, ia terpaksa melanjutkan perjalanan menyusuri tepi pantai Majene menuju Polewali.
Sementara di perahu logistik, Syaiful sedikit cemas. Sejak tadi kamera PD sudah menggelatak di sampingnya. Dari kejauhan ia tidak melihat lagi tangan saya mengacungkan camcoder. Ketika perahu sandeq terhenti tiba-tiba di lautan, ia bertambah khawatir. Karena itu Miming berusaha mendekati
Pukul 4 sore, hand phone Iwan berbunyi, satu SMS dengan kode CM masuk. Itulah panggilan darurat dari saya. Ia segera menghubungi kembali nomor tersebut. Mendadak wajahnya berseri. Iwan bilang, “Ya tunggu saja di Rangas, panitia akan menjemput di situ. Berapa sandeq yang merapat di situ?” Ia kedengaran sedikit bersemangat. Mungkin ia semakin yakin, orang Mandar memang orang laut. Entahlah. [ASFRIYANTO]
Note: Artikel di atas ditulis oleh Asfriyanto (periset lepas POTRET) untuk situs PANYINGKUL. Kami sengaja menjadikannya bagian dari BLOG ini sebagai bahan perbandingan dan renungan; bagaimana sebuah film dokumenter digarap.